BAB 8
Ketika kami hendak memasuki halaman rumah. Terlihat sebuah mobil terparkir di depan. Aku menyipitkan mata mencoba mengenali mobil itu. Apakah mobil itu milik suamiku? Tapi bukankah dia bilang sekitar seminggu di Singapura?
Lantas kalau bukan mobil Mas Ashraf itu mobil siapa?
“Assalamu’alaikum!” Tiba-tiba kudengar seseorang yang mengucap salam.
“Wa’alaikumsalam!” Aku, bapak dan ibu menjawab serempak.
Tampak seorang lelaki bertubuh tinggi, berdiri dari teras rumah kami yang masih gelap. Aku menyipitkan mata mencoba mengenali sosok lelaki itu.
“Maa Ta, aku berkunjung ke sini! Soalnya aku menunggu balasan pesan darimu tapi gak ada juga!” ucapnya sambil berjalan keluar dari teras menghampiri kami bertiga.
“Eh, Nak Hafiz si kasep ini teh!” Bapak rupanya mengenali sosok yang kini tengah berdiri beberapa langkah jaraknya dari kami.
“Iya Pak, maaf mengganggu waktu Bapak dan Ibu! Saya ada perlu dengan Sinta!” ucapannya terdengar ramah dan sopan.
“Kang Hafiz ada perlu apa? Urusan kita sudah selesai, tidak ada lagi yang perlu dibicarakan!” ucapku sambil berlindung dipunggung ibu sambil menunduk.
“Aku hanya ingin mendengar jawaban atas pertanyaanku yang tadi! Urusan kita belum selesai dan tidak akan pernah selesai!” ucapan yang penuh penekanan membuatku merinding. Aku lebih merinding lagi karena takut ada yang melihat kejadian ini dan melapor pada keluarga suamiku.
“Nak Hafiz ayo ngobrolnya di dalam aja!” Bapak menepuk bahu lelaki itu kemudian mendahului berjalan memasuki teras rumah.
Bapak merogoh sakunya dan membuka pintu. Dia kemudian menyalakan lampu rumah, sehingga sosok lelaki berwajah teduh itu jelas berada di depanku. Aku menarik lengan ibu untuk duduk menemaniku di luar.
Aku memilih duduk di seberangnya sambil tetap menunduk. Sesekali wajahku berpaling ke area luar rumah karena merasa ada yang memperhatikan. Namun tidak ada siapapun yang berada di sana. Tidak mungkin juga para bodyguard yang suamiku bicarakan tempo hari itu benar-benar nyata.
Sebelum aku pulang dia sempat membicarakan akan mengirim pengawal untuk menemani perjalananku serta mengawalku selama berada di rumah. Namun jelas-jelas kutolak ide gilanya yang bisa membuat heboh seluruh desa.
Dia hanya mengangguk dan tidak hendak mengekangku. Akhirnya dia membiarkanku hanya pulang di antar oleh Bang Rudi, supir kepercayaannya. Namun orang itu pun sudah kusuruh pulang karena mana mungkin aku membiarkan seorang lelaki menginap di dalam rumahku yang sempit ini.
“Akang mau bicara apa? Cepetan aku gak enak sama warga, Kang! Aku wanita bersuami tidak baik menerima tamu lelaki lain ketika suamiku tidak ada!” Akhirnya aku memulai pembicaraan. Aku ingin semuanya segera selesai.
“Ta! Aku cuma mau kejelasan, kenapa kamu mengingkari janji yang sudah kita ucapkan?” tanynya.
“Aku gak pernah berjanji, Kang! Aku hanya bilang urusan jodoh itu di tangan Tuhan! Jika nanti pada waktunya Kang Hafiz berjodoh dengan Sinta, maka Sinta tidak akan menolaknya! Namun kan kenyataan sekarang berkata lain, Kang! Aku sudah bersuami! Jadi mohon Akang juga bisa ikhlas menerima semua ini,” tukasku panjang lebar.
