Share

Cemburu!

“Diem terus, kenapa, sih?” tanyaku pada Fadlan saat mulai menyadari sikapnya sedikit berubah. Rasa penasaran itu kian mencuat. Apa dia mendiamkanku karena kejadian di teras tadi pagi?

“Ah, nggak apa-apa. Mungkin efek lapar.” Sanggahan yang tak masuk di akal. Namun, aku mengangguk saja, seolah percaya dengan ucapannya.

“Oh, kalau gitu, aku beli makanan dulu ke depan, ya? Kebetulan kita belum makan siang.” Aku menawarkan diri untuk membeli makan. Fadlan menganggukkan kepala tanpa bicara sepatah kata pun.

Akhirnya aku pergi ke warteg langganan yang tak jauh dari rumah Nyak Marni. Seperti biasa, Mpok Latifah—pemilik warteg—menyambut kedatanganku dengan ramah saat aku tiba.

“Mpok, yang biasa,” pintaku saat memesan lauk dengan nasi. Mpok Latifah yang sudah hafal dengan pesananku pun segera membungkus nasi serta lauknya.

“Ini, Gam.” Mpok latifah memberikan satu kantong plastik berisi makanan yang kupesan.

“Loh, kok, cuma satu, Mpok?” tanyaku heran. Biasanya, tanpa dijelaskan lagi, Mpok Latifah akan membuat dua porsi untukku dan Fadlan.

“Tadi Fadlan udah makan di mari, Gam. Makanya aye pikir cuma pesen satu. Bentar, deh. Aye bungkusin lagi,” jawabnya.

‘Hah?! Kok?’ Aku terperangah.

“Mpok, nggak usah. Cukup ini aja. Kirain Fadlan belum makan siang.”

“Jadi, enggak usah, nih?”

“Enggak usah, Mpok. Ini uangnya. Mari ....” Aku pun pamit setelah menyerahkan uang sebesar dua puluh lima ribu rupiah.

Selama perjalanan, aku kepikiran dengan Fadlan yang berbohong padaku perihal kata 'Lapar' tadi. 

‘Nggak bener, nih. Udah pasti Fadlan ngambek gara-gara tadi pagi aku ngobrol sama Vivi.' 

Pikiranku sudah berakar ke mana-mana. Cemas kalau Fadlan akan marah padaku terlalu lama. Sudah hampir setengah hari dia mendiamkanku seperti ini, bahkan berbohong dengan mengatakan lapar. Padahal, kenyataannya dia sudah makan siang tanpa mengajakku. 

Ketika sampai, kulihat Fadlan sedang duduk di depan teras sambil memainkan ponsel. Sesekali dia tertawa. Saat menyadari kedatanganku, dia kembali menunjukkan raut wajahnya yang cuek.

“Lan, kayaknya kita perlu bicara. Sepertinya kamu salah paham padaku,” kataku dengan posisi masih bediri di hadapannya.

“Ngomong apa, sih? Ngelantur,” sahutnya tanpa membalas tatapanku.

“Semua karena Vivi, kan? Jangan kekanak-kanakan, deh, Lan. Cemburu berlebihan kayak gitu sampe bohongin temen sendiri.”

Akhirnya dia mau menatapku. Wajahnya tampak kesal. Fadlan bangkit dari duduknya.

“Jujur aja, deh. Kamu suka Vivi juga, kan?”

Aku terperangah, tak percaya dengan tudingan Fadlan yang mengada-ada. Bagaimana mungkin dia bisa sembarang menyimpulkan hal semacam itu hanya karena tadi pagi aku mengobrol berdua dengan Vivi?

“Jangan asal tuduh, mana mungkin aku suka Vivi. Dia itu sudah kuanggap adik sendiri. Kamu juga tahu, kan? Kejadian ngobrol tadi itu nggak direncanakan sama sekali. Plis, jangan berpikir negatif gitu.”

Fadlan diam menatapku, “Habisnya ....”

“Apa lagi?! Kita ini sudah dewasa, harusnya kamu berpikir jernih, bukan main tuding aja. Otakmu itu udah penuh sama racun cinta, tuh, sampe berpikir yang bukan-bukan.”

Fadlan terdiam, kepalanya menunduk seperti anak kecil yang sedang dimarahi ibunya saja.

“Iya, aku salah. Maaf. Sebenarnya, aku cuma kesal aja karena ternyata Vivi nggak jadi lari pagi. Terus, kamu juga nggak ngasih tahu. Malah kalian asyik ngobrol,” jelasnya. Akhirnya Fadlan mengakui kesalahan dirinya sendiri, walau berakhir menyalahkanku juga.

“Oh, itu masalahnya. Oke, aku minta maaf karena lupa nggak ngasih tahu. Soalnya dia langsung ngomongin tentang temen-temennya gitu. Itu aja, sih. Nggak ada yang lain.”

