Share

Misi Satu Selesai

"Nina, aku minta uang."

Pandanganku teralih ke Mas Reno. Dia menatapku berharap. Namun terlihat juga tidak peduli. Seolah tidak ingat dia yang harusnya memberikanku uang.

Untuk semua pendapatan, aku yang memegang. Yang menguasai aku. Mas Reno tidak ada apa-apanya kalau itu. 

Aku diam sejenak. Kemudian mengangguk-anggukkan kepala. Ini akan menjadi ide yang menarik sekali. Mas Reno pasti tidak akan percaya melihatnya.

Dengan cepat, aku mengeluarkan dompet. Mengambil uang pecahan koin. Kemudian memberikannya pada manusia tidak tau diri itu. 

"Eh? Kamu bercanda, ya? Kenapa dikasih uang kayak gini? Aduh Nina, aku serius. Lagi butuh banget. Mama sama Rini lagi pengen makan pizza." Mas Reno terlihat kesal sekali melihat uang yang aku berikan. 

Memangnya aku peduli? Aku mengabaikan Mas Reno. Memilih untuk sibuk dengan mengurus Raja. Biarkan dia berkoar sendiri. 

"Kamu dengar gak, sih? Dari kemarin kayak gini. Sekarang juga kayak gini? Kemasukan apa?" 

Mas Reno memaksaku menatapnya. Oke, sepertinya dia menantang. Aku menatap matanya dalam-dalam. 

"Bilang kalau aku ada salah. Jangan diam aja. Ini koin, permen aja gak dapat, Nina."

Lalu kalau aku bilang, apakah semuanya akan baik-baik saja? Apakah aku akan didengar? Ah, itu sangat percuma. Aku hanya diam, masih menatapnya, tapi tidak mengatakan apa pun. 

Suamiku itu menimang uang di tangan. Terdengar dia menghela napas, melepaskan tangannya dari lengan, kemudian pergi dari hadapanku.

"Memangnya, kamu saja yang bisa seperti itu? Aku bisa, Mas. Lebih dari itu."

***

"Nina, apa maksud kamu ngasih uang recehan, hah?! Nganggap kami ini sebagai anak kecil di jalanan? Menantu gak benar ini." 

Mama Mas Reno terlihat marah, dia berkaca pinggang di hadapanku. Wajahnya terlihat memerah, sepertinya dia tersinggung sekali.

Ah, aku tidak peduli sama sekali. Mama Mas Reno sampai menghampiriku dengan wajah marahnya. 

Aku menatap Raja. Mencubit pipinya, seolah tidak menganggap Mama di sebelahku. 

"Aduh, mendingan kamu gak punya anak kalau begini. Cuma bisa diam kayak patung. Capek ngomong sama kamu. Sini dompet kamu."

"Mau ngapain?" tanyaku pelan. 

"Mau ambil uang. Kenapa? Gak boleh? Uang dari suami aja belagu banget."

Sungguh, itu fakta yang diputarbalikkan. Aku memalingkan wajah. Sangat tidak peduli. 

Tanpa peduli, aku keluar kamar. Mas Reno sampai menoleh. Adiknya yang juga tidak tahu diri itu ikut menoleh. 

"Ayolah, Nina. Berikan dompet kamu. Jadi menantu pelit banget sama mertua sendiri."

"Udahlah, Ma. Kita makan apa aja yang ada di rumah ini. Mungkin si Nina lagi gak mau ngomong."

Ah, mereka sepertinya akan tersiksa kalau aku begini terus. Diam-diam, aku tersenyum. Kemudian duduk di sofa, cukup jauh dari Mas Reno. 

Mama mertuaku berdecak. Dia masih menatap ke Mas Reno yang tidak peduli. Dia menikmati keripik singkong beberapa waktu laku. Sepertinya sudah melempam. 

"Duh, jadi menantu gak bisa diandalkan sama sekali. Capek."

Cukup lama terdiam. Aku menyalakan televisi. 

"Sini bayinya aku yang gendong. Kamu buatin teh untuk Mama sama Rini. Kalau aku yang buatin, bisa dibuang."

Aku terdiam. Beberapa detik, aku baru beranjak. Memberikan bayiku pada Mas Reno. Itu pertama kalinya dia menggendong bayi kami. 

Tanpa bicara apa pun, aku masuk ke dalam dapur. Setelah memasak air, aku menyeduh teh. Sebelum kembali ke ruang keluarga, aku tersenyum. 

"Itu udah." 

Mas Reno mengangguk. Dia melangkah ke dapur dengan senang hati. Aku membuatkan tiga teh tadi. 

Ini sudah malam sekali. Aku melangkah ke kamar, sementara Mas Reno, Mama, juga si Rini menikmati teh buatanku. 

Ponselku berdering. Tanpa melihat namanya, aku langsung mengangkat. 

"Misi satu selesai. Kamu harus lihat apa yang bakalan terjadi besok."

"Kerja bagus. Makasih."

Aku mematikan telepon. Hampir setengah jam, aku keluar dari kamar. Mas Reno belum kembali. Sejak kemarin, kami tidur dengan punggung berhadapan. 

"Aduh, Ma! Gantian, dong!"

"Sabar! Perut Mama masih sakit."

Sementara kamar mandi yang lain dipakai oleh Mas Reno. Pandanganku terhenti ke tiga gelas yang sudah habis di atas meja. 

"Bagaimana tehnya?" gumamku dengan senyum miring. 

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Mantap nin itu baru permulaan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status