Share

Mengubur Masa Lalu

Kupikir, dalam kurun waktu satu tahun aku sudah berhasil melupakan Gina. Namun, terkadang rindu masih saja datang, dan aku tetap meyakinkan diri bahwa aku sudah melupakannya meskipun itu tidak benar.

Sempat terlintas keinginan 'tuk pergi ke tempat yang lebih jauh agar semua sisa perasaan ini terlupakan. Salah satunya menjelajah negeri dan mendaki gunung. Namun, semua tak bisa terlaksana, mengingat pekerjaan di perusahaan tak boleh asal kutinggal.

Sore ini, Gina kembali hadirkan ingatan yang sebenarnya ingin kulupa. Mengatakan banyak penyesalan dan menginginkan aku kembali merajut kisah asmara dengannya lagi sebab dia telah berpisah dengan suaminya. Permintaan yang tak masuk akal. Walau perasaan terhadapnya masih tersisa, aku takkan mungkin melakukan kesalahan sama untuk kedua kalinya. 

“Apa yang harus kulakukan pada kenangan yang telah lama aku kubur setahun silam? Tak mungkin bagiku untuk menggalinya lagi, 'kan? Perpisahan kala itu sudah membuktikan bahwa kita tak bisa lagi bersama. Dan apa? Kamu ingin kembali?” kataku di corong telepon. Tak percaya dengan apa yang diminta olehnya. 

Sekejap kudengar sedikit isak tangis. Pelan dan nyaris tak terdengar. 

“Maafkan kelancanganku, Mas. Seharusnya aku sadar diri mengingat statusku saat ini,” terangnya di sela isak yang kian menjadi. 

Hatiku bimbang. Dia mengatakannya seolah-olah aku menolaknya karena status janda yang dia sandang. Astagfirullah, kenapa dia salah tanggap?

“Seburuk itukah penilaianmu terhadapku, Gina? Aku menolakmu bukan karena masalah status. Tetapi, kamu tahu, 'kan, aku masih belum bisa menjalin hubungan lagi? Baik dengan orang lain ataupun dirimu. Aku tak bisa. Sungguh, maafkan aku,” jelasku pada Gina dengan nada bicara rendah.

Tak ada tanggapan, hanya isak tangis yang kudengar. Semakin lama semakin jelas. 

“Aku menyesali semuanya, Mas. Aku menyakitimu dengan sangat kejam. Bagaimana caraku untuk bisa menebus semua kesalahan itu dan bisa kembali bersama kamu?” 

“Aku sudah memaafkanmu sedari dulu. Tapi, seperti yang kukatakan sebelumnya, untuk menjalin sebuah hubungan percintaan, aku tak bisa. Maaf.”

Hening sejenak. Aku mulai rileks dan bisa mengendalikan diri. Detak jantung pun mulai normal. Kurebahkan diri di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar kost. Tanpa kecemasan, atau beban. Semua lepas, bebas. 

“Aku mengerti, Mas. Aku takkan lagi bertanya tentang ini. Sekali lagi maaf untuk yang pernah terjadi dulu,” sesalnya setelah beberapa detik percakapan terjeda.

“Tak apa, jangan ungkit lagi masa lalu. Mungkin aku memang pernah terluka, tapi aku sekarang baik-baik saja, percayalah. Jangan terjebak di masa lalu yang mungkin akan terus menyakitimu. Mengerti?” Kuyakinkan dia, berharap tangisnya reda. 

“Apa aku masih bisa ... sudahlah, aku tak pantas memintanya padamu. Terima kasih karena Mas sudah bersedia bicara denganku. Kututup dulu teleponnya. Semoga kamu sehat selalu,” pamit Gina kemudian. Isaknya masih terdengar walau kini tak terlalu jelas.

“Iya, semoga kamu mendapatkan kebahagiaan di sana. Jaga diri baik-baik. Dan, kalau kamu butuh teman untuk sekadar sharing, kirimi saja aku pesan. Selama ada waktu, insyaallah kubalas,” kataku padanya.

Tak ada suara, isaknya terhenti. 

“A-apa boleh? Bu-bukannya kamu sudah tak mau berurusan denganku lagi, Mas?” 

“Aku hanya berkata tidak bisa menjalin hubungan sebagai pasangan, bukan pertemanan.” 

“Terima kasih, Mas,” ucapnya. Kuharap dia sedang menggariskan senyum di seberang telepon sana sekarang.

“Sama-sama.” Bibir ini sedikit tersenyum.

Panggilan pun berakhir. Ternyata tak seburuk dugaanku. Saling bertukar kabar dengan mantan bukanlah suatu dosa yang harus dihindari. Tak melulu membahas tentang kegalauan atau mengingat sesuatu yang terkenang. Bahkan, kami bisa saling melepaskan kegundahan yang selama ini menyiksa.

Saat aku masih rebahan, sekilas terdengar teriakan Vivi di luar sana. Aku yang penasaran pun bangkit dan berdiri di ambang pintu. Kulihat Nyak Marni sedang mengejar Vivi sambil memegang sapu ijuk di samping rumahnya.

“Ampuuun Nyaaak!” raung Vivi nyaring. 

“Dasar, lu, tuh, ya! Sini!” Teriak Nyak Marni tak kalah kencang. 

