Share

5. Terhanyut

Pagi itu Shesa berjalan sedikit terburu-buru bersama Reta. Memasuki ruangan rapat yang sudah di penuhi oleh banyak orang di dalamnya. Shesa hari itu mengenakan rok sepan hitam sebatas lutut dengan kemeja berwarna baby pink, dan laptop di tangan kanan serta tas yang berada di kiri lengannya.

Duduk di meja yang bertuliskan namanya , mata Shesa seperti mencari seseorang. Mata itu bersitatap dengan obyek yang dia cari. Alvin sedang menatapnya, lelaki itu melempar senyuman. Meeting hari kedua ditujukan pada masing-masing divisi untuk melakukan presentasi di bagian masing-masing. Dan, hari ini divisi yang Shesa tempati mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan kelebihan serta bagaimana mereka membantu perusahaan agar selalu di pandang baik sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di negara ini.

Shesa di tunjuk sebagai pembicara dari divisi Humas, wanita berumur 27 tahun itu berjalan sangat anggun. Aura model papan atas yang dulu sempat membawanya di kenal banyak orang masih begitu terasa. Sebagian orang-orang yang hadir pun berbisik satu sama lain seakan lebih tahu akan kehidupan Shesa sebelum ini.

Shesa memulai membacakan presentasinya mengenai kualitas kain yang di tawarkan ke pasar internasional, lalu kepercayaan customer pada perusahaan serta tugas dari divisinya menjalin hubungan baik dan kerjasama dengan perusahaan lain sebagai investor tetap di perusahaan mereka. 

"Jadi menurut kami sebagai divisi yang ditunjuk oleh perusahaan, tugas kami tidak hanya untuk mengubah persepsi masyarakat terhadap perusahaan, namun juga untuk meningkatkan penjualan produk," ujar Shesa. "Sekian dari divisi Humas, untuk ke depannya kami akan memberikan yang terbaik lagi untuk perusahaan." Tepuk tangan mengiringi langkah kaki Shesa kembali ke tempat duduknya.

Meeting kali ini memakan waktu hampir tiga jam, pukul 12 waktu Bali peserta meeting satu per satu keluar dari ruangan itu. Shesa dan Reta serta Robby atasan mereka duduk di satu meja yang sama. Membicarakan hasil meeting yang mereka bahas tadi.

"Gak salah si kalo HRD nerima kamu masuk ke tim kita, aku rasa kamu gak cocok jadi junior PR, malah sebaliknya kamu bisa jadi di atas aku, Sha," ujar Reta.

"Bisa aja," jawab Shesa tersenyum.

"Tapi bener kata Reta, Sha ... pertama kali aku interview kamu saat itu, aku udah yakin kamu bakal mampu mengemban tugas kita, selain kamu mantan model, cara kamu bicara itu meyakinkan orang loh," ujar lelaki berumur 45 tahun yang menjabat sebagai manager PR di perusahaan itu.

"Boleh gabung?" tanya suara yang berdiri tepat di sebelah kanan Shesa.

"Pak Alvin ... silahkan, silahkan gabung," ujar Pak Robby yang seketika berdiri memberikan satu tempat lagi untuk Alvin bergabung dengan mereka.

"Setelah ini masih ada sesi acara?" tanya Alvin pada Pak Robby.

"Masih Pak, sepertinya pemberian reward bagi beberapa staf yang sudah memberikan kontribusi terbaik di perusahaan."

"Setelahnya acara bebas, Pak," ujar Reta seraya bercanda.

"Itu yang di cari kan, Bu Reta," ujar Alvin melirik Shesa yabg sedang menyendokkan makanan ke dalam mulutnya.

"Jelas banget, Pak ... kapan lagi jalan-jalan ke Bali terus dapat fasilitas dari kantor," ujar Reta lagi.

"Bukan begitu, Shesa?"

"Hah?" 

"Setelah acara kamu mau kemana, di tanya Pak Alvin," ujar Reta.

"Oh ... belum tau, Mbak Reta kemana?" 

"Pak Robby ngajakin cari oleh-oleh buat anak istrinya, aku juga mau cariin buat keluarga di rumah, kamu mau ikut?"

"Liat nanti deh," ujar Shesa lalu kembali menikmati makan siangnya.

*****

Acara berlanjut hingga pukul setengah empat sore, Shesa berjalan lebih dulu dari Reta yang masih bergabung dengan beberapa staf berlevel manager di sana, karena Shesa merasa tidak ada kepentingan lagi, maka dia memilih untuk undur diri lebih dulu. Memasuki lift, Shesa merogoh ponselnya di dalam tas. Satu pesan masuk yang membuat alisnya terangkat satu sisi.

"Aku tunggu di basemen, sekarang. Alvin"

Mata Shesa terbelalak saat menerima pesan itu. Tahu darimana dia nomer ponselnya, seingat Shesa dia tidak pernah memberikan nomer ponselnya pada Alvin. 

"Aku tunggu di mobil." Kembali pesan itu datang, saat Shesa sudah memasuki kamarnya. 

