BAB 4
Aku menoleh pada bapak kemudian menghampirinya sambil membawakan secangkir kopi kesukaannya.
“Kalau Sinta bilang itu memang suami Sinta, memang Bapak percaya?” tanyaku sambil meletakkan kopi untuknya. Bapak dengan lahapnya mamasukan tiap potongan kue rusak itu ke mulutnya.
“Duh, kamu tuh sukanya bercanda aja, Ta! Memang hidup kita serba kekurangan, tapi jangan gitu juga, Ta! Gimana perasaan suami kamu kalau mendengar kamu malah mengaku-ngaku orang lain jadi suamimu! Bapak tidak pernah mengajari kamu untuk memandang orang dari hartanya!” ucapnya panjang lebar. Aku memutar mata jengah sambil berjalan kembali ke tempat di mana aku sedang menyiapkan kue-kue untuk bingkisan.
“Ya udah, kalau Bapak masih gak percaya, nanti Sinta ajak Bapak sama Ibu liburan naik pesawat, ya biar percaya!” ucapku menatap wajah Bapak yang sedang serius menceramahiku.
“Udah ah, kamu malah makin ngelantur! Nih ya, Bapak kasih tahu, kaya dan miskin di hadapan Tuhan itu sama! Yang membedakan hanya yang di sini!” ucap Bapak sambil menunjuk ke dalam dadanya.
“Iman dan takwa … kamu jangan pernah membandingkan suamimu dengan yang lain! Alhamdulilah dapat supir orang kaya tiap hari bisa naik mobil mewah, gaji banyak! Nikmat Tuhan mana lagi yang akan kita dustakan! Bapak gak pernah mengajari anak gadis Bapak buat matre dan serakah! Hormati suamimu apapun pekerjaannya, selama dia bertanggung jawab!” ujarnya lagi dengan wajah serius.
“Bapak kenapa jadi ceramah? ‘Kan tadi Bapak yang nanya Sinta duluan?” Ibu memecah obrolan yang memanjang dan malah memojokkanku.
“Pak, Bu, Sinta berjanji jika suatu saat nanti, Sinta akan mengajak Bapak dan Ibu naik pesawat! Bapak dan Ibu orang baik dan selalu menjalankan perintah Allah! Sinta ingin mengajak Bapak dan Ibu berkunjung ke Baitulloh, doakan Sinta ya, Pak! Bu!” ucapku sambil menatap mereka sambil tersenyum.
Aku masih harus mencari tahu siapa orang yang selalu menerorku sebelum perayaan pernikahanku. Aku khawatir jika si peneror ini memang tidak main-main. Bisa saja dia mencari kelemahanku agar aku meninggalkan Tuan Muda Ashraf suamiku. Aku tidak ingin terjadi apapun pada bapak dan ibu. Aku menyayangi mereka.
Dan satu lagi yang membuatku masih butuh waktu untuk membuka dengan gamblang semua ini. Aku sendiri belum sepenuhnya yakin, apakah Tuan Muda Ashraf betul-betul mencintaku? Sementara aku pun sering sekali melihat berita gossip di televisi jika banyak sekali wanita cantik dan muda yang mengaku sedang dekat dengannya. Meskipun dia sudah bersumpah jika tidak ada satupun dari wanita itu yang memiliki hubungan special dengannya.
Dengan cara apakah aku bisa menguji ketulusan cintanya? Bahkan aku tidak berani hanya untuk sekedar mengecheck pesan dalam whatsappnya. Dia bagiku masih terlalu asing meski statusnya sudah jadi suami. Aku masih sangat khawatir jika dia sudah memperkenalkanku pada dunia kemudian dia mencampakanku, betapa hal itu akan lebih melukai perasaan bapak dan ibu.
“Warman! Itu tolong cuciin mobil teteh, ya! Nanti kamu minta rokok saja ke akang buat upahnya!” ucap Wa Ikah yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah.
