"Aduh, tadi malam kamu kasih apaan tehnya, Nina? Perut Mama masih sakit sampai sekarang?"
Aku hanya menoleh, kemudian menggelengkan kepala. Memilih mengabaikan mertuaku.
"Nin! Pakaian Mas mana? Kok gak kamu siapin, sih?"
Teriakan Mas Reno sampai luar kamar. Lagi-lagi aku mengabaikannya, memilih untuk bermain dengan Raja.
Ah, aku tidak sabar nanti setelah Mas Reno pulang. Ada kejutan untuknya di butikku.
Mas Reno memang bekerja di butikku. Selama ini, dia mengurus keuangan, tapi aku selalu meneliti laporan keuangan di butik. Kadang, ada yang terselip. Entah sengaja atau tidak.
Memang begitu, selalu ada kecurangan kalau Mas Reno yang bekerja. Mas Reno juga ikut gajian kalau akhir bulan, tapi selalu habis di hari yang sama. Sepertinya untuk keluarganya yang tidak tahu malu itu.
Aku sama sekali tidak memegang uang hasil gajian dia. Seperti lewat saja gaji itu.
"Ya ampun, pakaian Mas gak ada, sarapan juga cuma ada nasi sama kerupuk di atas meja. Kamu ngapain aja, sih, Nina? Gak beres banget." Mas Reno berdiri di hadapanku.
"Makan seadanya."
"Uang kamu itu banyak. Masa pelit banget ngasih makan cuma kerupuk. Mana ada gizinya kalau gitu."
Memangnya aku peduli?
Sebenarnya, aku sudah masak nasi goreng. Hanya sedikit, untukku sarapan nanti. Lagi pula selama dua hari aku di rumah sakit kemarin, bahan makanan entah kemana semua. Lemari pendingin tidak ada isinya lagi.
"Nin, kamu dengar gak sih?" tanyanya kesal.
"Dengar."
"Terus gimana? Jangan jadi patung gitu kenapa?"
Aku mengangkat bahu cuek. Meliriknya yang masih memakai celana pendek. Sepertinya, dia bingung mau pakai pakaian apa. Mana pernah dia mengambil pakaian di dalam lemari.
Mataku melirik jam tangan, Mas Reno sudah terlambat untuk bekerja.
"Nin? Nina?"
Mas Reno mengacak rambut. Dia bergegas pergi dari hadapanku.
Ketika aku masuk ke dalam rumah, Mas Reno masih memakai pakaian santai. Dia sedang sarapan pakai kerupuk.
"Tega banget kamu Nina. Suami sendiri dikasih sarapan kerupuk." Mama melirikku tajam.
"Iya. Mbak Nina pelit banget sekarang." Rini menimpali kesal.
Biarlah pelit, dari pada seluruh hartaku habis. Itu lebih menyeramkan.
"Maka nya, gaji jangan sekali lewat." Aku meletakkan air putih ke dekat Mas Reno.
"Kurus kering Mama di sini. Bukannya hidup lebih enak, malah tersiksa."
"Pulang aja," gumamku sukses membuat Mama Mas Reno melotot.
Aku hanya melirik Mama, kemudian melangkah ke kamar. Anggap saja tadi itu angin lewat.
Saat aku keluar dari kamar, sepertinya Mas Reno sudah pergi. Tersisa Mertuaku dan Rini saja. Mereka berdua duduk di sofa, memakan sisa biskuit.
"Aduh, lapar banget. Tersiksa di sini."
"Iya, Ma. Rini laper banget."
Mataku menyipit melihat kaleng biskuit di tangan Mama Mas Reno. Aku melangkah ke mereka. Mengambil kaleng itu.
"Kenapa lagi, sih? Gak disediain makan, semuanya gak ada. Sekarang, kami makan biskuit aja gak boleh?"
"Kadaluarsa," kataku sambil mengembalikan kalengnya.
"Eh? Serius? Rini lihat coba."
Rini diam sejenak. Dia meneliti angka yang tertera. Tanggal kadaluarsanya sudah lewat.
"Ya ampun, Ma. Kita makan biskuit yang udah kadaluarsa!"
"Aduh, pantas perut Mama kayak diaduk gitu."
Mertuaku langsung berlari ke kamar mandi. Sejenak aku tersenyum, mengambil kaleng itu.
"Bagaimana hari pertama di rumah ini?"
***
Pintu rumah terbuka, tanpa diketuk. Aku menoleh, menatap wajah Mas Reno yang tampak kusut.
Aku melirik jam di dinding. Ini baru dua jam setelah Mas Reno pergi ke butik. Aku tersenyum, kembali sibuk dengan Raja. Menunggu kejutan yang dibawa oleh Mas Reno.
