Share

Bayar Saja Sendiri!

"Nin, parah banget kamu jadi istri. Suami sendiri dikeluarin dari pekerjaannya."

"Terus?" tanyaku pelan. 

"Ya ampun, kamu kayaknya beneran kemasukan, Nin. Dari habis melahirkan kayak gini. Lama-lama pusing lihat kamu, Nin."

"Kenapa, sih?" 

Mama Mas Reno mulai ikut campur lagi. Aku meliriknya sekilas, kemudian mengalihkan pandangan. Tidak peduli. 

"Posisi Reno sebagai keuangan di butik Nina diganti sama orang lain, Ma. Pas Reno protes, karena nama Reno jelas-jelas harusnya masih tertera sebagai bagian dari tim, justru gak ada lagi. Keganti sama orang itu."

Wow. Anak yang benar-benar manja, mengadu pada Mamanya. 

"Semuanya ulah kamu, Nina?" tanya Mama geram.

Aku beranjak, menatap mertua dan Mas Reno dingin. 

"Kalau iya, kenapa?" tanyaku sambil berlalu. 

Biarkan saja dia pusing dengan posisinya yang terganti itu. Aku membuka pintu kamar, meletakkan Raja ke tempat tidur bayi. 

Baru saja duduk di tempat tidur. Terdengar bunyi benda terjatuh cukup keras. Aku langsung melangkah ke tempat suara. 

Langkahku terhenti melihat bingkai foto terjatuh. Itu foto pernikahanku dan Mas Reno. 

"Maaf, Nin. Jatuh sendiri tadi." 

"Kena angin?" tanyaku menatapnya tajam. 

"Iya kayaknya. Nanti aku ganti, deh. Kamu gak usah marah-marah terus. Nanti cantiknya hilang."

"Ganti pakai daun? Kamu aja gak punya uang."

Mas Reno batuk-batuk mendengar perkataanku. Dia sepertinya tersinggung sekali dengan perkataanku tadi. 

Ah, memangnya aku peduli dia tersinggung atau tidak. Aku tersenyum tipis, ini malah membuat dia harusnya sadar. 

"Ayo, kita makan di luar, Reno."

Kami menoleh ke Mama Mas Reno yang memakai pakaian bagus. Begitu juga dengan Rini. Aku melirik Mas Reno yang terlihat kebingungan. 

"Mau kemana, Ma?" 

"Makan siang di restoran, lah. Mama bosan cuma dikasih kerupuk di sini."

Wajah Mas Reno kembali terlihat kusut. "Mau pakai uang siapa? Reno gak punya uang sama sekali."

Bisa aku lihat, Mama Mas Reno melirikku. Dia memberikan kode agar Mas Reno meminta uang padaku. 

Coba saja kalau bisa. Aku duduk di sofa, melipat kedua tangan di depan dada, memejamkan mata. Menunggu apa yang akan mereka lakukan. 

"Nin, Mas minta uang, dong. Ayolah."

Aku mengabaikannya, memperbaiki posisi duduk. 

"Nina."

Ah, aku punya ide menarik. 

Mataku terbuka, menatap Mas Reno yang menatap penuh harap. Beberapa detik, aku mengangguk. 

"Nanti aku transfer."

"Serius, ya? Pokoknya harus kamu transfer. Lima juta aja."

Lima juta aja?

Mungkin, menurutnya mencari yang tinggal petik kayak di pohon. Aku menatap ketiga manusia tidak tahu malu itu. Mereka tampak tersenyum cerah. 

"Kita pergi dulu. Nanti kita bawain makanan buat kamu. Jangan lupa ditransfer, Nin."

Mobil itu meninggalkan rumah. Aku menutup pintu, kemudian melangkah ke kamar. Mencari surat perjanjian asli yang disimpan Mas Reno. 

Sudah mencari kemana-mana, surat itu tidak ketemu juga. Aku mengusap wajah, sampai ke ruang kerja juga tidak ketemu. 

"Di mana dia letakkan surat itu?" gumamku sambil kembali mengacak berkas di kardus. 

Tidak ada di mana-mana. Kalau tidak ada surat itu, aku tidak akan bisa membalikkan nama aset. 

Ponselku berdering. Dari orang kepercayaanku. 

"Gimana?"

"Suratnya gak ada di rumah, Bu. Kami udah ketemu titiknya. Aman, nanti kami ambil."

Aku mengangguk puas. "Kerja bagus. Segera ambil surat itu."

"Pasti, Bu."

Setelah mematikan telepon, aku langsung duduk di sofa. Kehancuran Mas Reno semakin mendekat. Aku menatap status WA Mas Reno. Dia terlihat bahagia sekali makan di restoran mahal. 

Pintu rumahku diketuk. Keningku terlipat, siapa yang bertamu? 

Dengan cepat, aku membukakan pintu. Ada dua orang pria yang berdiri di sana. Terlihat galak. 

"Maaf. Cari siapa?" tanyaku sambil menutup setengah pintu. 

"Dengan Bu Nina?"

Kenapa mereka bisa tahu namaku? Padahal, aku tidak mengenal mereka sama sekali. Mataku menyipit, meneliti mereka. Seperti tukang tagih utang. 

"Kami mau menagih utangnya Rini, Bu."

"Kalau utangnya Rini, nagihnya sama orangnya. Jangan nagih sama saya, Pak."

Sungguh, aneh sekali. Yang meminjam siapa, yang disuruh bayar siapa. Tidak masuk akal. 

"Tapi, Rini menyuruh kami menagih pada Ibu Nina."

Aku mengembuskan napas pelan. Memang benar-benar tidak tahu diri. Tidak Mas Reno, mertuaku, juga si Rini. Mereka sama-sama benalu. 

"Berapa?" tanyaku sedikit kesal. 

"Dua juta, Bu."

"Sebentar." Aku menutup pintu, menguncinya. Kemudian masuk ke dalam kamar Rini. 

Entah apa yang bisa diberikan pada mereka. Tidak ada yang berguna dibawa Rini ke rumah ini.

Pandanganku terhenti ke laci Rini. Ada beberapa perhiasan di sana. 

"Nih, Pak. Bawa aja. Kalau kurang, minta sama si Rini. Jangan minta ke saya."

Mereka mengambil perhiasan yang aku berikan. Akhirnya, pergi juga. Aku menghela napas lega. 

Aku tidak mencuri barusan. Siapa suruh dia meminjam uang pada orang, tapi tidak mau membayar. Aneh.

Ponselku berdenting. Dari Mas Reno. 

[Kok uangnya belum kamu transfer? Cepetan transfer, Nin. Kita mau pulang, tapi belum bayar makanan. Dari tadi ditungguin padahal.]

Tanpa peduli, aku meletakkan ponsel ke atas meja. Kedua sudut bibirku terangkat. 

"Bayar saja sendiri, Mas."

***

Jangan lupa like dan komen, yaa.

Komen (18)
goodnovel comment avatar
suri
Enak bangat jadi suami klu gini ya...
goodnovel comment avatar
Ana Fauziyah
sangat bagus
goodnovel comment avatar
Junidah Sujak
akhir zaman ini orang lelaki kok ramai yang *rusak akibat dari ibu yang "rusak" ,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status