Syukurlah, pada akhirnya aku bisa menjalankan amanah dari Nyak Marni dan Fadlan untuk menemani Vivi hingga acaranya selesai.
Sebenarnya belum, sih. Masih ada acara meriah lainnya sebagai perayaan selepas magrib nanti. Berbagai hiburan pentas seni tradisional dan modern juga akan dilaksanakan nanti malam. Bahkan, kata si Vivi, nanti akan ada pertunjukkan debus.
Buset, pengen banget liat. Em, tapi ingat sudah ada titipan acara penting lainnya, yaitu melaksanakan permintaan Fadlan untuk mengajak bocah ingusan ini dinner. Huh, payah.
Dan, karena acara inti perpisahan kelas Vivi juga telah usai sekitar jam lima kurang, akhirnya kami memutuskan pulang lebih awal agar bisa mandi dan bersiap pergi ke tempat yang telah dipesan sahabatku itu.
“Kenapa liat-liat di kaca spion?” tanya Vivi di jok belakang.
Saat ini kami tengah di perjalanan pulang naik motor kesayanganku. Memang, aku curi-curi pandang di kaca spion. B
Sudah hampir satu jam kami habiskan waktu di restoran berbintang ini, sayangnya bukan membuat Vivi bahagia, dari yang kulihat dia justru merasa risih dan tak nyaman.“Bang, aku malah ngantuk, loh, denger musiknya,” bisik Vivi di telingaku.Aku tersenyum kecil kemudian mengangguk. “Sama. Abang lebih suka lagu-lagu pop tanah air ketimbang lagu beginian,” bisikku membalas.Ya, yang benar saja, grup musik sewaan Fadlan terbilang payah. Lebih tepatnya salah sasaran saja. Sebab yang kutahu Vivi tak suka lagu-lagu klasik luar negeri. Kesukaannya hampir sama, lah denganku. Kalau tidak pop, ya, k-pop.Hmm, mungkin niatnya si Fadlan mau sok-sokkan romantis gitu kali, ya? Dasar tidak tahu keadaan. Payah.“Bang, kapan kita bisa pulang?” Lagi-lagi Vivi berbisik.Kurasa si Vivi sudah bosan. Duh, padahal belum sampai ke waktu kejutan utamanya. Dan sepertinya masih agak lama sampai ke puncak kejutan itu.
Dia Vivi, gadis yang kuanggap adik sendiri itu mengukir senyum yang tak biasa. Dia benar-benar sudah berproses menuju kedewasaan. Fadlan, semoga saja rasamu dapat segera tersampaikan.Aku melangkahkan kaki, turun dari panggung kecil ini dan kembali ke meja makan.Vivi menyambut dengan senyum merekah. Ia menunjukkan bunga mawar serta liontin yang diberikan Fadlan kepadaku, mungkin niatnya mau pamer.“Bagus, ya, Bang.”Aku mengangguk saja. Tak hentinya ia tersenyum gembira.“Bang Fadlan bisa aja bikin Vivi seneng. BTW, ini asli emas enggak, ya?” Vivi berkata sembari memerhatikan kalung putih di tangannya dengan cermat. Kemudian dia menoleh padaku, seakan bertanya.Aku menaikkan bahu, tanda menjawab tak tahu. Ah, sudah jelas itu kalung emas putih asli. Hanya saja aku takkan beritahu. Jika diberitahu, dia pasti pingsan apalagi andai kusebut taksiran harganya.“Sayang banget, ya, bang
Masih kuingat betul sebelumnya Vivi terlihat hanyut dalam lagu yang kunyanyikan. Kepalanya bahkan bergerak slowly ke kanan dan kiri. Hmm, tapi ada yang kusadari. Vivi sama sekali tak bereaksi apa-apa setelah aku selesai bernyanyi. Iya, ya, dia keburu senang karena diberi bunga dan kalung oleh sahabatku, Fadlan. Ya, sudah biar saja. Kami juga sempat saling diam sepanjang jalan entah karena apa, aku juga lupa. Oh, iya, karena aku mengatakan dia punya perut karet sepertinya. Ya, rasanya itu. Untungnya semua itu tak berlanjut lama, aku dan Vivi akhirnya bisa kembali mencairkan suasana. Hanya saja, rencana untuk makan di warteg gagal karena mendadak Vivi ingat Nyak Marni katanya. Lantas, demi mengganjal perut, kubelikan onde-onde di pinggir jalan yang nongkrong di depan mini mart, sekalian kubelikan es krim juga. Dan, saat itu hal yang tak pernah kuinginkan terjadi malah terjadi. Sesuatu yang mengundang rasa canggung kemb