"Lho, Reno. Kenapa kamu udah pulang? Wajahnya kusut kayak belum disetrika gitu lagi. Kayaknya tadi baik-baik aja."
Mama Mas Reno terlihat kebingungan. Sementara aku diam saja.
Mas Reno tidak menjawab. Dia sedang melepas sepatu. Wajahnya menyimpan kekesalan.
"Lapar, ya, kamu? Si Nina emang nyebelin banget."
"Bukan, Ma." Suara Mas Reno terdengar bergetar.
"Terus kenapa? Jangan sampai kamu kayak si Nina, ya. Cuma diam aja. Capek Mama lihatnya."
"Iya. Mbak Nina memang nyebelin. Nanti kita beli makan aja di luar."
Mama Mas Reno terdengar berbisik. "Pakai uang siapa? Jangan ngada-ngada, Rini."
"Siapa tau, Ma."
Dari ujung mataku, bisa kulihat Mas Reno meletakkan sepatu. Dia melepas jas. Kemudian melangkah ke dekatku.
Sebentar lagi. Kejutan dari Mas Reno.
Dia berhenti tepat di hadapanku. Ketika aku mendongak, wajahnya tampak memerah, menahan amarah.
"Kenapa kamu ganti posisiku di butik dengan orang lain, Nin? Gak bilang-bilang lagi. Terus aku kerja apa sekarang?"
***
"Nin, parah banget kamu jadi istri. Suami sendiri dikeluarin dari pekerjaannya.""Terus?" tanyaku pelan."Ya ampun, kamu kayaknya beneran kemasukan, Nin. Dari habis melahirkan kayak gini. Lama-lama pusing lihat kamu, Nin.""Kenapa, sih?"Mama Mas Reno mulai ikut campur lagi. Aku meliriknya sekilas, kemudian mengalihkan pandangan. Tidak peduli."Posisi Reno sebagai keuangan di butik Nina diganti sama orang lain, Ma. Pas Reno protes, karena nama Reno jelas-jelas harusnya masih tertera sebagai bagian dari tim, justru gak ada lagi. Keganti sama orang itu."Wow. Anak yang benar-benar manja, mengadu
"Kamu apa-apaan, sih, Nina? Sampai malam kita nungguin transferan dari kamu. Gak dikirim juga uangnya."Aku menoleh. Menatap Mas Reno yang marah-marah."Malu-maluiin." Mama meletakkan tas sembarang tempat."Aduh, tadi ada temanku, apa kata mereka liat tadi gak bisa bayar makanan." Rini ikut bergumam. Wajah mereka terlihat menanggung malu.Sambil menyapu, aku diam-diam tersenyum. Memangnya enak makan tanpa bisa bayar."Jangan makan di restoran kalau gak bisa bayar," gumamku."Kamu tadi katanya mau transfer. Kamu gimana, sih, Nin? Aku capek lama-lama kayak gitu. Pusing." Mas Reno mengacak rambut. Dia ikut duduk di sebelah Mamanya.Ah, bisa dibayangkan wajah bingung mereka tadi. Diam-diam, aku tersenyum. Sok-sokan makan di restoran mahal, tapi gak bisa bayar.Maunya enak, tapi gak mau usaha. Mau pakai uangku? Maaf saja, tidak akan lagi. Sudah cukup yang dulu. Aku
"Mau minta makan, minta uang. Minta semuanya."Pria tanpa tahu malu itu langsung masuk begitu saja. Aku menggeram pelan. Benar-benar tidak punya urat malu."Kemana semua uang yang kamu ambil dari dompet Mbak, hah?! Habis?"Ya ampun, hidupku benar-benar dipenuhi oleh orang pencari masalah, juga penghabis uang.Dia adalah Kafka. Adik angkatku yang sejak dulu kerjaannya hanya menghabiskan uang saja. Dia baru saja pergi satu bulan yang lalu. Katanya tidak betah di sini."Aw. Ada benalu rupanya." Langkah Kafka terhenti di dekat meja makan.Tidak sadar diri kalau dia sendiri benalu. Aku mengusap wajah. Kalau mereka disatukan, semakin kacau dunia."Aku ke kamar dulu." Kafka melewatiku begitu saja."Kenapa adek kamu sampai pulang, sih?" tanya Mas Reno kesal."Mana kutahu."Aku mengangkat bahu, memilih untuk pergi ke kamar.
