Share

Titip Vivi Untuk Sementara

Sejak hari itu—nonton konser BST—bisa dikatakan kalau Fadlan telah sukses PDKT untuk pertama kalinya. Lalu, setelahnya mereka menjadi lebih dekat. 

“Gam, gimana menurut kamu? Udah ada tanda-tanda dia nangkep sinyalku, nggak?” Fadlan bertanya seraya memperlihatkan pesan w******p dari Vivi.

Kuambil ponselnya dan kuamati seksama. Bingung, sebab yang kulihat dari pesan ini hanya membahas tentang korea semua. 

Aku menggeleng, “Belum, Lan. Ini malah terkesan kamu sendiri yang sukanya kebangetan.”

“Ah, mana mungkin!” sanggahnya seraya merebut ponselku lagi. 

Kini, Fadlan takkan membiarkanku istirahat sebelum ceritanya selesai. Membicarakan bagaimana proses dia pendekatan. Memperlihatkan isi chat yang menurutku biasa saja. Bersorak ria saat mendapat balasan. Aduh, benar-benar.

“Besok hari kelulusan sekaligus perpisahan Vivi, aku bakalan ngasih kejutan sama dia,” celetuk Fadlan.

“Kejutan gimana?”

“Aku mau ajak dia dinner berdua. Jauh-jauh hari aku sudah menyiapkan semuanya. Mulai dari booking restoran dan menghiasnya dengan nuansa romantis. Ya, tentunya minta bantuan sekretaris Papa, sih.” Fadlan nyengir kuda. 

Setelah kudengar cerita keseluruhannya, aku cukup terkejut dengan persiapan yang dia lakukan. Tak tanggung-tanggung, restoran bintang lima disewanya. Belum lagi hadiah berupa kalung dan bunga mawar merah sudah disiapkan. Wah, Fadlan sungguh luar biasa. Bocah itu benar-benar beruntung. Aku ingin tahu bagaimana reaksi Vivi terhadap kejutan tersebut.

Niat sekali temanku ini. Salut. Bagi anak dari seorang yang kaya rayanya kebangetan, mengeluarkan uang sebegitu banyaknya tak jadi masalah. Kalau aku, sih, pasti mikir dua kali. Memangnya mau menikah? Sampai rela habiskan uang banyak demi membahagiakan perempuan. Walau begitu, aku tetap mendukungnya dan mendoakan semoga dia berhasil.

“Mantap. Semoga sukses nge-datenya,” ucapku seraya menepuk bahu Fadlan.

“Bagiku, sih, iya nge-date. Tapi bagi Vivi mungkin hanya pesta kecil-kecilan sebagai perayaan kelulusannya. Aku harap, semoga aja setelah itu dia bakal sedikit merasakan getaran yang kurasa.”

“Enggak apa-apa. Semua berproses. Lihat, kan, Rama aja ditolak sama Vivi karena tiba-tiba nembak tanpa ancang-ancang. Yakin aja, Vivi akan merasakan ketulusanmu suatu saat nanti.” 

Fadlan mengangguk bagai jamaah yang sedang mendengar tausiah. Lalu, dia kembali menatap layar ponsel dan senyum-senyum sendiri, lalu tiduran, guling-guling, bangun lagi, tiduran lagi. Lebay abis. Malah tambah geli waktu Fadlan menyanyikan lagu korea. Idih.

“Woy, tidur!” Aku menegur Fadlan yang sedari tadi masih menatap layar ponsel.

“Duluan aja, aku masih mau mandang chat dari Vivi,” sahutnya tanpa menoleh padaku.

“Bah! Stres beneran kamu, Lan!” Kulempar guling tepat pada wajahnya, tak tahan dengan ke-bucinannya.

Dia berdecak kesal dan berniat membalasku. Namun, dering ponsel membuat niatnya terpaksa batal. 

“Hallo, Pa?” Fadlan menyapa. Ternyata papanya yang menelepon. 

Tak terdengar apa yang dikatakan dari seberang telepon, tapi Fadlan menampakkan raut wajah syok berat.

“Iya, Fadlan ngerti.” Dia mengakhiri telepon dan langsung berdiri, membuka lemari dan mengambil koper. 

Tak butuh waktu lama sampai tangannya menyabet pakaian yang menggantung rapi miliknya. Aku berdiri dan menghampiri.