Fadlan mengangkat kepalanya dan menatapku. Raut wajah kesalnya mulai memudar. Terlihat tanda-tanda Fadlan memaafkanku dari sorot mata itu. Kini, pandangannya beralih pada kantong plastik berisi makanan yang kubawa.

“Belinya, kok, cuma satu?” tanyanya sambil merebut plastik tersebut, lalu membawa nasi bungkus tersebut ke dalam. Aku mengekor di balik punggung Fadlan. Tanpa permisi, dia menaruh di meja dan membukanya.

Aku mengambil sendok dalam rak di pojok ruangan.

“Alah, tadi siapa yang bohongnya ketauan? Bilang lapar padahal udah makan. Ck! Gara-gara cewek doang sampe tega bohongin temen sendiri,” sindirku sambil melihat Fadlan yang kini menatap ke arahku.

Dia diam sesaat, lalu mengambil sendok yang ada di tanganku, “Itu, kan, tadi. Sekarang udah laper lagi. Bagian mana bohongnya?” Fadlan tertawa kecil dan menyendok nasi hangat yang masih mengepulkan asap. 

“Woy, itu makanan siapa? Main suap-suap aja!” gerutuku yang segera mengambil sendok dan mulai ikut makan.

Akhirnya, sebungkus nasi itu kami lahap berdua. Fadlan sepertinya sudah tak mempermasalahkan kejadian tadi pagi. Namun, sebagai gantinya aku harus mau membantu Fadlan untuk bisa membuat Vivi menyukainya juga.

“Okey, setuju.” Aku mengatakannya dengan semangat. 

Fadlan mengangkat sendoknya, “Janji, ya?”

“Dasar kampret.” Kutoyor kepala Fadlan saking geli dengan perkataanya yang seperti anak kecil itu.

***

Fadlan yang sedang kasmaran kini tengah duduk di hadapan meja yang mengarah ke jendela. Mentari yang sudah hampir tenggelam pun membiaskan cahaya kekuningan lewat kaca.

Dia sedang mencatat sesuatu dengan serius. Saat aku diam-diam melihatnya, ternyata Fadlan mencatat tahap dan rencana untuk pendekatan dengan Vivi. Ada-ada saja kelakuannya. Usia saja sudah dewasa, sikapnya malah seperti ABG yang baru saja pubertas.

“Lebay!” sindirku sambil berpura-pura lewat di belakangnya. Kurasa dia tidak menyadari bahwa sejak tadi aku mencuri pandang pada catatan itu.

Fadlan tak peduli dengan ejekanku dan terus mencatat sambil menggerutu, “Alah, aku jamin nanti juga kamu bakal ngalamin.”

Aku tergelak, lalu merebahkan diri di kasur. "Mustahil. Aku bukan tipe orang lebay kayak kamu."

Kini, Fadlan malah ikut tertawa. Suasana ruangan kamar kost terasa hangat kalau ada dia. Fadlan adalah sosok teman yang sangat penting dalam hidupku. Satu-satunya yang rela mengarungi lautan suka duka bersamaku. Seseorang yang mampu membuatku menyunggingkan senyum setiap harinya. Diakah yang dinamakan sahabat sejati? 

Di tengah gelak tawa yang belum kunjung mereda, ponselku berdering dalam saku celana. Aku tercengang dan langsung mengenali nomor itu karena tadi pagi aku sempat melihat riwayat panggilan di ponsel berkali-kali.

Fadlan berhenti tertawa dan menoleh padaku, “Gam, siapa, tuh? Nggak diangkat?”

Aku bangkit dan duduk di tepi ranjang. Kecamasan kembali menyerang kala menatap lekat layar ponsel. Jantungku kian tak terkendali ketika nada dering memasuki bagian reff. 

Fadlan merebut ponselku tanpa permisi dan mengamati nomor tanpa nama itu, lalu menerima panggilannya sebelum mati, “Hallo? Ini siapa?”

Aku membiarkan Fadlan yang menjawabnya. Tatapanku menerawang jauh ke luar jendela, lalu beralih menatap langit-langit kamar dengan perasaan kacau. Apa yang harus kulakukan? Kecemasan ini kian menjadi kala mendengar percakapan Fadlan dengannya sangat lancar. Sekilas kulirik dia hanya mengangguk dan menjawab ‘Iya’. 

‘Dia sudah dua kali mencoba menghubungiku. Baiknya aku harus bagaimana? Tidak mungkin aku terus menghindar seperti ini. Setidaknya, sekali ini saja kucoba dengarkan. Cukup sekali saja.’

Kuhela napas panjang dan berusaha menormalkan detak jantung, “Bismillah ....”

Kurebut ponsel yang masih menempel di telinga Fadlan dengan penuh keyakinan. Fadlan menautkan alis seolah sedang mengatakan 'Kamu yakin?'. Aku mengangguk. Fadlan mengacungkan jempol sebelum akhirnya memilih pergi ke luar. Mungkin ingin memberiku ruang.

“Assalamualaikum, Gina.”

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status