Share

Peringatan

Malam ini bulan telah undur diri lebih cepat. Di langit hanya tampak separuh. Cahayanya bahkan takkan mampu menembus kaca jendela kamar kost yang aku dan Fadlan huni. Sepi. Padahal baru jam tujuh malam.

Kalau akhir pekan, lingkungan kost sepi. Sebab, penghuni lain selalu mengjabiskan waktu di luar. Karena di sini penghuninya kebanyakan mahasiswa atau para pekerja sepertiku yang notabene jomlo, meskipun tidak semua, sih. Ya, seperti biasa, mereka menghabiskan waktu di luar untuk sekadar nongkrong atau ketemuan dengan perempuan.

Berbeda denganku dan Fadlan, kami tak ada kemauan untuk nongkrong atau mencari gebetan. Kami lebih senang istirahat penuh selagi libur bekerja. Sebab, kalau waktu libur seminggu sekali kami habiskan untuk melakukan kegiatan unfaedah, rugi rasanya.

Fadlan duduk di pojok kamar sambil memainkan game online kegemarannya seperti biasa. Dia heboh sendiri. Namun, kehebohannya terhenti ketika terdengar teriakan Vivi yang memanggil namaku.

“Bang Agaam!”

Fadlan yang mendengarnya langsung berdiri setengah kaget. Tak lama pintu kamar kami terbuka. Vivi kini berdiri setengah jongkok di ambang pintu. Dia terengah-engah.

“Ga-gawat!” Raut wajahnya tampak panik, membuat Fadlan cemas bukan kepalang.

“Ada apa, Vi?! Nyak Marni ngamuk lagi?!” Fadlan langsung menghampiri. 

Vivi menggeleng, lalu mengalihkan pandangan ke arahku.

“Bang Agam! Tolong anterin Vivi sebentar,” pintanya dengan napas yang masih tersengal.

Vivi menerobos masuk dan langsung menarik tanganku. Sekilas mataku beradu tatap dengan Fadlan. Rasa tak nyaman kurasakan sekarang. Matanya mulai memicing.

“E-eh, tunggu! Ada apa ini, Vi?!” Kulepaskan pegangan tangannya sebelum berhasil menyeretku ke luar.

“Bang, anter Vivi ke tempat sewa baju sekarang, ya? Katanya mulai besok tempatnya tutup. Pemiliknya mau pulang kampung. Mau, ya? Pliiis ... kalau perginya sendiri pasti Enyak nggak kasih izin.” Vivi merengek. Ia bahkan menyatukan kedua tangannya tanda memohon.

Aku melirik Fadlan yang melengos dan kembali duduk kembali di pojokan. Fadlan terlihat sok sibuk main ponsel, padahal kuyakin hatinya sedang bergejolak naik turun saking kesal karena diabaikan Vivi.

“Baang! Ayo!” Ajakan Vivi membuatku kembali menatap mata bulat itu.

“Duh, maaf, Vi. Abang lagi sakit perut.” Aku terpaksa bohong. “Pergi sama Fadlan aja, gimana?” saranku kemudian. 

Fadlan yang mendengar ucapanku langsung menoleh. Vivi melirik kami secara bergantian. 

“Yaaah. Beneran nggak bisa ya, Bang?” tanyanya dengan raut muka kecewa. 

Aku mengangguk, “Maaf.” 

“Gimana, Vi? Mau berangkat sekarang?” sela Fadlan semringah.

Vivi terdiam sejenak. Dia mulai menggaruk pucuk kepalanya pelan. 

“Iya, deh. Bentar, izin Enyak dulu,” katanya. Dia pun berlalu ke luar ruangan dengan langkah gontai.

Fadlan meloncat ke atas ranjang. Mulutnya menganga lebar menahan tawa bahagia.

“Yes! Yes! Thank you, Bro,” ucapnya kemudian turun dari ranjang dan meraih jaket yang menggantung di balik pintu. Tak ketinggalan kunci mobil miliknya ia raih. Dia menepuk lenganku lalu melenggang keluar dengan gaya kalem.

Ini bukan kali pertama temanku jatuh cinta. Bukan kali pertama juga aku membantunya. Namun, semua hubungan yang bahkan belum dia mulai selalu gagal. Entah kenapa? Semoga saja sekarang pilihan Fadlan tepat. Sebagai teman, aku hanya mampu membantunya sedikit. Selanjutnya, biar Fadlan saja yang memainkan peran.

Aku menggeleng sambil tersenyum, “Apa aku harus buka usaha biro jodoh saja, ya?” candaku.

Bibirku masih menggariskan senyum setelah beberapa menit mengatakan candaan pada diri sendiri. Senyumku memudar kala terdengar ponselku berdering.

“Fadlan?” Aku mengerutkan dahi, “Ada apa menghubungiku?”

Segera kutekan tombol hijau, tanda panggilan diterima.

“Hallo, Lan. Ada apa?” 

“Bang, ini Vivi. Bisa tolong susul kami ngga? Mobil Bang Fadlan tiba-tiba mogok. Pliis. Bantuin Vivi sekali aja,” rengeknya melebihi anak berusia lima tahun.