“Ada apa? Kenapa ngemas baju?” tanyaku seraya menyentuh pundaknya. 

Dia menoleh, matanya berembun. Fadlan yang beberapa detik lalu tengah cekikikan ceria, sekarang hampir menangis. Aku cemas tapi tak bereaksi apa-apa. Hanya bisa menatapnya dalam diam. Menunggu dia yang bicara.

“Aku harus pergi ke China. Mamaku meninggal di sana,” ungkap Fadlan pelan. Suaranya pelan sekali.

Fadlan kembali sibuk mengemas baju dan perlengkapan lain. Aku tak banyak bertanya dan berkata, tapi mataku mengatakan semuanya. Aku turut berduka cita, kawan. Tegarkan hatimu. Semoga amal ibadah mamamu diterima di sisi-Nya. Aneh, mulutku seolah terkunci, tak mampu mengucapkan semua itu.

Kalau dengar kata 'Mama' dari mulut Fadlan, aku jadi teringat masa lalu. Masa ketika aku dan Fadlan belum seakrab ini. Dulu, yang kutahu Fadlan hanyalah seorang anak pejabat negara bergelimang harta. Parasnya tampan dan populer di kalangan para mahasiswi. Pulang pergi naik mobil lamborgini. Kalau pintu mobil terbuka, wangi parfum mahalnya menyeruak. Dia sempurna, bahkan prestasi belajarnya bukan main-main. Hanya saja, dia penyendiri dan tidak banyak bergaul. Kukatakan bahwa aura kesombongannya sangat luar biasa. 

Namun, suatu kejadian yang kusaksikan malam itu telah mengubah pandanganku terhadapnya. Malam tahun baru saat aku sedang duduk di depan mini mart tempat aku kerja paruh waktu. Saat itu, mobil mewah tiba-tiba mendadak berhenti tepat sebelum menabrak toko. Aku syok bukan main. Tak lama seseorang keluar dari mobil. Itu Fadlan yang kukenal di kampus. Lalu, setelahnya turun seseorang wanita berbaju long dress lengan pendek, berambut ikal sepunggung.

“Fadlan! Berhenti! Tolong dengarkan Mama!” teriaknya sambil menarik tangan Fadlan.

Ternyata itu ibunya.

Fadlan menggeleng, “Nggak ada lagi yang perlu kudengar. Mulai saat ini, jangan pernah temui aku dan Papa!” 

Dia mengempaskan tangan ibunya secara kasar dan memaki. Meneriaki ibunya dan menendang mobil dengan harga selangit itu membabi buta. Fadlan menggila. Berteriak bagai orang kesetanan. Menjambak rambut sendiri sambil meraung. Ibunya tak berusaha menghentikan. Wanita itu hanya menangis sambil membekap mulutnya.

“Kita selesai di sini! Pergi saja sesukamu! Jangan cari kami lagi!” teriaknya dengan napas terengah-engah. 

Fadlan sekilas menatapku, aku yang menyadarinya cepat-cepat mengalihkan pandang. Tak lama Fadlan pergi begitu saja dan meninggalkan ibunya yang masih meraung. Setelah punggung anaknya semakin jauh, dia masuk ke mobil dan melajukannya dengan kencang ke arah berlawanan. Pertengkaran itu membuat mereka berpisah.

Esoknya aku dikagetkan dengan kedatangan Fadlan ke tempat aku bekerja. Dia berdiri berhadapan denganku di depan meja kasir.

“Aku mau rokok,” katanya sambil menunjuk ke etalase di belakangku. 

“Rokok merk apa?”

“Apa saja,” katanya. 

Aku mengerutkan dahi. Jelas ketahuan kalau dia bukanlah seorang perokok. Kami saling diam. Tak lama terdengar bunyi nyaring berasal dari perutnya. Dia gelisah, malu mungkin.

“Tidak jadi beli rokok. Beli mie cup saja,” ucapnya kemudian.

Aku tak banyak berkata dan langsung berjalan menuju etalase yang penuh dengan beragam mie cup aneka rasa. 

“Goreng apa kuah? Mau rasa apa?”

“Yang berkuah dan varian apa saja, asal jangan yang pedas. Kalau bisa, tolong buatkan yang jadi untukku. Nanti kubayar lebih, kutunggu di depan,” katanya lalu melenggang pergi.

Aku agak kesal sebenarnya dengan sikap dan kalimat terakhir itu, seolah harga diriku bisa dia beli saja. Namun, akhirnya kulakukan apa yang dia minta. 