Shesa kembali melangkahkan kakinya keluar dari kamar setelah meletakkan tas dan laptopnya, dia keluar dari lift langsung menuju basemen. Shesa terdiam di depan pintu keluar, sebuah mobil berwarna putih mengedipkan lampu ke arahnya, Shesa berjalan menghampiri.

"Masuk," ujar Alvin.

"Mau kemana?" 

"Jalan-jalan ... ayo," kata Alvin lagi.

"Mau kemana sih?" tanya Shesa lagi sambil memasang sabuk pengamannya.

"Pantai Pandawa, udah pernah?" tanya Alvin.

"Sudah ...." 

"Aku lupa lagi kalo Bali seperti rumah kedua buat kamu."

Shesa tersenyum. "Biasanya orang-orang seperti kamu lebih menikmati menghabiskan waktu di tempat seperti private villa, resort-resort gitu atau club' di pinggir pantai, di kelilingi cewek-cewek cantik," ujar Shesa.

"Bosen ... lagi pengen yang biasa, lagian gak butuh cewek cantik, yang di sebelah aku jauh lebih cantik." Alvin tertawa. "By the way, biasa ya?"

"Apa?"

"Nemenin atau gabung sama anak-anak pengusaha atau pengusaha-pengusaha di negara ini?"

Shesa mengerucutkan bibirnya lalu mengangguk, "tapi dulu ... sekarang udah gak."

"Hhmm, tobat?"

"Begitulah."

Mereka lalu terdiam, terhanyut pada pikiran masing-masing.

"Kamu sendiri? Sering juga dong di temenin model-model atau cewek-cewek cantik, kan anak pengusaha," ujar Shesa menarik sudut bibirnya.

"Gak usah aku jawablah ya," ujar Alvin tertawa menoleh kepada Shesa.

"Satu sama kalo gitu," ujar Shesa membalas tatapan mata Alvin.

Mobil berhenti di tepian jalan, jauh di bawah sana hamparan laut lepas begitu indah. Senja mulai datang ketika mereka sampai di sana. Cahaya matahari sedikit menyakitkan mata menembus kaca jendela mobil Alvin.

"Silau?" tanya Alvin, Shesa mengangguk. "Turun aja, mau?"

Duduk di atas kap mobil, sambil memandangi cahaya senja sore itu, deburan ombak terdengar begitu merdu, ombak yang saling berkejaran seakan tak sampai-sampai pada tujuan.

"Besok penerbangan jam berapa?"

"Jam 10, kenapa?"

"Hhmm ... ketemu di kantor dong." Shesa hanya mengangguk. "Kamu gak mau balik jadi model lagi?" Lagi-lagi Shesa menggeleng. "Kenapa?"

"Pengen aja, cari pengalaman buat hidup yang lebih baik lagi."

"I see."

"Kenapa ngajakin aku keluar?"

"Ngajak makan malem."

"Kan kemarin udah."

"Kali ini reward," ujar Alvin.

"Reward?"

"Presentasi kamu bagus."

"Oh ... biasa aja."

"So ...."

"Apa?" 

"Makan malam, lagi." 

Shesa tertawa lalu mengangguk, "kamu yang traktir kan?"

*****

"Makasih makan malamnya, Pak Alvin," ujar Shesa saat mobil Alvin terparkir di basemen hotel.

"Sama-sama," ujar Alvin menyandarkan kepalanya pada jok mobil itu.

"So ...."

"So?" Alvin menoleh pada Shesa yang sudah melepaskan sabuk pengamannya.

"Ketemu lagi ... di Jakarta," ujar Shesa.

"Iya ...." 

"Vin ... pintunya," ujar Shesa meminta Alvin membuka lock system otomatis.

"Mau turun sekarang?"

"Iya, mau ngapain lagi?" Shesa tersenyum.

Alvin menggerakkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya pada wajah Shesa yang sudah tersudut.

Mata Alvin begitu sendu, tatapan matanya turun pada bibir Shesa yang seksi. Lelaki itu membelai lembut pipi Shesa, Shesa kebingungan dengan perlakuan Alvin yang secara tiba-tiba itu.

"Kamu mau ngap—"

Bibir Alvin sudah bertaut pada bibir Shesa, mata Shesa terbelalak saat Alvin menciumnya. Lumatan lembut itu begitu menghanyutkan, tangan Shesa yang tadinya menegang mencengkeram lengan Alvin perlahan melembut. Shesa membalas ciuman itu, ciuman yang entah untuk apa. Lidah Alvin sudah membuka rongga mulut Shesa, lidah mereka saling membelit, ciuman lembut itu semakin liar, tidak ada yang mau saling berhenti. Hingga jok mobil itu diubah posisinya menjadi posisi tertidur.

Komen (25)
goodnovel comment avatar
zaza zaza
lah langsung nyosor aja
goodnovel comment avatar
Tuti Dahlan
bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Chida
ikut misi poin Kak... klik kotak hadiah nanti semua di jelaskan di sana
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status