Share

6. Pembelaan Ibu

Bagian 6

Pov: Mila

"Assalamualaikum ...."

Suara pintu dibuka dan seseorang mengucap salam terdengar. Aku yang sedang menemani Radit bermain, berdiri dan melangkah ke sumber suara. Sosok wanita paruh baya menenteng rantang susun tengah melangkah dengan mata seperti mencari penghuni rumah ini. Dia Ibu dari Mas Ben, Ibu mertuaku, Neneknya Radit.

"Waalaikumsalam!" ucapku menimpali.

Aku segera berdiri. Menghampirinya dan meraih jemarinya yang kemudian kukecup lembut.

"Ibu kenapa tidak bilang dulu kalau mau ke sini? 'Kan bisa aku jemput. Ke sini naik apa, Bu? Bawa mobil sendiri?" kataku lalu segera menenteng rantang yang Ibu bawa, kemudian menggandeng tangan ibu dan melangkah mendekati Radit yang tengah asik bermain.

"Ibu masih trauma kalau bawa mobil sendiri. Sekarang 'kan mudah, pesan taksi online, langsung naik dari depan rumah. Jadi tidak perlu dijemput lagi. Ibu yang mau main ke sini kok, malah kamu yang repot jemput!" ujar Ibu menepuk pelan lenganku dengan tersenyum.

Radit sangat senang ketika tahu Ibu datang. Dilepasnya mainan yang ia pegang dan berlari memeluk erat tubuh Ibu yang sengaja ia bungkukan.

"Nenek ...."

"Radit lagi main apa, sih? Nenek lihat, sepertinya tadi seru sekali mainnya."

"Mobil, Nek."

Kini Radit sudah digendong Ibu. Wajahnya riang. matanya berbinar dan bibirnya merekah, tak henti menyunggingkan senyum. Kuajak Ibu yang tengah menggendong Radit mengikutiku ke ruang depan untuk duduk.

"Ibu bawakan capcay baso udang, omelet isi makaroni dan sosis, juga semur ayam kesukaan Radit. Nanti suruh makan dengan itu saja, ya, Mila!"

"Iya, nanti aku suapin Raditnya. Bagaimana dengan rumah makan Ibu? Makin ramai?"

"Alhamdulillah, Mil! Rencana, minggu depan Ibu mau buka cabang baru lagi. Doakan agar lancar, ya!"

Mendengar Ibu yang terlihat bahagia saat bicara soal rumah makannya, aku ikut tersenyum, merasakan kebahagiaan yang saat ini ibu rasakan.

"Alhamdulillah ...."

Ibu memang hobi memasak. Ia sangat suka membuat apapun yang bisa dimakan. Bukan hanya hobi, tapi Ibu ahli dalam hal memasak. Apapun masakan, makanan, dan kue yang Ibu buat, pasti selalu enak dan lezat.

Dari hobi dan keahliannya itulah, satu minggu sebelum Radit lahir, Ibu memberanikan diri membuka rumah makan yang lumayan besar dengan dirinya sendiri menjadi koki. Baru satu bulan rumah makan diresmikan, rumah makan selalu penuh pada jam makan siang dan malam. Di luar jam makan pun, selalu saja ada pembeli. Tak pernah sepi.

Hingga dalam empat tahun ini, Ibu sudah berhasil membuka tiga cabang rumah makan yang ia kelola dari hasil kerja keras dan jerih payahnya.

Ibu seorang janda yang memilih perceraian daripada harus mengizinkan suaminya menikah lagi. Ibu berpisah dengan Bapak ketika Mas Ben masih berusia sepuluh tahun. Tapi karena semangat dan perjuangan Ibu yang ingin melihat Mas Ben sukses, Ia berusaha mati-matian menghidupi keluarga dengan bekerja sebagai juru masak di kantin salah satu perusahaan yang menyediakan makan untuk para karyawannya.

"Sebentar lagi Radit ulang tahun ya, Mil?"

"Iya, Bu. Dua belas hari lagi."

"Ben, gimana? Pas waktunya pulang?"

"Iya," kataku datar.

Dari sikapnya yang biasa-biasa saja, Ibu pasti belum tahu masalah aku dan Mas Ben. Tapi, biar bagaimanapun juga, Ibu harus tahu. Karena Ibu, orangtua Mas Ben. Dia harus tahu semuanya. Termasuk aku yang ingin meminta cerai karena Mas Ben sudah mengkhianatiku, menikah lagi dengan wanita lain secara diam-diam.

"Bu ...," kataku hati-hati.

"Ya?"

Ibu yang tengah memangku dan mengajak main Radit langsung menoleh ketika mendengar aku memanggilnya.

"Bisa titipkan Radit dulu ke Mbak Siti? Aku mau bicara berdua saja dengan Ibu."

"Sepertinya penting sekali. Ya sudah, panggil Mbak Siti nya!"

Aku bangkit, beranjak dari dudukku. Melangkah ke belakang, mencari Mbak Siti. Biasanya sehabis masak untuk makan siang, Mbak Siti pasti langsung menyetrika pakaian yang kemarin dijemur. Sementara Ibu masih terus mengajak Radit bermain di pangkuannya.

Benar saja, Mbak Siti tengah asik memaju-mundurkan setrika di atas pakaian.

"Mbak," kataku ketika sudah di hadapannya.

"Eh ... Ibu? Ada apa, Bu? Sampai disusul ke sini?"

Mbak Siti menghentikan gerakan tangannya saat tahu aku sudah di depannya.

"Itu ditunda dulu. Diteruskan nanti saja. Mbak ajak main Radit dulu ya, di kamarnya! Saya ada keperluan dengan Neneknya Radit."