“Ini, selamat menikma ....” 

Belum selesai ucapanku, Fadlan langsung melahap mie yang masih panas itu secepat kilat. Mataku tak berhenti melotot. 

‘Wah, rakus juga ternyata.’

Setelah habis, dia memintaku membuatkan lagi, lagi, dan lagi. Kalau dipikir, aku ini macam babu yang sedang di-training saja olehnya. Tak tanggung-tanggung, Fadlan memintaku membuatkan mie lima kali. Benar-benar membuatku kesal.

“Terima kasih, aku kenyang sekali berkatmu,” katanya sembari menyerahkan tiga lembar uang warna merah.

“Ini kebanyakan. Lima cup harganya hanya ....”

“Kalau gitu buatmu aja kembaliannya,” selanya memotong ucapanku.

“Tidak, aku tidak bisa menerimanya,” tolakku tak enak. Kusodorkan uang sisa serta kembalian itu pada Fadlan.

Dia menggeleng, “Kalau tak mau menerimanya, simpan dulu. Besok aku ke sini lagi untuk makan mie.” Si super dingin itu pergi tanpa permisi.

“Dasar! Apa orang kaya sikapnya selalu begitu, ya?” gerutuku kesal dan memasukkan uang sisa plus kembaliannya ke dalam saku pribadi.

Sejak itu, rutin setiap hari dia akan datang tepat pukul sepuluh malam untuk makan mie buatanku. Namun, suatu malam saat dia memintaku membuatkan mie lagi, aku tak menurutinya. Kuberikan dia nasi bungkus dengan lauk seadanya yang kubeli dari warung nasi seberang toko. Bukannya dimakan, dia malah memandangi nasi itu tanpa berkata.

“Makanlah nasi sesekali. Keseringan makan mie tidak bagus buat tubuh,” kataku waktu itu. Ceritanya sok-sokan menasehati. 

Fadlan tak merespon, dia fokus memandang nasi tanpa berkedip.

“Ya, aku tahu kamu kaya dan pasti belum pernah makan nasi bungkus seperti ini. Tapi ....” 

Seperti biasa, Fadlan tak menggubris ucapanku dan langsung melahap nasi itu dengan suapan besar. 

“Sejak malam itu, aku belum makan nasi lagi. Terima kasih, Agam.” Fadlan nyeletuk ketika mulutnya masih mengunyah. Dan, aku cukup kaget saat dia memanggil namaku.

Entah sejak kapan, tapi pada akhirnya kami menjadi akrab. Dia sering menemaniku begadang menjaga toko. Kami tak lagi bicara formal dan sering saling bertukar cerita, termasuk tentang kisah kerumitan keluarganya yang baru saja berpisah. 

Fadlan, si dingin yang mengalami broken home pun perlahan bisa menyembuhkan diri. Mencoba akrab dengan mahasiswa lain dan dekat dengan perempuan. Begitulah awal dari kisah persahabatan kami terjalin tanpa sengaja. 

Hari ini, setelah bertahun-tahun lamanya, Fadlan kembali mengungkit mamanya yang dulu sangat dia benci. Bahkan, dia akan terbang ke China agar bisa melihat jasadnya sebelum dikuburkan.

“Kamu baik-baik aja, Lan?” tanyaku khawatir.

Dia selesai berkemas dan menoleh padaku, “Nggak apa, aku baik-baik aja. Jaga diri di sini. Aku pergi sekarang.”

“Berapa lama kamu akan tinggal di sana? Vivi gimana?”

Fadlan terdiam sejenak. Sepertinya dia sedih juga.

“Soal berapa lama tinggal di sana, belum ada kepastian sampai kapan. Tapi soal Vivi, ku titip dia ke kamu, Gam. Aku percaya kamu bakal jaga dia buat aku.” Fadlan bangkit dan menggusur kopernya.

“Tunggu, aku ikut!” seruku. Namun, Fadlan melarang. 

“Aku akan pergi sendiri. Istirahatlah, besok kamu akan nganter Vivi gantiin aku.”

“Gantiin?”

Fadlan mengangguk, “Iya, semua udah siap. Mana mungkin rencana dibatalkan. Jadi, tolong bantu aku buat bikin Vivi tertawa. Dia sangat berharga buatku. Sekali lagi, aku titip dia.”

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status