Share

Yuk, Nikah!
Yuk, Nikah!
Author: Renti Sucia

Kembali Terkenang

“Jodoh tak akan kemana.” 

Perkataan Bapak kembali terngiang di tengah kebisingan jalan raya sore ini yang sedang macet. Pesan tersebut dikatakan setahun lalu saat aku ditinggal menikah oleh tunanganku—Gina Ayuningtyas—yang perselingkuhannya ketahuan lima hari sebelum aku dan dia menikah. 

Aku masih ingat terakhir kali kami bicara. Saat itu pertengahan bulan Maret. Gina tiba-tiba menelpon dan memaksaku untuk keluar rumah secara diam-diam pada malam hari.

“Kenapa kamu begini, Gina? Bukannya hubungan kita sudah berakhir? Buat apa kamu ke sini?” tanyaku tanpa melihat ke arahnya.

“Aku cuma datang untuk meminta maaf, Mas.” Dia menangis dalam diam, sementara tangannya meraih ujung jaketku, memegangnya erat.

“Sudah kukatakan bahwa aku ikhlas. Pulanglah, besok kamu menikah, kan? Kamu akan resmi jadi istri orang, menemuiku seperti ini apakah pantas? Apa dia tahu kamu ke sini?” tanyaku lirih. Dia menggelengkan kepalanya pelan, lantas menunduk.

Aku menghela napas panjang, tidak percaya kalau dia datang tanpa sepengetahuan calon suaminya. Gina tetap bergeming. Dia malah mempererat pegangan pada jaketku, tangisannya perlahan terdengar.

“Maaf ...,” ucapnya lirih. 

Aku diam membisu, mencoba mencerna apa yang baru saja dia katakan. Memangnya apa yang harus dimaafkan? Bukankah semua sudah berakhir?

“Maaf ....” Sekali lagi Gina mengucapkan kata maaf.

Aku berusaha bersikap dingin, walau sebenarnya hatiku masih menyimpan perasaan untuknya. Aku menepis tangan Gina, dan segera masuk ke dalam rumah tanpa sepatah kata, tanpa ucapan perpisahan, atau ucapan selamat menikah dariku. 

Segala kenangan pahit itu terlalu menyakitkan dan membekas di ingatan. Aku sempat menggila waktu itu. Mogok makan, jarang mandi, tidak main sosial media, bahkan menangis. Namun, sekarang aku tertawa mengingat kebodohanku dulu, karena terus menerus memikirkan hal yang tak seharusnya kupikirkan. Benar-benar memalukan.

Tiid! Tiiiiid!

“E—kucing!” Suara klakson membuyarkan lamunanku, membuatku kaget setengah mati. Ternyata kemacetan mulai melonggar. 

“Woy! Yang pakai motor merah, maju!” teriak seseorang dari belakang. 

“Sorry, sorry, Bang!” sahutku ketika menoleh ke belakang. Kuanggukkan kepala sebagai tanda permintaan maaf padanya.

Perlahan kulajukan Honda CBR merah ini. Tak sampai satu jam macet berakhir, sehingga aku bisa meneruskan perjalanan pulang ke kosan. 

“Baaang!” Teriakan cempreng tapi halus terdengar tak asing. Aku menepikan motorku untuk memastikan dari arah mana suara itu berasal.

Kepalaku celingukan, sebelum akhirnya kulihat seorang gadis berseragam SMA di trotoar seberang jalan, melambaikan tangan ke arahku. Ia merentangkan tangannya untuk menghentikan kendaraan yang sedang melaju. 

“Heh, kamu dari mana?! Keluyuran aja, kerjaannya! Ini jam berapa? Anak gadis gak boleh ....”

“Mulai, mulai! Abang ini bisa nggak, sih, jangan suuzan dulu. Vivi baru pulang sekolah, kok, habis geladiresik perpisahan,” sangkalnya memotong ucapanku. Anak Ibu kos ini selalu saja membuatku jengkel. Seperti sekarang, memotong ucapan orang yang lebih tua darinya.

Tangannya bergerak meraih helm di jok belakang dan segera mengenakannya. Tanpa basa-basi lagi, ia segera naik ke motor, dengan posisi tangannya melingkar di pinggangku.

“Gladiresik sore-sore? Gak percaya, pacaran, ya?” tudingku sambil melepaskan pelukanya di pinggang secara perlahan. Tak enak di lihat orang.

