Kali ini, aku tidak melihat sisi khawatir dari pertanyaan nya. Namun, aku melihat ia cemburu karena aku menyebut nama istriku.
"Ga apa-apa, aku mau kerja ya. Ngobrolnya nanti siang lagi," usirku.
Widya nampak kesal dengan ucapanku, ia bahkan pergi seraya menghentakkan kakinya ke lantai. Entahlah, ternyata begini pusingnya memiliki dua wanita.
______
Setelah makan siang, aku berniat menelpon Nia untuk memastikan ia masih di rumah dan tidak bepergian kemanapun.
"Halo, kamu dimana?" tanyaku pada Nia.
"Dirumah!" jawabnya singkat.
Seperti belakangan ini ia terus saja bersikap dingin padaku.
"Nyalain video nya!" perintahku.
Hingga akhirnya kami saling bisa melihat satu sama lain ketika panggilan beralih ke video. Bodohnya, aku lupa jika ada Widya di sebelah ku sehingga aku sedikit menggeser tubuhku.
"Kenapa Mas?" tanya Nia yang melihatku nampak gugup.
"Aku pikir kamu pergi, jadi aku telepon kamu," sangkalku.
Nia tak menanyakan tentang Widya. Mungkin ia belum sempat melihat kami duduk bersama sehingga ia tak menanyakan tentang Widya atau mungkin ... karena ia sudah tak perduli padaku?
"Mas, kapan kamu mau nikahin aku?" tanya Widya setelah panggilan video itu mati.
Aku menatap lekat wajahnya, wanita yang dulu sangat aku banggakan seketika terlihat biasa saja. Bahkan, ia tak jauh lebih baik dari Nia.
"Maaf, kayaknya aku belum bisa nentuin," jawabku singkat.
Widya nampak kecewa dengan jawabanku. Ia menekuk wajahnya hingga nampak jelas kerutan di bagian matanya.
Astaghfirullah, mengapa aku tidak pernah menyadari bahwa Widya tak jauh lebih baik dari istriku?
Aku bangkit dan beranjak pergi meninggalkan kantin dan juga Widya disana untuk kembali mengerjakan semua tugas yang sudah menumpuk di atas meja kerja.
"Roby ...! apa-apaan ini, kerjaan kamu kemarin semua berantakan!" teriak Pak Pratama seraya melempar semua tugas yang kemarin aku kerjakan.
Aku mendongak dan segera meminta permintaan maaf untuk kesalahan yang aku lakukan.
"Mas, jangan lupa di cek lagi kalau udah selesai kerjain proposal ya."
Seketika aku teringat bagaimana bawelnya Nia saat aku mendapatkan proyek baru dan harus menyelesaikan banyak proposal.
"Hari ini semua harus kelar! kalau kamu gak sanggup mendingan keluar dari perusahaan saya!" bentak beliau.
Semua menatapku heran, setelah bertahun-tahun kerja di perusahaan ini. Aku baru melihat Pak Pratama semarah ini. Bahkan, aku adalah anak emas di perusahaan ini tapi, entah mengapa Pak Pratama bisa marah seperti ini.
Aku buka lagi semua proposal yang kemarin aku kerjakan. Aaah, pantas saja. Semua memang salahku, semua salah karena aku terlalu memikirkan perubahan sikap istriku.
Lebih baik aku segera memperbaiki semua ini dan pulang telat waktu agar bisa membicarakan semua masalahku dengan Nia.
Aku lelah terus berangan dengan prasangka, sedangkan semua belum tentu benar meski aku yakin ada sesuatu yang membuat Nia berubah.
Aku kerjakan semua dengan hati-hati meski memakan waktu yang lebih lama. Hingga tak terasa, kantor sudah sangat sepi dan waktu telah menunjukan pukul tujuh malam.
Alhamdulillah semua bisa aku selesaikan meski aku harus telat pulang ke rumah. Sebelum pulang, aku melihat ponselku, berharap ada pesan dari Nia yang menanyakan mengapa aku tak kunjung pulang seperti saat dulu ia selalu mengkhawatirkan keadaanku.
Namun, nihil! tak ada satupun pesan dari Nia, hanya ada satu pesan masuk dari Widya yang mengatakan bahwa ia ingin mengakhiri hubungan denganku.
Sudahlah, mungkin memang ini saatnya aku untuk memperbaiki diri dan mengakhiri semuanya.
[Baiklah, lebih baik hubungan kita memang tidak berlanjut!]