“Aku mengerti keadaan tidak bisa diputar lagi! Namun kenapa kamu tidak memilih untuk menungguku dan malah menerima lelaki lain sebagai suamimu?” tanyanya lagi. Aku menarik napas panjang. Ingin segera aku meninggalkannya di sini berdua dengan ibu.
“Allah mengirimnya lebih cepat daripada niat Akang untuk menghalalkanku! Dan juga keluarganya mau menerimaku yang miskin dan tidak berpendidikan ini dengan tangan terbuka, tidak seperti-“ Ah, aku lupa untuk tetap menyimpan semua rahasia ini.
“Tidak seperti apa, Ta?” tanyanya penasaran.
“Sudahlah, Kang! Semua sudah selesai! Lebih baik Akang pulang karena hari sudah malam!” ucapku lagi.
“Aku tidak akan pulang sebelum kamu menceritakan semuanya dengan gamblang!” Sungguh keras kepalanya tidak berubah. Aku kembali menghela napas.
“Keluarga Akang tidak akan setuju memiliki menantu seperti aku, Kang! Aku orang miskin dan berpendidikan! Itulah salah satu alasan untukku memutuskan pergi jauh dari kampung ini, agar memiliki kehidupan baru,” ucapku tegas.
“Dari mana kamu bisa menyimpulkan seperti itu?” Dia kembali mencecarku dengan pertanyaan. Ibu mengusap-usap punggungku. Dia mengerti jika aku sudah tidak nyaman dengan obrolan ini.
“Sudahlah, Kang! Aku mau istirahat. Besok mau pulang! Akang tidak perlu tahu aku tahu dari mana, tapi kini semua sudah berubah! Kita tidak mungkin lagi untuk bersama!” jawabku sambil berdiri.
“Maafin aku, Kang kalau membuat Akang kecewa! Assalamu’alaikum!” Aku mengakhiri percakapan dengan sepihak dan berjalan ke dalam. Aku takt ahu lagi apakah dia pulang atau mengobrol bersama kedua orang tuaku.
Aku berpapasan dengan bapak yang membawa dua cangkir kopi ke depan.
Aku segera masuk ke kamar. Merebahkan sejenak badanku yang terasa lelah tidak karuan. Kulirik jam sudah menunjukkan waktu pukul delapan lewat sedikit. Aku bergegas menuju kamar mandi yang berada di dapur. Mengambil wudhu untuk menjalankan salat Isya sebelum tidur.
Selepas salat aku memeriksa ponselku. Ada dua notifikasi pesan masuk.
[Assalamu’alaikum Sayang! Gimana acaranya lancar?] pesan yang dikirim suamiku pada pukul tujuh lewat seperempat. Mungkin Ketika aku tengah berada di jalan.
[Met istirahat, ya! Selamat malam! Besok Bang Rudi akan sampai di sana pagi-pagi! Hati-hati di jalan!] tulisnya pada pukul delapan kurang sepuluh menit.
Ya Tuhaaan! Semua kesibukan hari ini sampai aku melupakan suamiku. Bahkan aku tidak sempat berkabar dengannya. Segera kuketik pesan balasan. Dari luar kudengar deru mobil yang menjauh, sepertinya lelaki itu sudah pulang.
[Wa’alaikumsalam! Maaf baru bales, Mas! Acaranya sudah selesai alhamdulilah lancar! Maaf telat balesnya tadi lagi di jalan! Selamat malam!] tulisku tapi tidak ada jawaban. Biasanya setelah Isya suamiku berkutat kembali dengan laptopnya. Atau mungkin dia kelelahan dan di singapura juga waktunya lebih cepat satu jam dari pada di sini. Aku segera membaringkan tubuhku sebelum sebuah notifikasi pesan kembali masuk.
“Nomor tidak di kenal lagi?” Aku menarik napas panjang. Namun tetap kugeser layarnya karena penasaran.
