BAB 77
"Mama sama Papa ngapain di sini?" tanyaku terkejut.
Aku sampai berpandangan dengan Kafka. Kami sama-sama bingung akan menjelaskan apa kalau begini pada Mama dan Papa. Mereka mau ngapain kesini?
Astaga, jangan sampai—
Pandanganku teralih ke Kafka.
"Ya. Mau membahas keputusan Kafka, bukan?"
"Ma, Pa. Kafka—"
"Oke. Mama sama Papa paham dengan apa yang kamu pikirin, Kaf. Mari membicarakannya baik-baik." Mama memotong perkataan Kafka.
Apakah bisa? Aku tidak yakin. Apalagi Kafka dengan segala pemikirannya yang luar biasa itu. Dia akan sulit dikalahkan oleh Mama dan Papa.
Kafka berkali-kali menoleh ke aku. Meminta bantuan. Aku bisa bantu apa? Aku saja tidak bisa berkata-kata begini.
"Betul Kafka ingin menikahi Rini, hanya karena Rini hamil? Apa Kafka tid
BAB 78Statusku?Aku menatap Ibu. Tidak paham dengan apa yang dikatakannya barusan. Memangnya kenapa dengan statusku?"Ibu mau kamu bilang ke orang lain kalau kamu adalah anak Ibu."Lah, memangnya kenapa? Tumben sekali Ibu bikang begitu. Aku menggelengkan kepala. Menatap Ibu yang diam saja."Tapi bukannya Ibu—""Oke. Gak masalah kalau kamu gak mau."Bukan itu masalahnya. Aduh, aku pusing sekali.Ponselku berdering. Dari Mama. Aku melirik Ibu sekilas, kemudian mengangkat telepon."Halo, Ma. Kenapa?""Mama sama Papa ke luar kota dulu, ya, Sayang. Lagi ada yang mau diurusin sama perusahaan. Kamu bisa tinggal di rumah Mama atau di rumah Ibu aja."Aku menelan ludah. Bukankah ini seperti kebetulan?Mau sam
BAB 79"Ini apa maksudnya?" gumamku sambil mengusap dahi.Aku menelan ludah, menatap foto itu berkali-kali. Kenapa foto ini dicoret pakai tinta merah?Pintu kamarku diketuk. Aku menelan ludah, buru-buru memasukkan foto itu ke dalam kantong celana."Sayang, ayo makan dulu. Udah siap semua.""Oh iya, Bu. Em, sekalian nungguin Fajar bisa gak, Bu?" tanyaku pelan.Ibu diam sejenak. Beberapa detik, Bu Sari kemudian menganggukkan kepala. Dia tersenyum padaku."Boleh, dong. Nunggu di bawah aja, yuk. Sekalian Ibu mau ngobrol sama kamu."Aku menganggukkan kepala. "Ibu duluan aja. Nina mau beresin di dalam sebentar aja."Meskipun terlihat ada sesuatu yang berbeda dari wajah Ibu, tapi tetap mengangguk. Aku tersenyum tipis. Memperhatikan Ibu yang melangkah meninggalkan kamarku.
BAB 80Aku terdiam mendengarnya. Benarkah itu semua? Ah, ingin rasanya aku tidak mempercayai semua itu, tapi kenyataaannya seperti itu."Jadi, kamu mau menambah Ibu kandungmu sendiri sebagai pelaku?""Tidak bisa dibilang juga, pasti akan ditambah," sahut Kafka.Kami membahas ini sampai hampir dua jam. Aku senang dengan karakfer Fajar yang tampak biasa saja, tidak terlalu aneh menyikapi hal ini."Belum mau pulang? Ini udah malam."Bu Sari sampai menggedor kamarku. Menyuruh Fajar pulang."Oke." Fajar melirik jam tangannya, kemudian menganggukkan kepala. "Pulang dulu. Udah malam ternyata. Gak nyangka aja. Apalagi Kafka hadir teman ngobrol yang enak banget."Kalau tidak ada Bang Tirta, Kafka memang berubah menjadi manusia yang lumayan pintar. Aku menganggukkan kepala, setuju dengan perkataan
BAB 81"Aku langsung, ya."Aku melongo mendengarnya. Sudah dikejutkan dengan semua itu, Fajar kembali mengejutkanku sekarang?Ah, lucu sekali pria ini. Aku menggelengkan kepala, tidak mengerti dengan jalan pikirannya."Cuma kayak gitu aja? Gak ada urusan lain gitu?""Enggak. Langsung aja, deh, ya. Terlambat nih. Aku tunggu kamu. Semangat."Pria itu. Dia makan apa, sih, sampai bisa berpikir begitu?"Siapa, Nina? Kok gak diajak masuk?""Eh?" Aku menoleh. Menatap Ibu yang ikut berdiri di sebelahku. Untung Fajar sudah pulang, kalau tidak pasti diajak sarapan dulu."Fajar.""Lah, kenapa gak kamu ajak masuk? Sekalian ajak sarapan juga. Kemana orangnya? Kok gak ada lagi?""Langsung pergi. Ada urusan, cuma mau menyampaikan sesuatu."
