Share

Penyamaran yang Terbongkar

Pagi yang terik, Indira terbangun dari tidurnya karena dikagetkan oleh matahari silau yang menyinari matanya. Cewek manis itu berjalan ke kamar Haniel yang berada tepat di samping kamar kakak sepupunya, Javas. Dilihatnya Haniel masih tertidur dengan pulasnya, “Sekarang emang jam berapa sih? Nih anak kok masih ngorok?” batin Indira. Dia akhirnya menuju ruang keluarga, dilihatnya mbok juga belum mempersiapkan sarapan sepertinya belum bangun juga. Indira memalingkan wajahnya ke jam yang terpampang di dinding ruang keluarga, “Ya ampun, dah pagi banget! Kok orang-orang di rumah belum pada bangun yah? Keasyikan tuh nonton bola sampai pagi, mbok ikut-ikutan juga lagi! Ehm… daripada aku sendirian di rumah belum ada orang bangun mending aku pergi jalan-jalan keluar.”

Indira berlari-lari kecil menyusuri jalan di kompleks rumah sepupunya. Tiba-tiba dari arah berlawanan lewat sebuah motor ninja hitam sedikit menyerempet Indira sampai dia terjatuh. Motor itu berhenti dan pengemudinya mendatangi Indira, “Sorry, kamu nggak apa-apa?” tanya pengemudi itu sambil memperhatikan Indira yang sedang membersihkan tubuhnya.

Indira menatap pengemudi itu dengan tatapan tajam, “Nggak apa-apa matamu! Kamu nggak lihat lutut aku sama telapak tangan aku luka kayak gini! Makanya kalau bawa motor itu matanya dipake, bisa-bisanya ada orang sebesar gini melintas sampai nggak lihat!”

“Nggak usah pake ngegas mbak, saya kan juga udah minta maaf, iya saya yang salah karena buru-buru sampai nggak lihat kamu tapi kan saya udah baik nih berhenti demi ngecek kamu padahal saya lagi buru-buru.” Malah gantian pengemudi itu yang memarahi Indira balik.

“Kok jadi kamu yang marah-marah?! Nggak ada tanggung jawabnya udah lukain anak orang malah merasa diri paling benar!” Tentu saja Indira tidak mau kalah.

“Yah udah sini aku bawa kamu ke rumah sakit!”

Pengemudi itu mengambil ancang-ancang untuk menggendong Indira namun tiba-tiba ada sebuah motor lain berhenti di dekat mereka, “Indira, ayo cepetan naik!” teriak pengemudi itu membelakangi Indira dan pengemudi yang menabrak Indira, seperti tidak ingin wajahnya dikenali.

Indira sepertinya mengenali pengemudi tersebut, tanpa banyak bertanya dia langsung naik dibelakang pengemudi motor itu tapi dia tidak melupakan satu hal, dia berbalik lagi ke pengemudi yang menabraknya, “Urusan kamu sama aku belum selesai! Kalau aku ketemu sama motor kamu itu, aku bakal datangin kamu buat ganti rugi!”

Motor itu melesat pergi meninggalkan pengemudi yang menabrak Indira, “Dasar cewek sinting! Pasti cuma lecet dikit doang tuh tapi minta ganti ruginya semangat banget, buktinya tadi dia masih bisa jalan dan naik ke motor itu! Tapi ngomong-ngomong tentang motor itu, kayaknya aku pernah lihat tapi di mana yah?” Orang itu mencoba mengingat-ingat kembali. “Ah, ngapain juga di pikirin? Mending aku jalan sekarang ke rumah Janetta sebelum dia marah-marah karena aku telat.” Pengemudi itu langsung naik ke motornya dan pergi menuju rumah Janetta.

****

“Auw… sakit! Pelan-pelan mbok…” teriak Indira saat kakinya yang lecet diobati.

Haniel yang baru datang dari market, menaruh helmnya dan langsung mengganggu Indira, “Pencet aja yang keras mbok supaya kapok dia nggak keluar-keluar rumah sendiri dengan seenaknya!”