[Bagaimana apakah sudah dipikirkan matang-matang untuk melanjutkan pernikahan kamu? INGAT ANCAMANKU BUKAN OMONG KOSONG!] tulisannya kali ini bercampur dengan hurup besar.
Besok sebelum pulang aku akan mencari kembali nomor baru di konter. Aku akan mencoba tidak memberitahukan pada kedua orang itu, Rani dan Sindi tersangka utama yang membocorkan nomorku.
***
Pagi menjelang, sebuah mobil SUV keluaran terbaru sudah terparkir di depan rumah. Aku sudah berpakaian rapi, bersiap kembali ke rumah utama yang tiga hari ini kutinggalkan.
Aku sudah memasukan ke dalam amplop uang tambahan untuk bapak dan ibu sebesar sepuluh juta rupiah. Aku tidak memberikannya sejak kemarin karena pastinya Bapak dan Ibu banyak pertanyaan. Mereka sendiri tidak percaya jika suamiku orang kaya.
“Pak, Bu! Sinta pamit dulu, ya!”
“Iya, Ta! Hati-hati di jalan!” ucap Ibu sambil memelukku lama.
Sementara bapak hanya duduk sambil menyeruput kopi hitam kesukaannya. Aku menoleh ke arahnya dan menghampirinya.
“Pak, Sinta berangkat dulu, ya!” Lelaki itu mengusap pucuk kepalaku yang tertutup kerudung kemudian mengangguk.
“Hati-hati di jalan!” ucapnya. Aku berpaling kembali pada ibu dan menggenggamkan amplop berisi uang itu ke tangannya. Beruntung ibu sedang terbagi fokusnya, dia tidak menyadari ketebalan amplop yang kuberikan lebih tebal dari biasanya.
“Assalamu’alaikum!” ucapku sambil berjalan menuju Bang Rudi yang sejak tadi berdiri di sana menungguku.
“Wa’alaikumsalam!” jawab bapak dan ibu serempak.
Aku memasuki mobil dan membuka kacanya. Tatapan teduh kedua orang yang sangat kucintai itu membuatku selalu tegar jika hidup akan selalu menemukan takdir terbaiknya. Aku melambaikan tangan kepada mereka. Tidak terasa mataku mengembun. Bersamaan dengan wanita yang berdiri, tersenyum sambil menyeka sudut matanya. Ibu selalu mengiringi kepergianku dengan tangis dan menyambut kedatanganku dengan senyuman.
Aku menutup kaca dan melempar pandangan keluar jendela. Namun dari spion sebelah kiriku terlihat sebuah mobil melaju dengan kecepatan sedang. Aku mengernyit mengingat-ingat mobil serupa yang pernah kulihat.
“Ya Allah itu 'kan, mobil Kang Hafiz! Kenapa dia mengikutiku?” batinku sambil terus memperhatikan laju mobil yang seolah menyesuaikan dengan kecepatan mobil yang kutumpangi.