Drama pun dimulai. Yang kumaksud bukanlah drama korea, china, bahkan drama andalan emak-emak 'Kumenangis'. Melainkan keributan antara ibu dan anak di lingkungan rumah kost, yaitu Nyak Marni dan Vivi. Entah kesalahan apa yang Vivi perbuat kali ini, sehingga membuat Nyak Marni mengejarnya sambil membawa sapu.

Keributan yang terjadi seperti ini sudah tak aneh lagi. Para penghuni kost lainnya bahkan sudah terbiasa, termasuk aku. Bukannya melerai, yang ada malah mengintip dan diam-diam tertawa di balik tembok kamar kost. 

Dalam keadaan masih berlari menghindari amukan Nyak Marni, Vivi menoleh ke arah sini, membuat kami bertemu pandang sekilas.

“Bang Agaaam! Tolongin Vivi!” Dia menyerukan namaku sambil berlari. 

“Vivi, mau kemana?! Sini, nggak?! Awas, ya!” gertak Nyak Marni. Bukannya berhenti, Vivi malah semakin mempercepat larinya, kemudian tanpa permisi bersembunyi di balik punggungku. 

“Apa, sih?! Nggak ada tempat lain, apa!” sergahku agak sewot. Vivi malah mengabaikanku, dia mengintip dari balik punggung. Mungkin memastikan ibunya menyusul atau tidak.

Sayangnya, ternyata Nyak Marni benar-benar menyusul Vivi. Dia ada di hadapanku sekarang. 

“Jangan sembunyi di sana! Keluar! Kalau enggak—.”

“Nggak mau! Kalau keluar, Enyak pasti getok Vivi pake itu sapu!” pungkas Vivi.

Pembangkangan itu malah membuat kemarahan Nyak Marni tampak semakin meletup-letup. Sapu yang dipegang pun mulai diayunkan ke arahku.

“Nyak! Sadar, Nyak! Eliiing! Ini Agam, bukan Vivi!” teriakku panik saat sapu sudah hampir sampai ke puncak udara.

“Makanya minggir! Jngan diem di situ! Mau kena pukul juga, lu?!” ancam Nyak Marni. Sejenak dia menghentikan ayunan sapunya.

“JANGAN, Nyaaak!” Vivi berteriak. Menyela seraya memelukku dari belakang.

Mata Nyak Marni membulat melihatnya. Seakan tak rela kedua tangan mungil Vivi melingkar di tubuhku. Ketakutanku mulai tumbuh, aliran darahku serasa mendidih kala terdengar gemeretuk gigi Nyak Marni. Pandangannya kian fokus pada tangan Vivi yang sedang kutarik-tarik supaya lepas.

“TANGAN SIAPA YANG ELU PEGAAANG?!” sentak Nyak Marni seraya memukulkan ujung sapu ijuk ke bagian lengan kanan dan kiriku secara bergantian.

“Ampuun Nyak! Bukan sengajaaa! Aww, udaah! Sakiit!”

“Enyaak! Vivi bilang jangaan!” 

“Tangannya lepaas! Lepaas! Berani-beraninya elu sentuh anak perawan Enyaaak!”

Pukulan Nyak Marni kian membabi buta. Yah, kali ini aku jadi sasaran pukulan sapu Nyak Marni berkat Vivi. Lalu, Vivi sendiri berteriak-teriak tanpa henti, tanpa melepaskan pelukannya pula. Aku tak bisa kabur kalau begini. 

“Ya ampuun Nyak, ada apa ini?!” Suara Fadlan nyaring di belakang Nyak Marni. Sontak pukulan pun berhenti.

“Apa, lu? Mau dipukul juga?!” ancamnya. 

Fadlan tersenyum, tentu saja dia takkan berani melawan kemarahan ibu kost. Nyak Marni pun kembali menatapku dengan sinisnya. Mungkin bersiap untuk memukul lagi.

“Nyaak! Di toko depan lagi ada diskon gede, loh!” kata Fadlan kencang.

Ucapannya sukses membuat Nyak Marni, si penggila diskon langsung membalik badan, “Beneran, Lan?”

Nyak Marni langsung antusias. Fadlan hanya mengangguk sambil tersenyum. Sepertinya trik Fadlan berhasil. Terbukti dari perubahan nada bicara Nyak Marni yang terdengar marah serta penuh ancaman berubah jadi ... yah, begitulah. 

“Enggak boleh ketinggalan, nih!” Nyak Marni bergegas pergi dan tak lagi mempedulikan Vivi, “Minggir, jangan menghalangi jalan!” Fadlan di dorong hingga terhempas ke dinding.

“Ahh, selamat ....” Aku menghela napas lega. Begitu pun dengan Vivi.

Vivi celingukan, “Udah pergi, Bang?” Aku mengangguk.

“Ehem! Tangannya, wey! Tangannya tolong dikondisikan!” deham Fadlan menyindir. Aku baru tersadar kalau tanganku masih memegangi tangan Vivi.

Kaget, aku melepasnya sekuat tenaga. Aku melempar senyum lebar pada Fadlan yang raut wajahnya tampak kesal. Sementara Vivi sendiri, dia masih sibuk mengatur napas sambil mengelus dada.

“Untung, untung!” kata Vivi. Setelahnya, dia pergi tanpa permisi, “Makasih, ya, Bang Fadlan.” Vivi mengucapkannya ketika melewati temanku.

“Harusnya dia bilang begitu juga padaku,” gerutuku sedikit kesal.

Fadlan mendekatiku, sorot matanya kembali sinis. Ah, perasaanku jadi tak enak. Baru saja baikan, masa, sih, mau marah lagi? 

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status