“Fitnah! Enggak, lah! Mana ada aku pacaran,” sangkalnya lagi, “Jangan lepasin pegangan Vivi, dong, Bang.”

“Pengangan, ya, pegangan aja, Vi. Gak usah peluk-peluk. Taro di sini tangannya, baru bener!” Kutarik kembali tangan mungil itu, dan menempatkannya ke sisi pinggang.

“Ck! Kenapa? Takut dilihat gebetan?!” 

Mendengar nada bicaranya yang agak kesal, aku hanya bisa tersenyum di balik helm-ku tanpa menjawabnya. 

"Berangkaaat ...!" Vivi berteriak di balik helm-nya. Membuatku teringat pada jargon tukang ojek yang ada di film.

Kami yang tak sengaja bertemu di jalan pun akhirnya pulang bersama. Tak sampai dua puluh menit, kami pun tiba. Nyak Marni—ibu kost—sedang duduk manis di teras sambil membaca majalah. 

“Assalamualaikum, Nyak.” Aku dan Vivi mengucap salam bersamaan.

“Waalaikumsallam,” jawabnya datar. Matanya menyorot tajam ke arah Vivi. Dia bangkit saat kami sudah turun dari motor.

“Kalian, kok, bisa bareng?” telisik Nyak Marni sambil memicingkan mata.

“Iya, Nyak. Kebetulan tadi ketemu di jalan.” 

“Oh, begitu.” Nyak Marni mengangguk, tatapannya tak lepas dari Vivi.

Entah kenapa aku merasakan aura horor di sekitar Nyak Marni. Sepertinya dia akan memarahi Vivi lagi. Aku rasa, Nyak Marni akan marah karena anak gadisnya pulang terlalu sore.

“Elu, ya! Kebiasaan!” Nyak Marni langsung mendekati kami dan memukul lengan Vivi.

Benar saja dugaanku. Itulah akibatnya kalau dia pulang terlambat.

“Aaw! Apa, sih, Nyak?! Sakit tau!”

“Apaan, apaan! Kebiasaan lu, tuh, ya, baju kotor lu simpen sembarangan! Sama pakean dalem warna ping, lagi! Jorok banget, sih, lu jadi perempuan! Enyak lagi, Enyak lagi yang nyuci, kebangetan, lu!” teriak Nyak Marni.

Aku yang mendengarnya tiba-tiba serasa terkena sembelit. Kupikir, Nyak Marni akan memarahinya karena telat pulang ke rumah. Ternyata ... ah, sudahlah, aku tidak tahu harus bereaksi apa. Kulihat wajah Vivi memerah seperti kepiting rebus, sesekali kami bertemu pandang gelisah. Dia celingukan, mungkin takut terdengar penghuni kost lain. Begitu juga aku yang merasa malu karena mendengar hal sensitif seperti itu.

“Ish! Apaan, sih, Nyak! Malu-maluin aja!” katanya sedikit berbisik.

“Lu, tuh, ya ...!”

“Iya, iya, maafin Vivi. Udah, dong. Malu sama Bang Agam,” pungkasnya sambil melirik ke arahku.

“Gak denger kok, gak denger. Beneran.” Aku mengatakannya sambil garuk-garuk kepala, “Aku masuk dulu, Nyak. Permisi.”

Vivi hanya berdecak sambil menutup muka. Aku mengulum senyum ketika melihat tingkahnya barusan.

“Enyak! Kenapa, sih?! Malu tau!” Masih terdengar Vivi protes dari samping rumah. Suara Nyak Marni kembali terdengar. 

Aku juga terlupa, Vivi sekarang usianya sudah hampir dewasa. Dia bukan lagi anak SD yang sering mengadu padaku sepulang sekolah karena diganggu anak laki-laki. Dia sudah punya rasa malu sekarang. 

“Gam, udah pulang? Nyak Marni ngasih rendang telor, tuh. Dimakan sana, tadi udah kuambil satu setengah biji,” ujar Fadlan ketika aku masuk. Dia adalah teman satu-satunya yang baik padaku semasa kuliah hingga sekarang.

“Iya, makasih, Lan,” sahutku sambil menyimpan ransel kemudian mengambil handuk.