BAB 9Aku menutup kaca dan melempar pandangan keluar jendela. Namun dari spion sebelah kiriku terlihat sebuah mobil melaju dengan kecepatan sedang. Aku mengernyit mengingat-ingat mobil serupa yang pernah kulihat.“Ya Allah itu 'kan, mobil Kang Hafiz! Kenapa dia mengikutiku?” batinku sambil terus memperhatikan laju mobil yang seolah menyesuaikan dengan kecepatan mobil yang kutumpangi.Aku masih berusaha untuk tenang karena jalan yang kami lewati belum memiliki percabangan. Berharap nanti di depan dia berbelok dan tidak mengikutiku lagi.Aku masih berusaha bersikap biasa sampai akhirnya dia mengikuti kami masuk toll. Aku masih melirik spion sesekali berharap tangkapan mataku salah. Namun ternyata memang dia masih mengikutiku. Aku tidak hendak memberitahu Bang Rudi masalah ini. Biarlah kucari caraku sendiri agar terhindar dari penguntit itu. Sebenernya apa, sih maunya?“Bang,
BAB 10“Selamat datang, Non!” ucapnya sambil membungkuk menghormatiku. Aku melirik sekilas ke arah Bu Herman yang masih memegang uang beberapa lembar yang kuberikan. Aku melambaikan tangan padanya. Kulihat wajah wanita itu merah padam melihat perlakuan para penjaga rumah ini kepadaku. Apakah dia curiga siapa aku sebenarnya, entahlah?Aku bergegas masuk ke dalam rumah setelah menyapa para penjaga. Kulihat rumah masih sepi, mungkin para ART sedang beristirahat di taman belakang. Biasanya setiap pukul sepuluh pagi mereka akan istirahat dan menikmati camilan-camilan atau sekedar minum teh atau kopi yang memang sudah disediakan.Aku langsung menuju kamar utama. Kamar yang terpisah sendiri dan memiliki balkon yang cukup luas. Aku bergegas ganti pakaian menggunakan pakaian yang sudah disiapkan oleh ibu Mertuaku. Semenjak aku menikah dengan putranya, ibu mertuaku melarang aku memakai pakaian yang berkualitas rendah. Buka napa-a
BAB 11“Oke, kamu jangan kemana-mana! Tapi kamu tetap harus jadi ukur suntuk pembuatan gaun! Aku tidak mau uang bonusku dipotong suamimu yang kejam itu!” ujar Mike sambil berlari memanggilkan Rani dan Sindi.Akhirnya Sindi dan Rani memapahku kembali ke kamar. Mereka berdua membantu memijat kakiku. Rani memoleskan salep pereda nyeri. Sementara Sindi memijiti kakiku.“Makasih ya, Ran, Sin!” ucapku.“Sudah kewajiban kami, Non!” ucap Rani mulai membiasakan diri.“Aku sebetulnya tidak suka kalian memanggilku seperti itu. Aku lebih suka kalian memanggilku seperti dulu,” ucapku.“Tapi kami harus terbiasa, gimanapun jika di depan Tuan Muda dan Nyonya memanggilmu seperti dulu pasti kami akan kena sanksi,” ucap Rani lagi. Sementara Sindi hanya mengangguk-angguk mendengarkan.Pintu terbuka. Mike datang dengan asissten wanitanya. Dia mem
BAB 12Tiba-tiba hatiku seolah terbentur benda dengan keras. Yang tergeletak itu adalah photo. Tidak hanya satu, tapi lebih dari itu. Namun itu bukan photoku ataupun photo pernikahan kami. Itu photo-photo suamiku dengan Elisa. Apakah dia masih menyimpan semua kenangan masa lalunya? Ataukah memang wanita itu belum pergi dari hatinya? Lalu aku ini apa?Aku kembali menarik diri keluar ruangan itu. Dengan hati yang masih kacau aku melangkah ke ruangan ibu mertuaku.Hanya butuh beberapa langkah akhirnya aku tiba di sana. Setelah menguatkan hati akhirnya aku mengetuk pintu itu perlahan.“Masuk!” Kudengar suara wanita paruh baya itu dari bilik kamarnya.Aku mendorong daun pintu. Segera kumelangkah berhambur memeluk wanita yang tengah tiduran itu. Suamiku rupanya di sini sedang memberinya makan,“Mah, gimana kondisinya?” tanyaku sambil berjalan ke arah mereka berdua.“Alhamdulilah,