BAB 82"Hah?!" Aku terkejut sekali mendengarnya. Sampai beberapa orang menoleh ke kami. Fajar juga menatapku bingung."Apa, Mbak?" tanya Kafka sambil mendekatiku.Aku masih diam. Tidak percaya dengan kabar itu."Mbak tetap lanjutin aja sidangnya. Aku gak mau semua ini jadi masalah besar. Yaudah, aku matiin dulu teleponnya, Mbak."Beberapa detik, aku masih terdiam. Kemudian menoleh ke Kafka yang menatapku bertanya-tanya.Kenapa masalah ini besar sekali? Aku mengusap wajah."Mas Reno kecelakaan."Hening. Aku menelan ludah. Sementara wajah yang lain berubah. Aduh, aku tidak bisa berpikir lebih baik sekarang. Bagaimana kalau semuanya jadi kacau?Fajar beranjak. Dia mau ngapain?"Nina, mau Reno ada atau gak ada di sidang kali ini, kamu gak boleh kehilangan k
BAB 83"Aku gak tau lagi harus ngapain, Mbak. Semuanya abu-abu. Aku berharap ini bukan mimpi. Ini gak nyata, kan, Mbak?""Sstt ... udahlah, Rin. Ini takdir."Dia malah semakin menangis. Buru-buru aku memeluknya, berusaha menenangkan wanita ini. Aku sesekali menghela napas, mengusap punggung Rini berkali-kali.Aku menoleh ke Kafka yang menggelengkan kepala, dia juga tidak punya solusi apa pun. Ponselku berdering. Dari Fajar, kenapa dia menelepon sekarang?"Sebentar, Rin." Aku menatap Kafka, memberikannya kode.Kafka membantu untuk memegangi Rini. Aku melangkah menjauh, masih menatap Dini yang masih belum baik sepenuhnya."Kenapa, Jar?""Kamu di mana? Ada yang mau aku omongin, nih.""Di rumah sakit.""Eh?" Dia terdengar terkejut. "Oh, jenguk si Reno itu, ya? Gimana keadaan
"Mas Reno? Kamu Mas Reno kan?" Aku mengerjakan mata menatap pria yang sedang duduk di bangku taman sendirian. Mendengar perkataanku, dia seketika menoleh ke sumber suara, tetapi tatapannya terlihat kosong. "Ni—Nina?" Benar dugaanku. Aku menelan ludah, sudah hampir empat tahun aku pergi dari kehidupan Mas Reno. Hidupku jauh berbeda dari sebelumnya. Fajar benar-benar menepati janjinya. "Iya, ini Nina, Mas." "Maaf Nina." Dia langsung mengatakan itu. Keningku langsung mengerut, aku sebenarnya bingung kenapa Mas Reno meminta maaf, padahal saat ini dia tidak ada salah apa pun. "Aku boleh duduk di sebelahku, Mas?" Sepertinya kehidupan Mas Reno sama seperti dulu. Dia juga masih seperti kondisi terakhir saat aku melihatnya, masih belum bisa melihat. Aku menganggukkan kepala, mengambil kesimpulan sendiri, bahwa aku bisa duduk di sebelahnya. "Maaf Nina. Maafkan aku." "Maaf untuk apa, Mas? Aku sudah memafkanmu sejak dulu." Aku memegang perut yang sudah mulai membuncit. Ini adala
"Raja gak mau! Gak suka! Papa Raja cuma satu!"Aku sedikit terkejut mendengar perkataan Raja yang tidak mau mengakui kalau Mas Reno adalah Papanya, langsung menoleh ke Mas Fajar yang juga sedikit terkejut. Kami tidak pernah sekalipun mengajari Raja untuk melakukan hal itu, apa lagi tidak mengakui Mas Reno sebagai papa kandungnya. Kami selalu mengajari hal baik pada Raja.Begitu juga dengan Mas Reno yang ikutan terkejut. Aku menepuk dahi, bagaimana caranya agar Raja menerima semua kenyataan ini?"Raja gak mau punya Papa kayak dia.""Sayang, kamu gak boleh bilang gitu. Itu Papa kamu." Aku mengusap kepala Raja, berusaha memberikannya pengertian. "Kenapa gak mau sayang? Mama sama Papa gak pernah ngajarin kamu gitu.""Aduh." Aku memegangi perut sambil memegang tangan Mas Fajar. Suamiku itu langsung dengan sigap berdiri sambil menopang tubuhku. "Kenapa, Sayang?" tanya Mas Fajar dengan raut khawatir. "Perutku sakit, Mas." Aku merintih pelan. Raja juga ikut mendekatiku. Bagaimanapun juga