"Oh ... Maksudnya, Ibu mau ke rumah Bu Ida?"

"Bukan, Mbak. Ibu ada di sini. Saya mau mengobrol penting dengan Ibu tanpa melibatkan Radit."

"Owalah! Jadi ada Bu Ida datang? Dari kapan, Bu? Kenapa Ibu tidak panggil saya? Sampai tidak di siapkan minum 'kan jadinya untuk Bu Ida!" kata Mbak Siti yang merasa bersalah.

"Aman, Mbak! Soal minum, mah, aman! Sudah, yuk. Bawa Radit ke kamarnya!"

Aku tersenyum melihat sikap Mbak Siti yang seperti ketakutan. Ia takut kena marah dengan Ibu, karena tidak siaga dengan tamu yang datang. Padahal, Ibu tak segalak yang ia takutkan.

***

Setelah Radit diajak Mbak Siti ke kamarnya. Aku dan Ibu pindah ke halaman belakang rumah. Tepat di bawah pepohonan yang rindang dan di kelilingi bunga yang sengaja kutanam, aku dan Ibu duduk di kursi yang biasa berjejer di taman-taman.

"Ada apa, Mil?" kata Ibu dengan wajah kulihat sangat ingin tahu.

Aku menghela nafas. Rasanya sangat sulit menceritakan hal yang pahit ini pada Ibu. Aku tahu, Ibu pasti akan sangat kecewa mendengarnya. Tapi aku harus tetap memberitahukan hal ini pada Ibu. Aku tak mau sewaktu-waktu aku yang akan disalahkan nantinya karena mencoba diam.

"Mila?" kata Ibu lagi.

"Mas Ben, Bu."

"Kenapa dengan Ben?"

"Mas Ben sudah menyakiti hatiku. Dia mengkhianatiku dan menikah dengan wanita lain tanpa sepengetahuanku. Aku dan Mas Ben akan segera bercerai."

Air mataku benar-benar tak bisa kutahan. Aku bicara sambil menatap wajah Ibu di hadapanku, yang membuat hati ini semakin sakit. Buru-buru kuseka air mata yang terlanjur menetes. Aku tak mau terlihat lemah di depan Ibu. Di depan orangtua Mas Ben. Sesayang apapun Ibu denganku dan Radit, sebagai orangtua, ia pasti akan tetap membela anaknya, meski anaknya telah berbuat salah. Itu yang aku takutkan.

"Ben menikah lagi? Dengan siapa? Kamu dapat kabar darimana, Mil? Jangan langsung percaya begitu saja dengan kabar yang belum tentu kebenarannya! Ben anak baik, ayah yang penyayang, suami yang bertanggung jawab! Mana mungkin dia seperti itu?"

Kuperlihatkan foto-foto pernikahan Mas Ben yang ada dalam ponselku. Ibu menutup mulutnya yang menganga ketika baru saja melihat fakta yang mengejutkannya. Ia menggeleng, seperti tak percaya dengan foto-foto yang baru saja ia lihat di layar ponselku.

"Mas Ben memang sudah menikah lagi, Bu! Mas Ben memang suami yang bertanggung jawab soal nafkah untuk keluarga. Tapi tidak dengan ikrar janji suci pernikahannya!"

Wajah Ibu yang kulihat terkejut, kemudian berubah tersenyum. Ia menggenggam erat jemariku. Membuatku bertanya-tanya atas sikapnya.

"Begini Mila, suami yang bertemu istri setiap hari saja masih bisa merasa bosan. Apalagi Ben, yang hanya bertemu kamu setiap tiga bulan sekali. Dia laki-laki. Tidak akan bisa menahan hasratnya yang memang harus tersalurkan. Wajar kalau Ben menikah lagi. Laki-laki itu dibolehkan memiliki lebih dari satu istri. Tidak usah bercerai. Jalani saja takdir kamu dan Ben. Takdir yang mengharuskan kamu di madu. Sepanjang Ben tetap memberimu dan Radit nafkah, ikhlaskan saja!"

Kata-kata Ibu membuat air mata yang tadinya berhenti menetes, kini kembali menyembul keluar. Aku tak percaya Ibu dengan entengnya berkata aku harus ikhlas dimadu. Aku tidak terima dengan apa yang Ibu katakan kepadaku. Rasa takutku kini terbukti, Ibu pasti akan tetap membela Mas Ben, meski di sini Mas Ben benar-benar salah. Alasan apapun itu, perselingkuhan tetaplah salah.

Kuseka lagi airmataku dengan kasar. Aku tersenyum menatap Ibu. Kulepaskan genggaman tangannya.

"Aku tahu, Bu. Di dalam dasar hati Ibu, Ibu menentang keras apa yang sudah Mas Ben lakukan. Hanya karena demi harga diri seorang anak, Ibu rela menyebut perbuatan Mas Ben yang jelas-jelas salah dalam agama maupun hukum, karena selingkuh dan menikah diam-diam tanpa persetujuan dari istri pertamanya, itu sebuah kewajaran. Takdir yang harus aku terima! Bagaimana dengan rumah tangga Ibu dulu dan Bapak? Kalau Ibu bilang itu hal wajar, kenapa Ibu tak terima dan memilih bercerai saat Bapak meminta Ibu untuk mengizinkannya menikah lagi? Maaf, Bu. Aku bukan wanita bodoh yang mau dimadu dengan cara kotor seperti ini!" kataku dengan suara sedikit ditekan dan bibir yang masih tetap memperlihatkan senyuman.

Tak menunggu jawaban dari Ibu. Aku bangkit dan pergi melangkah dengan cepat, meninggalkannya sendirian yang masih terpaku usai mendengar kata-kataku yang panjang tak terputus.

=====

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status