Share

7. Sang Direktur

Bagian 7

Pov: Mila

Sudah tiga hari aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Niatan ingin melaporkan Mas Ben ke atasannya, masih begitu terasa mengganjal hati ini. Tapi malam ini, aku sudah bisa mengambil keputusan. Pun dengan tidurku yang akan nyenyak malam ini.

Esok, akan kuberanikan diri untuk melapor ke perusahaan Mas Ben. Meski Mas Ben selalu berpindah-pindah tugas, kantor pusat perusahaannya ada di Jakarta. Tidak jauh dari tempat tinggalku. Hanya membutuhkan waktu sekitar 45 menit perjalanan.

***

"Mbak ... Saya titip Radit, ya! Ada urusan yang harus saya kerjakan," kataku pada Mbak Siti yang tengah asik menyuapi Radit sarapan.

"Iya, Bu."

"Bunda mau kemana?" Radit langsung bertanya dengan mulut yang masih penuh makanan.

"Bunda ada urusan sebentar. Anak kecil tidak dibolehkan ikut. Jadi, kamu di sini saja, main sama Mbak Siti. Ya!"

Tak sulit membuat Radit untuk mengerti. Dia mengangguk, membuatku tersenyum menatapnya.

Semalam, aku menyempatkan diri untuk membuat laporan tertulis atas perselingkuhan Mas Ben dan pernikahan diam-diamnya dengan menyematkan bukti foto-foto pernikahannya itu. Aku berharap, para petinggi di perusahaan tempat Mas Ben bekerja memberikan sanksi yang sesuai untuk Mas Ben karena perbuatannya.

Kuminum segelas teh manis hangat yang sudah disiapkan Mbak Siti untukku dengan beberapa kali tegukan. Aku terbiasa sarapan yang tak terlalu pagi. Alasannya karena menunggu Radit terbangun dari tidurnya. Meski aku bisa sarapan lebih dulu, tapi aku lebih memilih sarapan bersama Radit. Seperti pagi ini, kami baru sarapan di jam delapan.

"Ya sudah, Mbak. Aku jalan, ya! Sudah macet pasti jalanan!" kataku yang langsung mencium kedua pipi Radit.

"Hati-hati, Bu. Semoga lancar urusannya ya, Bu!"

Kuanggukan kepalaku dan langsung melangkah sedikit tergesa ke garasi mobil.

Laju mobil yang terhambat karena macet di beberapa titik, membuatku tak sabar untuk cepat-cepat keluar dari zona macet ini. Begitu ada celah, langsung kuputar balik setirku. Mencari jalan alternatif lain, agar bisa lebih cepat tiba di kantor Mas Ben.

"Yes. Akhirnya!" kataku ketika berhasil keluar dari kemacetan.

Kemudian sambil mobil tetap melaju, aku sibuk membuka map di ponsel. Melihat jalan mana yang terhindar dari kemacetan menuju kantor Mas Ben. Hingga aku tak sadar kalau di depan ada lampu merah persimpangan jalan.

Sebuah mobil dari arah samping terlihat dekat sekali melaju. Dengan spontan aku menginjak rem, berusaha menghentikan laju mobil agar tak terjadi apa yang tidak aku inginkan.

CIIIIIIITTTTTT BRAK!

Tetap saja mobilku berbenturan dengan mobil itu. Beruntung tidak ada luka apapun padaku. Aku diam, mengatur nafas yang sempat berhenti karena membayangkan maut tengah menanti di depan mata.

Dug dug dug!

Seseorang mengetuk kaca pintu mobilku. Aku tersentak, kemudian menoleh, melihat siapa seseorang di luar sana.

Dug dug dug!

Diketuknya lagi, dengan tubuh yang menunduk seperti tengah berbicara dan mata mengintip dari balik kaca.

Gegas, kubuka pintu mobilku. Karena panik, aku membukanya terlalu keras.

Bug!

"Auw!"

Kening pria yang menunduk dan mengetuk-ngetuk kaca mobil, terjedot pintu mobil yang kubuka dengan keras. Kemudian buru-buru ia mundur sambil mengusap keningnya dan meringis pelan.

"Ma-maaf, Mas! Aku tidak sengaja. Maaf!" ucapku saat sudah keluar dari mobil dan berdiri di depannya.

"Maaf! Memang dengan kata maaf semuanya akan berubah baik-baik saja? Lihat lampu lalu lintas itu! Merah! Apa kamu tidak bisa membedakan warna merah dengan hijau? Punya SIM atau tidak kamu? Main terobos saja!"

Pria di depanku benar-benar tak punya empati sedikitpun dengan wanita yang tengah syok sepertiku. Padahal dia tahu, aku baru saja hampir menjemput nyawaku sendiri.

Wajahnya yang tampan, pakaiannya yang rapi, bagus, dan terlihat mahal, tak membuat hatinya sebagus penampilannya.

"Hey, Mas, Pak, Om, atau siapa lah yang pantas untuk panggilanmu. Aku sudah minta maaf dengan sopan, tapi kamu malah memaki dan menghinaku. Ini jelas-jelas kecelakaan! Lagipula siapa yang mau celaka seperti ini?! Dasar laki-laki cerewet!"

Mendengarku bicara, pria yang belum kuketahui namanya, melotot ke arahku. Ia seakan tak terima dengan apa yang baru saja  kukatakan.

"Apa?! Mau memakiku lagi? Menghinaku lagi?" kataku lagi dengan sedikit melotot dan mendekatkan wajahku ke arahnya.