Suami Wa’ Ikah memang merupakan seorang manager di salah satu cabang perusahaan Adireja Grup. Karenanya juga Teh Selvi bisa dengan leluasa masuk karena memang memiliki referensi orang dalam di sana. Begitu pun dengan suami Teh Rena dan Teh Rema bisa bekerja sebagai staff juga di sana. Mereka lulusan kuliahan tidak sepertiku yang hanya lulusan SMA.
Bapak menghentikan menyeruput kopinya. Dia tinggalkan kopi yang baru diminum seperempatnya. Kulihat wajah bapak penuh kebahagiaan, bagaimanapun bapak berfikir bisa mendapat keuntungan meski hanya sebungkus rokok. Aku menunduk, tidak kuasa melihat punggung bapak yang berjalan membawa ember dan lap menuju luar.
Ibu dan Wa’ Imah terlihat sudah kembali meneruskan pekerjaan yang tertunda. Kami bertiga bahu membahu menyelesaikan semuanya tepat waktu. Acaranya akan di laksanakan selepas Ashar, sekitar jam empat sore. Masih ada waktu sekitar dua jam lagi.
Aku melupakan semua kemelut di pikiranku. Kini fokusku pada penggorengan. Mengejar waktu menyelesaikan semua masakan.
Sesekali kumendengar celotehan dan tawa bahagia dari kakak-kakak sepupuku dari dalam. Mereka mana mau membantu.
Akhirnya semua bingkisan sudah siap. Termasuk hidangan mewah untuk ukuran acara rumahan seperti ini. Semua biaya ini pastinya dibiayai oleh Wa’ Ikah dan keluarganya.
Beberapa warga sudah mulai datang. Selepas sholat ashar aku kembali disibukkan dengan menyiapkan teras rumah kakek yang lumayan luas. Menggelar tikar dan menyiapkan kopi untuk para warga.
Acara satu tahunan ini hanya dihadiri oleh bapak-bapak. Semua sudah rapi dan berjajar duduk melingkar hanya tinggal menunggu Pak Ustadz. Entah sudah berapa gelas kopi yang kubuatkan untuk mereka. Ibu dan Wa’ Imah tampak sudah rapi dan berganti pakaian. Pekerjaan dapur memang sudah selesai.
Aku mencari-cari keberadaan bapak. Mana mungkin mencuci mobil sampai menghabiskan dua jam. Lagian mobilnya juga terlihat sudah bersih dan terparkir di halaman rumah. Aku masih berdiri di sudut ruangan dengan mata mencari-cari sosok lelaki ringkih itu.
“Terima kasih Bapak-bapak sudah hadir! Alhamdulilah, saya sebagai anak tertua dari keluarga Wardiman sepenuhnya bisa membiayai acara ini. Semoga hidangan yang sengaja kami sajikan ini bisa diterima dengan baik. Meskipun menghabiskan dana lebih dari lima juta, tapi saya dan keluarga ikhlas mengingat dari semua adik-adik saya, hanya saya yang paling mampu! Saya sih, memaklumi mereka!” Kudengar Wa’ Ikah mulai memberikan sambutan.
Selalu seperti itu, bahkan aku sudah bosan dengan kalimat-kalimat berikutnya yang pasti akan meninggikan dirinya sendiri. Aku berjalan ke halaman mencari Bapak. Terlihat samar di sekitar rumpun di bawah pohon kelapa ada bapak sedang membungkuk-bungkuk dalam semak.
Aku bergegas menghampirinya. Kutatap lekat punggungnya.
“Pak, Bapak sedang apa?”
BAB 5Selalu seperti itu, bahkan aku sudah bosan dengan kalimat-kalimat berikutnya yang pasti akan meninggikan dirinya sendiri. Aku berjalan ke halaman mencari bapak. Terlihat samar di sekitar rumpun di bawah pohon kelapa ada bapak sedang membungkuk-bungkuk dalam semak.Aku bergegas menghampirinya. Kutatap lekat punggungnya.“Pak, Bapak sedang apa?”Kepalanya menyembul dari rumpun dan menatapku.“Nyari rokok, Ta! Tadi habis disuruh ngambil kelapa sama Wa’ Ikah, rokoknya lupa masih bapak kantongin, pas tadi turun kho gak ada!” ucapnya sambil kembali membungkuk.“Pak, udahlah ‘kan rokok Bapak masih ada! Nanti Sinta beliin lagi pas pulang! Yang lain udah pada kumpul, tinggal Bapak sendiri yang belum di sana!” ucapku menatapnya.“Sayang, Ta! Udah capek-capek bapak nyuciin mobil, eh rokoknya malah ilang!” ucapnya lagi.“Ya ampuuun, Pak!