Waktu memang tak bisa diajak kompromi. Semakin panik aku karena takut kesiangan, semakin cepat pula rasanya dentingan jam di dinding berputar.Kesalku semakin bertambah kala tetangga sebelah nyetel musik keras-keras. Kan, jadinya aku tak bisa fokus dengan persiapanku pagi ini.“Duh, mana kaus kakiku satu lagi?!” Entah apa yang merasuki, kedua tanganku mengobrak-abrik isi lemari, mengeluarkan semua isinya ke lantai.Sehabis mandi pun rasanya kembali mendadak gerah kalau lagi panik begini. Semua karena masalah kesiangan.Biasanya ketika ayam jago berkokok di waktu subuh, si Fadlan pasti rutin membangunkanku untuk melaksanakan ibadah dua rakaat. Teh manis yang masih mengepulkan asap panasnya pasti sudah tersedia di meja.Dan sekarang benar-benar beda rasanya ketika sosok sahabatku itu tak ada. Aku kerepotan sendiri. Pagiku terasa kosong. Lantas, yang bisa kulakukan hanya panik dan kesal.“
Bukan main sialnya pagi ini. Sepertinya ini adalah karma karena tak sembahyang subuh tadi. Hmm.Bukan cuma mendadak jadi orang pikun yang lupa nama hari dan jadi orang linglung, tapi aku juga mendadak jadi kagetan sebab Vivi baru saja mengatakan akan menjodohkanku dengan seseorang.Eh, siapa tadi katanya? Teman Vivi? Atau ....“Bang!” Panggilan cemprengnya kembali membuatku dilanda kejut.“Astag ... Vivi! Kamu itu ngagetin terus kerjaannya!” Jelas kumarahi, hampir kena spot jantung, sih.Ia tergelak, lalu cepat-cepat meminta maaf. Duh, enak saja. Gampang amatan dia minta maaf, habis itu diulangi lagi kesalahannya.“Abang kenapa, sih?” tanyanya kemudian.Aku melirik tajam.“Kamu yang kenapa?! Ngapain main jodoh-jodohkan sembarangan?! Ogah, ya. Abang males!” selaku dengan tegas menolak.Ia berdecak kesal, melipat tangan di dada, memicingkan mata ke arahku.
da saat ketika aku dan Vivi sedekat dan seakrab layaknya adik dan kakak. Kadang pula kami bertengkar bak musuh bebuyutan. Kadang juga kami saling diam marah-marahan karena punya suatu kesalahpahaman.Dan menurutku itu normal. Hanya saja, akhir-akhir ini Vivi bersikap aneh padaku. Entah hanya perasaanku saja, tapi di waktu tertentu dia seperti menjaga jarak dariku.Bukan menjaga jarak fisik, tapi aku sering memergokinya menatap aneh padaku. Rasanya seperti Vivi memendam rahasia. Apakah dia sedang ada masalah tapi ragu untuk bercerita? Entahlah.Seperti saat ini, ketika kubalas kejahilannya, Vivi malah terdiam memandang lurus tanpa kata padaku.Sungguh, itu sangat mengganggu dan membuatku bingung, sehingga otakku berputar untuk menemukan satu jawaban itu. Bodoh juga jika dipikir. Aku mau mendapat jawabannya, tapi tak mendahulukan bertanya pada orangnya.Di saat aku merasa bahwa dia sedang kesal, rasanya aku semakin gemas dan i
Vivi yang pemaksa. Entah apa yang merasukinya sampai ia terus berusaha menjodoh-jodohkan aku dengan perempuan bernama Clara. Ada-ada saja. “Abaaaaang!” Tuh, kan? Baru saja kusebut namanya dalam hati, suara cemprengnya langsung menyambut kencang. Emang dasar panjang umur, tuh, anak. Aku bangkit dari ranjang, terpaksa. “Abaaang, buka!” Vivi mengetuk-ngetuk pintu tak sabar. Aku malas, soalnya dia pasti menceramahiku soal Clara. “Apa manggil-manggil?” Dengan muka air datar kutanya. Ia memasang raut marah, tangan melipat di dada, matanya memicing tajam ke arahku. “Abang, kok, cuek sama Kak Clara, sih?!” ucapnya kemudian. Yah, sudah kuduga Vivi akan menceramahiku soal Clara yang chatnya tak kurespon baik. Duh, malas kalau mau ngomongin alasannya. Bukannya dimengerti, si Vivi malah semakin kumat nanti. “Abang malas aja, Vi. Udahlah, jangan maksa. Udah abang bilang, kan, kalau abang itu n
Demi apa pun, aku sangat cemas ketika menahannya di ambang pintu tadi, takut Vivi menolak saat kuajak bicara. Ia menatap lurus sekilas, sebelum akhirnya berkata,“Ngomong apa, sih? Muka Abang serius amat.” Ia menepis pegangan tanganku, sehingga tangan yang sempat menahannya agar tak masuk dulu itu terlepas dan mengayun di udara.Vivi membuka lebar kembali daun pintu, ia mendorongku dan duduk di bangku depan teras. Syukurlah, artinya bocah ini mau juga kuajak bicara.Aku menyusul duduk. Lucunya, kami malah saling diam untuk beberapa detik. Setelah kutunggu, gadis belia di sampingku ini tak juga bertanya. Pun denganku yang tak kunjung membuka percakapan. Dan, sepertinya benar dugaanku, Vivi marah.Walau suara jangkrik di halaman mulai ramai mengusik, tapi tak juga aku berkata apa-apa. Pun dengan Vivi, ia diam membisu. Ia menatap lurus ke arah pagar saat sesekali kucuri pandang dari sudut mata.Ya, ampun. Cuma mau nanyain soa