BAB 13“Kamu berjanji akan mempercayaiku apapun yang akan kukatakan nanti?” tanyanya. Pupil hitamnya memandang lekat kedua netraku.Aku mengangguk. Karena hanya itu pilihannya.“Jika yang kukatakan itu membuatmu terluka, apakah kamu masih bersedia menjadi istriku?” pertanyaan berikutnya membuatku takut. Hati semakin menerka-nerka sejauh apa hubungan mereka dulu.Aku kembali mengangguk. Dia menarik napas panjang sebelum memulai cerita.“Pada waktu itu, aku sangat mencintai Elisa! Tidak ada wanita lain lagi yang kulirik selain dia. Kami berpacaran cukup lama dan melakukan hal-hal yang biasa orang lakukan pada umumnya!” ucapnya. Baru sampai pada kalimat itu aku sudah memejamkan mata. Mengatur napas dan menata keberanian untuk muncul kembali.“Apa yang mereka lakukan, Ya Tuhaaan?”“Heyyy!” Suamiku menepuk lembut punggung tanganku. Aku terperanjat da
BAB 14“B-Boss! Barang-barangnya sudah gak ada sekarang!” ucapnya sambil menatapku dan Mas Ashraf bergantian.Suamiku berdiri dan menghampirinya. Wajah Mike sudah terlihat pucat seperti kapas. Bagaimanapun semua orang mengenal Suamiku sebagai orang yang tegas.“Makasih, Mike!” ucapnya sambil menepuk bahu Mike dua kali kemudian memutar badan untuk beranjak ke lantai atas.“Makasih … untuk?” Mike mengernyitkan dahi sambil menatap punggung Suamiku.“Akhirnya aku akan segera tahu, siapa orang dalam rumah ini yang memihak Elisa? Taman belakang tersorot CCTV, jadi aku bisa segera mengetahuinya!” ucap Mas Ashraf sambil berlari meniti anak tangga.Kami saling melempar pandang. Wajah Mike berangsur membaik. Setelah Mas Ashraf tidak terlihat lagi, Jelly mengajakku bergegas ke ruang olah raga.“Silakan, Nona!” ucap Jelly sopan sa
BAB 15 – POV AshrafHari itu di salah satu butik milik Mike yang sudah menjadi langganan keluarga kami. Kami dipertemukan dengan seorang fashion desainer ternama yang sudah kuminta untuk merancang gaun pengantin itu.Aku memang sudah memesannya enam bulan lalu. Disaat hatiku mulai yakin jika dia adalah tujuan hidupku. Entah kepercayaan diri tingkat mana yang membuatku berani meminta dirancangkan sebuah gaun untuk seorang wanita biasa. Wanita yang bahkan pada saat itu sama sekali tidak tahu jika aku sudah menaruh hati padanya. Wanita yang memiliki daya tarik tersendiri.Wanita yang alunan suaranya mampu menggetarkan hatiku. Membuatku betah berlama-lama menguping dari luar kamar para ART dengan berpura-pura lewat untuk olah raga.Dia tidak pernah tahu, jika sudah begitu lama aku mengagumi alunan suara yang menggetarkan hati itu. Lantunan yang bisa membuat mataku berkaca-kaca meski aku tidak mengerti artinya.Jika
BAB 16 Mobil yang kami tumpangi akhirnya tiba di sebuah rumah besar. Hanya sebentar. Kata Suamiku ini adalah rumah pamannya. Adik tiri dari ayahnya.Kami hanya sebentar singgah di sana. Tidak ada keakraban dan keramahan yang terjalin. Bahkan aku merasakan ada tatapan mata yang seolah tajam menikam. Tatapan mata yang bagiku sangat menakutkan dari seorang lelaki yang suamiku panggil paman. Apakah karena aku dari keluarga tidak punya, lalu lelaki itu tidak menyukaiku?Sepanjang bertamu di sana, suamiku tak lepas menggamit jemariku. Aku merasakan ada hal yang aneh juga antara hubungannya. Masih teringat jelas beberapa kalimat yang Mas Ashraf ucapkan penuh penekanan.“Paman pikir, aku tidak bisa bahagia jika wanita itu tidak bersamaku? Paman salah … justru aku berterima kasih padamu karena telah menunjukkan kebusukannya sebelum pernikahan itu terjadi,” masih teringat jelas ucapan suamiku saat tadi