Pria itu tak membalas omonganku. Ia justru berbalik membelakangiku dan melangkah masuk ke dalam mobilnya.

"Wanita gilak!" katanya yang kudengar pelan saat ingin menutup pintu mobilnya.

Setelah pria itu pergi. Aku baru sadar telah menjadi tontonan banyak orang. Kerumunan orang yang berada di sekelilingku, menatapku sambil berbisik ke satu sama lain. Wajahku memerah. Aku benar-benar malu. Suara klakson mobil dan motor menderu bersahutan. Cepat-cepat kubuka pintu mobil dan masuk untuk segera melajukan mobilku menjauh dari keramaian ini.

"Mimpi apa aku semalam? Bisa bertemu dengan laki-laki seperti itu! Tidak ada sama sekali sisi lembutnya berbicara pada wanita! Aku yakin, dia pasti perjaka tua. Mana ada wanita yang mau menjadi kekasihnya, bahkan menjadi istrinya!"

Dengan tangan tetap di setir dan mata fokus ke depan jalan. Aku terus mengoceh tanpa henti tentang pria yang baru saja kutemui.

Selesai mengurus laporan untuk Mas Ben, aku berencana langsung mengurus asuransi mobil ini. Bagian depan mobil sempat kulihat rusak dengan kerusakan yang lumayan parah.

Setelah beberapa menit perjalanan. Akhirnya tiba juga di kantor Mas Ben bekerja. Aku berharap bertemu dengan atasannya langsung. Agar tak berbelit-belit dan mengulur waktu yang terlalu lama.

Aku ingin urusan ini cepat selesai, dan Mas Ben mendapatkan pelajaran berharga yang memang seharusnya ia dapatkan. Aku ingin dia menyesal atas perlakuannya yang sangat menyakitiku dan sudah menyia-nyiakan aku.

"Permisi, Mbak," kataku yang langsung ke meja resepsionis.

"Iya, Mbak. Ada keperluan apa? Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya Mila, istri dari Pak Ben Raharja, ahli tehnik di perusahaan ini," kataku mencoba memperkenalkan diri dengan membawa nama Mas Ben.

"Oh ... Istrinya Pak Ben! Kalau boleh tahu, ada perlu apa, ya, Bu?"

"Bisa saya bertemu dengan direktur utama perusahaan ini?"

"Sebentar ya, Bu. Saya coba hubungi Pak Jonas dulu. Untuk bisa atau tidaknya, semua tergantung beliau. Ibu duduk saja dulu!"

Aku mengangguk, dan mengiyakan saran Mbak resepsionis untuk duduk. Aku sangat berharap, Pak Jonas, nama yang baru saja disebutkan Mbak itu, mau menerima kedatanganku dan mempersilahkan aku untuk bisa menemuinya.

"Bu Mila."

"Ya, Mbak?"

"Langsung saja ke lantai tiga. Kalau sudah di lantai tiga, dari lift, Ibu ke kiri. Lurus, ada pertigaan, Ibu maju lagi sedikit. Nah, ruangan Pak Jonas ada di sebelah kanan. Cukup jelas? Atau mau saya antar?"

"Eh ... Tidak usah! Cukup kok, Mbak. Saya sudah mengerti. Sudah jelas. Terima kasih ya, Mbak!"

Ketika sudah di lantai tiga, dan mengikuti arahan yang tadi dijelaskan Mbak resepsionis. Aku sekarang sudah berada persis di depan pintu ruangan Pak Jonas. Direktur utama dari perusahaan pertambangan tempat Mas Ben bekerja.

Dengan penuh percaya diri dan yakin atas apa yang ingin aku laporkan. Kuberanikan tangan ini mengetuk pintu ruangan yang berkaca di depanku.

"Permisi ...."

Tak ada jawaban. Aku mencoba menunggu beberapa saat sampai dibukakan pintu. Tapi tak juga ada jawaban.

Kuketuk lagi pintunya.

"Permisi ...!" kataku sedikit kencang dari yang pertama.

"Masuk saja ...." kata seseorang di dalam yang terdengar samar.

Mendengarnya menyuruhku masuk. Kubuka pintu dengan hati-hati. Aku benar-benar takjub saat masuk ke ruangan direktur utama ini. Ruangannya tercium sangat wangi, membuat perasaanku menjadi rileks. Desain dinding dan rak yang ada di ruangan ini juga ditata dengan paduan warna dan tekstur yang indah. Membuat siapa saja yang memandang akan berdecak kagum. Karena terkesima dengan apa yang kulihat, aku sampai lupa apa keperluanku datang ke sini.

Kucari sosok direktur utama yang memiliki nama Jonas itu. Tidak ada. Kursi kerjanya kosong. Kemudian, sosok yang kucari muncul dari balik rak yang penuh dengan buku-buku tersusun rapi.

"Permisi Pak! Saya Mila, istri dari ...,"

Aku tak meneruskan perkenalanku. Rasanya, aku benar-benar tak percaya dengan apa yang aku lihat di depanku. Pria kasar dan tidak punya rasa empati, juga tidak bisa bicara lembut dengan wanita, yang aku temui tadi di jalan, ada di hadapanku. Dia direktur utama perusahaan ini. Atasan Mas Ben. Mulutku menganga. Dengan cepat kututup mulut yang menganga ini dengan tangan. Sementara mataku, masih terus melotot tak berkedip menatapnya.

=====

Bersambung ....

Comments (1)
goodnovel comment avatar
nananayaaya
koq aq ga bs buka bab selanjutnya yak.. ?? pasti tulisan nya anda tidak dapat membuka halaman ini
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status