Balasku pada Widya. Namun, setelah aku mengirimkan balasan itu. Widya justru tak berhenti menghubungi aku. Ia bahkan mengancam akan bunuh diri jika aku tidak datang ke apartemen nya.
Ting!
Satu foto masuk ke aplikasi pesan milikku. Foto tangan Widya yang di penuhi darah. Apa-apaan ini, Widya benar-benar bunuh diri!
Aku putar kemudi ke arah apartemen Widya meski aku sudah hampir sampai di rumah. Saat ini, aku hanya takut Widya nekat dan benar-benar mengakhiri hidupnya.
Sepertinya kami memang harus mengakhiri semuanya baik-baik. Atau mungkin, aku sudah terjebak dalam pemainan yang aku buat sendiri.
Ting!Satu foto masuk ke aplikasi pesan milikku. Foto tangan Widya yang di penuhi darah. Apa-apaan ini, Widya benar-benar bunuh diri!Aku putar kemudi ke arah apartemen Widya meski aku sudah hampir sampai di rumah. Saat ini, aku hanya takut Widya nekat dan benar-benar mengakhiri hidupnya.Sepertinya kami memang harus mengakhiri semuanya baik-baik. Atau mungkin, aku sudah terjebak dalam pemainan yang aku buat sendiri._____"Kamu gila ya!" teriakku saat sampai di apartemen Widya.Tangannya sudah berlumuran darah, ia bahkan tergeletak di lantai hampir saja kehabisan darah. Beruntung aku datang tepat waktu, jadi bisa segera membawanya ke klinik terdekat."Mas, kamu udah gak butuh aku kan. Jadi, buat apa aku hidup!" ucapnya seraya terisak.Aku benar-benar tak menyangka jika Widya mencintaiku sedalam itu. Bahkan, ia ingin
Kini, aku dalam posisi serba salah. Aku takut jika Widya akan mengancam bunuh diri lagi karena aku merasa bertanggung jawab atas dirinya meskipun aku bisa saja membiarkan dia mati tapi, aku rasa itu bukan pilihan yang baik.Aku harus segera mencari cara untuk lepas dari Widya bagaimanapun caranya aku harus secepatnya melepaskan dia sebelum dia tahu hubunganku dengan Widya.Atau bahkan sebelum rumah tanggaku dengan Nia benar-benar hancur karena aku sama sekali tidak ingin kehilangan istri sebaik dia._____Aku peluk tubuh Nia yang masih terlelap, ia bahkan tak menanggapi dan tetap tidur.Ketika aku berpura-pura tidur, Nia bangun dan melepaskan pelukanku. Ia menatap wajahku, kemudian bulir bening keluar dari kedua matanya.Aku semakin tak mengerti, apa ini ada hubungannya dengan sikap diamnya selama ini?"Kamu kenapa?" tanyaku y
Nia pergi setelah mengucapkan kalimat yang masih berusaha aku cerna. Ya Tuhan, apa Nia sudah tahu hubunganku dengan Widya? kenapa aku tidak terpikir sampai situ?"Nia!"Aku kejar langkahnya, hingga tiba di depan pintu. Seseorang berdiri disana, berhadapan dengan Nia tepat di depan pintu."Widya!"_____"Untuk apa kamu ke rumahku?" tanya Nia dengan nada sinis.Widya melirik koper yang ada di tangan Nia, kemudian berganti pandangan ke arahku."Bagus jika kamu mengaku kalah!" ucap Widya.Widya hendak masuk ke dalam rumah, tapi dengan Nia menahan dengan bahu kanannya. Mereka berdua saling pandang. Tatapan tajam yah begitu mengerikan.Ternyata dua orang wanita yang tengah kesal lebih menyeramkan dari pada pria yang tengah bertarung."Kalau kamu ingin pergi, pergilah!" usir Widya seraya melirik k
Widya menangis tersedu di depan lift sementara aku pergi meninggalkan Ia sendiri tanpa merasa bersalah atau pun merasa harus ada yang dipertanggungjawabkan dari hubungan kami berdua.Kini aku hanya tinggal meminta maaf pada Nia dan aku harap dia bisa memaafkan aku karena hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini.____Aku lajukan kendaraan lebih cepat dari biasanya karena aku ingin segera sampai di rumah dan cepat membicarakan semuanya.Sesampainya di rumah aku segera membuka pintu yang ternyata belum dikunci oleh Nia. Aku masuk perlahan, melangkahkan kaki dengan sangat hati-hati karena aku melihat Nia tengah duduk di ruang tamu seorang diri.Pandangannya kosong seolah ia tak memikirkan apapun atau mungkin ia terlalu lelah memikirkan semuanya."Sayang ..." panggilku seraya berjalan mendekat ke arahnya.Nia mendongak dan menatapku dengan ta
Besok mungkin aku akan kembali membicarakannya di depan kedua orang tuaku agar Nia yakin bahwa aku ingin memperbaiki diriku dengan sungguh-sungguh.Aku yakin kedua orang tuaku akan membantuku untuk kembali bersatu dengan Nia karena Nia adalah menantu kesayangan di keluargaku.____Setelah pagi menyapa aku segera bergegas pergi ke rumah orang tuaku karena aku tak ingin Nia terlebih dahulu pergi meninggalkan rumah ibuku."Assalamualaikum."Siapakah ketika aku baru saja sampai di rumah ibuku yang jaraknya memang tak begitu jauh dari rumah ke tempat aku tinggal."Waalaikumsalam," jawab ibu.Beliau mencubit perutku, dan segera membawaku ke dapur untuk mengintrogasi ku."Kamu apain Nia? semaleman dia nangis!" ungkap Ibu.Aku tertunduk lesu, aku malu mengakui semua perbuatanku pada ibu kandungku sendiri.