Kami kuliah sama-sama, berkarir sama-sama. Bedanya, dia orang berada, aku biasa saja. Entah kenapa dia tetap setia berteman denganku. Dia hanya berkilah 'Kita, kan, teman.' Sulit kumengerti. Orang tuanya juga baik, seorang pejabat negara. Aku bahkan disuruh tinggal dengan Fadlan di rumah megahnya. Namun, secara halus aku tolak. Alhamdulillah beliau mengerti.

“Gam ....”

“Hmm?”

“Si Vivi menurut kamu gimana?”

Aku yang sudah di ambang pintu kamar mandi pun berhenti dan menoleh pada Fadlan, “Maksudnya?”

“Sekarang cantik, ya?”

Aku mengeryitkan dahi mendengar omongan Fadlan, tak biasanya dia membicarakan Vivi, apalagi memuji anak itu.

“Bentar, ada apa, nih, tanya begitu?” Handuk pun kusampirkan di bahu, penasaran.

“Enggak, bukan gitu ....”

“Lah, terus?”

“A-aku ....”

“Aku apa, hayo? Suka dia?” pungkasku menggoda Fadlan. Raut mukanya langsung menampakkan kecemasan. Mungkin dugaanku benar. Aku tersenyum. Dia tak menjawab.

“Bukan, gini ....”

“Hahaha, muka kamu udah jelasin semuanya. Gak usah nyangkal, kali. Haduuh, dari sekian banyak wanita, hatimu berlabuh sama bocah,” ujarku sedikit mengejek.

“Bocah? Gak lihat dia sekarang udah besar?” Fadlan tampak jengkel.

“Jadi, beneran?” tanyaku setelah menghentikan tawa.

Dia mengangguk, “Enggak tahu, tapi ... ah, susah jelasinnya. Aku juga udah beberapa kali mastiin kalo bisa aja aku salah, tapi ternyata ini beneran terjadi.”

Aku mendengarkan dengan cukup serius kali ini. Dia tampak cemas dan berkeringat. Entah karena memang akibat ruangan yang panas, atau mungkin bawaan rasa cemasnya itu. Namun, biasanya dia memang bukan tipe-tipe yang mudah berkeringat.

“Kasih aku masukan, bagusnya gimana?”

“Salat istikharoh. Itu saranku.”

Dia mengangguk, “Hmm.”

“Gimana ceritanya, sih, kamu bisa suka sama anak yang punya kost? Gak takut didepak Nyak Marni, apa?” Aku nyeletuk saja. Untung Fadlan tidak marah.

“Perasaanku berubah sejak Vivi ngasih plester dan memasangkannya ke jariku yang terluka,” jelasnya tanpa menoleh padaku.

“Hanya karena sebuah plester?”

Fadlan mengangguk, “Iya. Karena plester itu, siang malam aku sampai kepikiran dia terus. Bikin malu dan salah tingkah kalo ketemu dia, bikin aku rajin mandi dan perhatiin penampilanku tiap saat, entahlah. Silakan kalo mau ketawa, tapi itu kenyataan,” ungkapnya dengan wajah serius. Aku diam.

Benar, cinta memang membuat seseorang berubah. Seperti aku yang dulu hampir gila karena memikirkan Gina. Rasa cinta padanya membutakanku, membuat aku jadi budak cinta. Masih teringat kala tiap malam hari aku susah tidur karena memikirkan Gina, tersenyum setiap kali membaca pesan emoticon love darinya. Namun, semua hanya manis di awal, pahit di akhir. Seperti diimingi manisnya buah jeruk, tetapi akhirnya malah diberi pahitnya buah pare.

“Jangan tertipu dengan cinta, jangan sampai kamu terluka seperti aku, temanku.” Aku menepuk pundaknya dan masuk ke kamar mandi.

***

Pukul satu malam, aku masih terjaga. Entah kenapa aku gelisah. Tak lama terdengar smartphone di nakas berbunyi. 

“Siapa malam-malam begini yang nelepon? Gak tahu sopan santun!” gerutuku sambil meraihnya, lalu menerima panggilan tersebut.

“Assalamualaikum, Mas ....” 

Degh! 

Tiba-tiba aku mendadak seperti jadi Patung Pancoran. Seluruh tubuhku seakan membeku saat mendengar suara yang dulu amat kupuja. Hingga sekarang, aku masih ingat betul bahwa itu suara ... Gina.

Bersambung ....

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Anung DLizta
Yukkk halalkan...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status