Indira langsung melemparkan bantal kursi yang dari tadi dia pegang, “Jahat banget sih kamu, Haniel!” Spontan Haniel yang dilemparkan bantal langsung menghindar.

“Habis… kakak juga bandel sih, kak Javas kan udah bilang kemarin kalau kakak jangan keluar-keluar dulu! Kakak belum tau orang-orang di sini kayak gimana eh masih juga keluar, gini kan jadinya!” nasihat Haniel kayak kakek-kakek.

Indira menunduk melihati kakinya yang terluka, “Indira bosan di rumah terus Haniel lagian bukan kak Indira kali yang salah, tuh pengemudi gila yang salah!” marah Indira kembali memuncak. Mendengar pengemudi itu disebut-sebut Haniel menunduk dan terdiam, seperti menyimpan sesuatu. Indira yang melihat Haniel terdiam menjadi sangat bingung, “Haniel, kamu kenapa, ada masalah?”

Haniel mengangkat kepalanya dan tersenyum ke Indira, “Kalau Haniel nggak salah, tadi itu Tristan, sahabat kecilnya kak Javas.” Haniel mencoba memelankan suaranya.

Indira terdiam sebentar, “Apa?!!! Terus dia kenal sama kamu atau aku?” Mendadak Indira menjadi panik, bisa ribet urusannya kalau sahabat Javas itu mengenali mereka.

“Kalo kak Indira dia pasti nggak kenalin, untung aja tadi aku pake helm jadi muka aku juga nggak kelihatan tapi masalahnya…” Kalimat Haniel terputus, dia malah terdiam.

Indira tambah gelisah melihat perubahan muka Haniel, “Masalahnya apa sih Haniel?”

“Masalahnya tadi Haniel pakai motor yang selalu dipakai kak Javas, Haniel takut kalau mereka mengenalinya dan akhirnya mencari tau ke rumah ini.” Suara Haniel terdengar sangat gelisah, bagaimana pun dia pasti takut kalau sampai Javas tau dia memakai motornya dan malah memperlihatkannya di depan sahabatnya yang tidak ingin Javas beritahu kalau dia ke Indonesia.

Indira memeluk Haniel, dia sadar kalau ini kesalahan dia. Dia lalai dalam melakukan nasihat Javas dan takutnya malah membuat Javas marah, “Tenang aja Haniel, mereka pasti bakal pikir panjang dulu sebelum datang ke rumah. Lagian kita bisa minta tolong pak Tarno atau mbok buat bohong sama teman-temannya kak Javas.” Indira berusaha menenangkan Haniel.

Mbok mengelus kepala anak majikannya itu, “Mbok pasti bakalan bantu tuan sama non kok, sekarang kita makan dulu yuk nanti makananya dingin.” Mereka berdua pun langsung menuju meja makan untuk bersiap-siap menyantap makanan buatan mbok.

****

“Tristan, darimana aja sih  baru nyampe sekarang?! Rumah aku sama rumah kamukan nggak jauh-jauh amat jaraknya!” marah Janetta yang melihat Tristan baru datang.

Tristan langsung menghempaskan dirinya di sofa ruang tamu Janetta, “Aduh Ta, aku lagi malas berantem sama kamu! Tadi aku nabrak cewek gila terus dia minta ganti rugi sama aku dan sekarang aku harus berantem lagi sama kamu, capek Janetta.” Tristan merebahkan dirinya di sofa Janetta, mengistirahatkan diri dari kejadian tadi.

Setelah agak lama Tristan tertidur, datang Rachel, Jovan, Liora dan Yadi yang baru saja menjemput Jelena keluar dari rumah sakit. Jelena sudah diperbolehkan pulang dan mereka berencana nginap di rumah Janetta sekalian merayakan kesembuhan Jelena. Jovan yang melihat Tristan terlelap langsung muncul niat isengnya, dia mengambil sehelai bulu yang ada di kemoceng Janetta kemudian menggelitik telinga Tristan. Tristan yang merasa kegelian sudah pasti terbangun dan agak senewen melihat ternyata Jovan yang mengganggu tidurnya, “Ya ampun Van, aku baru tidur 15 menit yang lalu tau nggak, ngantuk banget ini!”