#KETIKA_ISTRIKU_TAK_LAGI_CEREWET#11#Nia"Aku bosan, istriku selalu saja cerewet dan banyak omong. Risih rasanya, setiap kali aku pergi dia tanya kabar. Ngingetin makan, ngingetin ini itu. Capek!"Aku mendengar percakapannya kala itu, sedih? tentu saja. Perhatian yang aku berikan padanya hanya dianggap hal yang membosankan.Aku terdiam sejenak, berusaha mencari cara agar hatiku bisa menjadi lebih baik. Sepertinya, memang suamiku tak lagi seperti yang dulu.Mas Roby selalu saja perhitungan padaku, bahkan untuk kebutuhan rumah tangga yang aku gunakan untuk kepentingan berdua.Aku masih berusaha berpikir positif, mungkin Mas Roby memang tengah banyak pekerjaan dan gajinya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.Hingga akhirnya aku memutuskan untuk berjualan online dan merubah sikap cerewet ku menjadi sikap yang jauh lebih pendiam.Seminggu pertama, aku pikir semua berhasil karena Mas Roby nampak kehilangan si
#KETIKA_ISTRIKU_TAK_LAGI_CEREWET#12Setelah Bapak selesai menceramahi ku dengan kata-kata tajam yang mampu menusuk ke dalam jantungku, tiba-tiba Nia keluar bersama Ibu.Wajahnya nampak sembab, sepertinya ia telah menangis di dalam tadi bersama ibu.Tok tok tok!Seseorang mengetuk pintu sebelum aku sempat meminta maaf lagi pada Nia."Biar ibu yang buka pintu," tahan Ibu saat aku hendak melangkah menuju teras depan.Aku pun duduk bersama dengan Nia di meja makan. Kami berdua saling tertunduk karena bapak mulai menceramahi kami berdua, lagi."Nia, maaf ya. Bapak gagal didik anak. Bapak malu dengan kelakuan Roby dan bapak gak nyalahin kalau kamu ingin pergi, tapi kalau bisa bapak minta pertimbangkan semua lagi."Bibirku sedikit tersenyum simpul ketika mendengar ucapan bapak. Akhirnya beliau membantuk
#KETIKA_ISTRIKU_TAK_LAGI_CEREWET#13Ting!Sebuah notifikasi pesan masuk ke gawai milikku. Aku buka pesan tersebut yang ternyata berasal dari nomor Nia.[Mas, aku pergi. Sampaikan pada bapak dan ibu, maaf aku tidak pamit. Semoga kamu bahagia selalu.]Tanpa pikir panjang aku langsung menghubungi nomor tersebut, tapi nomor sudah tidak aktif. Bahkan, ia benar-benar tidak mengizinkan aku untuk menjawab dan menjelaskan bahwa aku tidak pernah mau menikahi Widya.Tak terasa, air mataku menetes membasahi pipi. Tuhan ... ampuni aku ... aku menyesal melakukan semua ini ....____Sore itu aku pulang ke rumah seorang diri. Tak sanggup lagi rasanya mendengar ayahku terus saja menghakimi aku atas segala kesalahan yang sudah aku lakukan.Suasana rumah begitu sunyi tak ada lagi senyum Nia yang selalu menyambutku ketika aku pulang ke rumah ini.Mulai saat itu ak