BAB 6[Assalamu’alaikum, Ta! Kamu belum jawab pertanyaanku yang tadi, kenapa tidak menungguku?] [Siapa ini?] [Orang yang bertemu di halaman depan denganmu, kenapa kamu malah menikah dengan orang lain dan tidak menungguku?] Aku tertegun. Entah harus menjawab apa. Kenapa dia harus datang kembali di saat seperti ini?Aku membiarkan dan tidak membalas pesannya. Semakin tidak nyaman berlama-lama di sini. Aku harus segera kembali ke kota.Segera kucuci semua gelas kotor yang sudah kukumpulkan. Piring-piring bekas, panci dan wajan bekas memasak tadi kucuci semua. Ibu dan Wa’ Imah juga tengah sibuk berbenah. Menjelang maghrib semua pekerjaan ini sudah selsai. Rumah kakek sudah bersih kembali.Aku bergegas menunaikan ibadah sholat maghrib. Bersujud dan meminta petunjuk atas kehidupan masa depanku kelak.Dalam untaian doa selalu kusisipkan dua nama yang selalu menja
BAB 7Aku menoleh pada bapak. Kemudian aku menghampirinya.“Pak, ayo kita pulang nanti keburu malam!”Aku kemudian melangkah ke dalam menghampiri Ibu dan Wa’ Imah yang menyaksikan dari dalam. Aku berpamitan pada Wa’ Imah dan mengajak ibu pulang.“Ayo, Bu kita pulang nanti keburu malam!” Ajakku kemudian aku berpaling pada Wa’ Imah. Kuraih tangannya dan menciumnya. Aku mengeluarkan uang dual embar seratus ribuan.“Wa’ alhamdulilah Sinta ada sedikit rejeki, bonus dari Allah! Semoga ini bisa buat berobat Mang Husen!”Netra lesu itu berkaca-kaca menerima dua lembar uang pemberianku. Dia menyeka sudut matanya yang mengembun.“Memangnya kamu punya uang, Ta? Tadi aja 'kan pastinya uang simpenanmu yang dipakai buat bayarin ke Wa’ Ikah?” tanyanya menatapku.“Alhamdulilah … 'kan Sinta bilang dapat bonus dari Allah! Uwa
BAB 8Ketika kami hendak memasuki halaman rumah. Terlihat sebuah mobil terparkir di depan. Aku menyipitkan mata mencoba mengenali mobil itu. Apakah mobil itu milik suamiku? Tapi bukankah dia bilang sekitar seminggu di Singapura?Lantas kalau bukan mobil Mas Ashraf itu mobil siapa?“Assalamu’alaikum!” Tiba-tiba kudengar seseorang yang mengucap salam.“Wa’alaikumsalam!” Aku, bapak dan ibu menjawab serempak.Tampak seorang lelaki bertubuh tinggi, berdiri dari teras rumah kami yang masih gelap. Aku menyipitkan mata mencoba mengenali sosok lelaki itu.“Maa Ta, aku berkunjung ke sini! Soalnya aku menunggu balasan pesan darimu tapi gak ada juga!” ucapnya sambil berjalan keluar dari teras menghampiri kami bertiga.“Eh, Nak Hafiz si kasep ini teh!” Bapak rupanya mengenali sosok yang kini tengah berdiri beberapa langkah jaraknya dari kami.