“Loh, kok HP Fadlan kamu yang pegang, Vi? Fadlannya ke mana?”

“Ada. Ini lagi sibuk meriksa mobil. Vivi tadi mau nelepon Abang, tapi ternyata HP-nya ketinggalan.” Vivi beralasan.

Tak lama, Fadlan mengambil alih telepon. Dia memintaku segera datang menyusul sebelum waktu semakin larut. Pada akhirnya, rencana Fadlan untuk PDKT kembali gagal.

Terpaksa aku pun pergi. Kuraih kunci motor dan helm di atas lemari kemudian langsung tancap gas. Fadlan tengah sibuk memeriksa kendaraannya saat aku sampai. 

“Jadi, Vivi sama aku aja, Lan?” 

Dia mengangguk dengan lesu. Ya, sepertinya Fadlan kecewa tak bisa mengantar Vivi. Andai saja Fadlan bisa mengendarai sepeda motor, dia pasti lebih memilih kembali dan meminjamnya, ketimbang membiarkan aku yang mengantar. Namun, bagaimana lagi? Fadlan harus rela gebetannya kubonceng.

“Abang beneran udah baikan perutnya?” tanya Vivi memastikan.

“Iya, mendingan.” Jawabanku singkat. Habisnya, kalau ditambah dengan kebohongan lain malah nanti aku kena karma. 

Vivi pun segera memakai helm dan naik ke jok belakang. 

“Bang Fadlan, maaf, ya, Vivi tinggal.” Vivi berkata. Dia tampak kurang enak, tapi keadaannya sangat mendesak.

Fadlan mengangguk, dia tersenyum seraya mengucap, “Hati-hati di jalan.” Seperti orang tua saja.

Di perjalanan, Vivi memelukku seperti biasa. Walau aku peringati, dia tetap ngeyel. Untungnya, jarak ke tempat penyewaan baju tradisional itu tak terlalu jauh. Hanya sekitar dua sampai tiga kilometer saja dari tempat mobil Fadlan mogok.

“Abang nggak ikut masuk?” tanya Vivi setelah turun.

“Nunggu di sini aja. Buruan, ya,” suruhku pada Vivi. Kudorong bahunya. Dia tersenyum lalu melenggang pergi.

Selagi menunggu Vivi, aku merogoh saku untuk mengambil ponsel. Sudah ada dua pesan masuk dari Fadlan.

[Langsung balik kalau udah selesai.]

[Jangan diajak main dulu. Kalau dia ngajak, jangan mau. Inget! Dia gebetanku]

Geli sekali rasanya membaca pesan temanku. Aku mengulum senyum seraya membalas pesannya.

[Iya, bawel. Takut amat, si! Udah kubilang Vivi itu sudah kuanggap adik sendiri. Pikiranmu itu loh.]

Akhirnya dia menelepon. kubuka helm dan menerima panggilannya. Baru dua detik kuangkat, serbuan pertanyaan pun meluncur tanpa jeda. Aduh, aduh!

“Dih, berisik. Kayak emak-emak aja! Bawel! Nggak bakal aku bawa-bawa gebetanmu itu ke tempat lain. Ya ampun, gitu amat,” gerutuku. Dia diam sesaat.

“Sorry, Gam. Aku cuma takut aja. Gimanapun, kamu laki-laki juga walau katamu kalian itu seperti saudara. Kalau sering jalan sama Vivi, takutnya dia malah cintanya ke kamu.” 

Aku tergelak sambil mengusap kening. Tak percaya kalau Fadlan punya pikiran semacam itu. Dasar budak cinta.

“Kenapa ketawa?” 

“Nggak masuk akal banget, deh. Aku itu sudah kenal dia sejak Vivi masih bocah. Kami seakan sudah seperti saudara kandung saja. Percayalah, Vivi hanya menganggapku sebagai abangnya. Tidak lebih. Pun denganku. Jangan risau apalagi galau. Bagiku, Vivi hanya bocah ingusan. Pandanganku takkan berubah sampai kapanpun.” 

Lagi dan lagi, Fadlan terdiam. Membiarkan kuota data terkuras sia-sia. 

“Yakin?”

“Iya. Yakin. Mana mungkin aku suka bocah yang masih bau kencur. Emangnya kamu,” kataku. Kembali aku tergelak.

“Bisa aja ngelesnya! Awas nanti malah jatuh cinta!” Fadlan memperingatiku, atau mungkin mengancam.

“Nggak bakal.”

Keheningan di seberang telepon kembali tercipta. Mungkin Fadlan di sana sedang berpikir apakah bisa memercayaiku atau tidak.

“Oke, akan kupercaya. Makasih, Gam.”

Panggilan pun berakhir. Tak lama setelah itu, Vivi keluar membawa goodie bag berwarna merah marun berukuran sedang. Dia mengangkat goodie bag tersebut dan tersenyum, seolah sedang memamerkan padaku.

Setelah kuamati baik-baik, dia cukup tinggi. Lekukan tubuhnya sekarang terlihat. Dia juga sedikit berdandan. Pantas saja Fadlan kesemsem. Walau begitu, pandanganku terhadapnya akan tetap sama. Dia adik bagiku, bukan wanita.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status