"Serius? Kamu gak bohongin Mbak kan? Mbak gak suka kalau kamu bohong, ya.""Serius, Mbak. Kafka janji, deh."Mataku menyipit. Bagaimana caranya agar Kafka bisa dipercaya?"Kalau buat surat perjanjian, kamu tanda tangan mau gak?"Kafka diam sejenak. Beberapa detik, dia menganggukkan kepala. Seolah sedang menantangku."Oke. Siapa takut. Yang paling penting, aku udah janji bakalan bantuin Mbak."Ya. Terserah dia sajalah. Aku masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Kafka, membawa berkas yang tadi diberikan orang kepercayaanku masuk ke dalam."Berkas apaan itu, Nina?"Langkahku terhenti mendengar perkataan mertuaku. Untung saja bukan Mas Reno. Aku sudah mempunyai tempat penyimpanan rahasia."Nina? Jangan jadi patung." Mama tampak gemas menatapku."Bukan urusan Ma
"Nyebelin banget. Untung gak sampai dipanggilin satpam."Aku menoleh. Keluarga Mas Reno sudah masuk ke dalam rumah. Mereka baru kembali dari acara pesta itu.Entah pesta apa. Sepertinya berakhir memalukan."Aku pergi dulu."Kami menoleh ke Mas Reno yang beranjak. Mataku menyipit, dia mau kemana? Padahal, ini sudah beranjak malam."Mama ikut.""Rini juga ikutan."Aku hanya melirik mereka sekilas. Paling juga jalan-jalan. Terserah mereka saja. Kafka datang, dia membawa makanan, kemudian meletakkan ke atas meja."Mbak, apa yang buat Mbak bertahan sama si Reno itu? Ditambah keluarganya lagi. Ih, kalau aku gak betah.""Harta." Aku menjawab pendek.Kafka mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia seperti mengerti saja."Rumahnya keluargany
"Kamu jual rumah itu, Nin?"Suara Mas Reno terdengar menggema di ruangan. Aku mengangguk singkat, padahal baru saja sampai di rumah.Sudah disambut saja dengan kemarahan mereka."Menantu kurang ajar. Maksud kamu jual rumah itu apa, hah?! Mau nunjukin kalau kamu yang punya?""Nutupin biaya lahiran."Aku melirik Mas Reno. "Gak bisa bayar, kan?"Mendengar itu, mereka langsung terdiam. Aku mengangkat salah satu sudut bibir."Tapi gak jual rumah itu juga, Nina. Terus Mama sama Rini mau tinggal di mana?""Rumah kecil.""Tega. Parah banget. Udahlah, kamu itu harusnya gak sama si Nina lagi. Mama pusing lihat kamu sama dia."Terlihat wajah Mas Reno tertekuk. Aku melirik Kafka yang mengacungkan kedua jempolnya. Dia juga iku
"Surat apaan itu?"Ya ampun. Aku buru-buru menoleh. Mama Mas Reno kenapa pakai acara bangun segala, sih? Menyebalkan sekali.Aku menoleh ke Kafka yang menganggukkan kepala. Adikku itu langsung mendekati Mama Mas Reno."Kafka ada sesuatu, lho.""Sesuatu apaan?" tanya Mama Mas Reno sambil mengalihkan pandangan. Jangan sampai semuanya ketahuan sebelum waktunya. Aku mengembuskan napas pelan, Mas Reno menahan tangannya, juga menahan kantuknya."Ikut Kafka, deh."Mereka menghilang dari pandangan. Aku memejamkan mata sejenak, kemudian kembali menatap Mas Reno."Ayo, Mas. Tanda tangan sekarang.""Harus sekarang, ya?" Mas Reno menguap. "Gak bisa besok aja?"Eh? Aku langsung memegangi Mas Reno yang hampir saja tidur bersandar.Dia seperti orang yang sudah k
"Hah? Masalah apaan?" tanyaku sedikit khawatir."Butik cabang kedua berantakan, Bu. Ada yang habis membuat rusuh katanya.""Siapa?"Orang kepercayaanku itu menyebutkan satu nama. Aku mengusap kening."Saya langsung kesana sekarang."Memang benar-benar. Aku langsung tancap gas ke butik, memundurkan janji dengan pengacara.Ponselku berdering beberapa kali. Ah, itu bisa diurus nanti-nanti saja. Aku menginjak rem, langsung keluar dari mobil. Memang sedikit kacau.Mataku menyipit. Siapa yang membuat rusuh di sini? Astaga, benar-benar meresahkan."Siapa yang melakukannya?""Maaf, Bu. Kami juga tidak tahu. Dia memakai pakaian hitam-hitam, juga bertopeng."Aku langsung masuk ke ruang keamanan, melihat rekaman CCTV. Seorang pria kalau dari ukuran tubuhnya.