BAB 9Aku menutup kaca dan melempar pandangan keluar jendela. Namun dari spion sebelah kiriku terlihat sebuah mobil melaju dengan kecepatan sedang. Aku mengernyit mengingat-ingat mobil serupa yang pernah kulihat.“Ya Allah itu 'kan, mobil Kang Hafiz! Kenapa dia mengikutiku?” batinku sambil terus memperhatikan laju mobil yang seolah menyesuaikan dengan kecepatan mobil yang kutumpangi.Aku masih berusaha untuk tenang karena jalan yang kami lewati belum memiliki percabangan. Berharap nanti di depan dia berbelok dan tidak mengikutiku lagi.Aku masih berusaha bersikap biasa sampai akhirnya dia mengikuti kami masuk toll. Aku masih melirik spion sesekali berharap tangkapan mataku salah. Namun ternyata memang dia masih mengikutiku. Aku tidak hendak memberitahu Bang Rudi masalah ini. Biarlah kucari caraku sendiri agar terhindar dari penguntit itu. Sebenernya apa, sih maunya?“Bang,
BAB 10“Selamat datang, Non!” ucapnya sambil membungkuk menghormatiku. Aku melirik sekilas ke arah Bu Herman yang masih memegang uang beberapa lembar yang kuberikan. Aku melambaikan tangan padanya. Kulihat wajah wanita itu merah padam melihat perlakuan para penjaga rumah ini kepadaku. Apakah dia curiga siapa aku sebenarnya, entahlah?Aku bergegas masuk ke dalam rumah setelah menyapa para penjaga. Kulihat rumah masih sepi, mungkin para ART sedang beristirahat di taman belakang. Biasanya setiap pukul sepuluh pagi mereka akan istirahat dan menikmati camilan-camilan atau sekedar minum teh atau kopi yang memang sudah disediakan.Aku langsung menuju kamar utama. Kamar yang terpisah sendiri dan memiliki balkon yang cukup luas. Aku bergegas ganti pakaian menggunakan pakaian yang sudah disiapkan oleh ibu Mertuaku. Semenjak aku menikah dengan putranya, ibu mertuaku melarang aku memakai pakaian yang berkualitas rendah. Buka napa-a
BAB 11“Oke, kamu jangan kemana-mana! Tapi kamu tetap harus jadi ukur suntuk pembuatan gaun! Aku tidak mau uang bonusku dipotong suamimu yang kejam itu!” ujar Mike sambil berlari memanggilkan Rani dan Sindi.Akhirnya Sindi dan Rani memapahku kembali ke kamar. Mereka berdua membantu memijat kakiku. Rani memoleskan salep pereda nyeri. Sementara Sindi memijiti kakiku.“Makasih ya, Ran, Sin!” ucapku.“Sudah kewajiban kami, Non!” ucap Rani mulai membiasakan diri.“Aku sebetulnya tidak suka kalian memanggilku seperti itu. Aku lebih suka kalian memanggilku seperti dulu,” ucapku.“Tapi kami harus terbiasa, gimanapun jika di depan Tuan Muda dan Nyonya memanggilmu seperti dulu pasti kami akan kena sanksi,” ucap Rani lagi. Sementara Sindi hanya mengangguk-angguk mendengarkan.Pintu terbuka. Mike datang dengan asissten wanitanya. Dia mem
BAB 12Tiba-tiba hatiku seolah terbentur benda dengan keras. Yang tergeletak itu adalah photo. Tidak hanya satu, tapi lebih dari itu. Namun itu bukan photoku ataupun photo pernikahan kami. Itu photo-photo suamiku dengan Elisa. Apakah dia masih menyimpan semua kenangan masa lalunya? Ataukah memang wanita itu belum pergi dari hatinya? Lalu aku ini apa?Aku kembali menarik diri keluar ruangan itu. Dengan hati yang masih kacau aku melangkah ke ruangan ibu mertuaku.Hanya butuh beberapa langkah akhirnya aku tiba di sana. Setelah menguatkan hati akhirnya aku mengetuk pintu itu perlahan.“Masuk!” Kudengar suara wanita paruh baya itu dari bilik kamarnya.Aku mendorong daun pintu. Segera kumelangkah berhambur memeluk wanita yang tengah tiduran itu. Suamiku rupanya di sini sedang memberinya makan,“Mah, gimana kondisinya?” tanyaku sambil berjalan ke arah mereka berdua.“Alhamdulilah,