Jovan sudah pasti puas dengan niat isengnya yang berhasil sementara yang lainnya hanya menertawai kelakuan mereka. “Lagian kamu sih Tan, kita aja pada jemputin Jelena terus kamu di sini bukannya ngebantuin Janetta siapin buat acara malah enak-enak tidur.” Jovan malah tambah menggoda Tristan.

“Bukannya nggak bantuin cancorang, kan tadi pagi aku udah ngomong sama kalian kalau aku nggak bisa bangun pagi buat ikutan jemput Jelena. Semalam begadang karena nonton bola nah daripada kalian nungguin aku kan lebih baik kalian duluan aja jemput Jelena. Lagian tadi juga aku datang ke rumah Janetta itu telat gara-gara ada masalah malah sampai sini di omelin sama Janetta. Dari pada kita adu bacot terus berantem dan nggak ada yang selesai mending aku anteng aja tidur. Kamu gimana Jelena, udah enakan kan?” ucapan Tristan yang panjang lebar malah tertuju ke Jelena.

Jelena tersenyum melihat Tristan, “Udah baikkan kok Tristan.”

Yadi sendiri yang agak capek mengambil posisi duduk di sofa yang tadi ditiduri Tristan. Matanya tertuju ke album foto yang Janetta sengaja taruh di sana, album foto persahabatan mereka. Ketika yang lain sibuk dengan kesibukan masing-masing, Tristan ikut nimbrung melihat-lihat album foto yang dipegang Yadi, “Ini…” gumam Tristan ketika melihat fotonya dan Javas yang berada diatas motor kesayangan masing-masing.

“Ada apa Tan, kamu nggak mungkin lupa kan sama motor Ninja hijau kesayangan Javas yang selalu dia bawa buat balap-balapan sama kamu?” Yadi menjelaskan kembali kalau-kalau sahabatnya satu itu sudah pikun.

“Bukan itu Di, kayaknya baru-baru ini aku pernah ngelihat motor itu tapi di mana yah?” Tristan mencoba mengingat-ingat kejadian yang dia lewati. Rachel dan Janetta yang sudah selesai membuat makanan langsung ikut berkumpul bersama teman-temannya sedangkan Jelena dan Jovan yang tadinya menonton TV ikut menatap Tristan sedikit tertarik dengan pembicaraan mereka. “Aku ingat! Tadi motor itu kan yang jemput cewek gila itu, apa dia…” Kalimat Tristan terpotong, dia menunduk merasa tidak harus melanjutkan ucapannya.

Jelena seperti bisa menerka maksud Tristan, “Kamu berpikir kalau orang yang jemput cewek itu adalah… Javas?! Tan, ayo ceritakan di mana kamu ketemu sama orang itu?!” Semua mata teman-teman Tristan memandang tajam ke arahnya terutama Rachel yang sangat ingin mendengar penjelasan itu. Tristan pasrah dan menceritakan kembali kejadian yang terjadi padanya tadi.

Liora mulai berpikir serius, “Mungkin aja itu benar-benar Javas?”

Rachel langsung menggeleng, “Nggak mungkin, dia pasti bilang ke kita kalau dia mau pulang ke Indonesia.”

“Mungkin aja dia mau kasih supraise ke kita?” Janetta mengeluarkan pendapatnya.

Tristan langsung menyelanya, “Kalau emang dia mau kasih supraise ke kita, kenapa dia tidak melakukannya sekarang saja?! Kenapa dia masih menutup mukanya dari aku?!” Mereka semua kembali berpikir.

“Apa yang terjadi sama Javas, Tuhan? Dari kemarin aku mimpiin hal aneh terus tentang dia, aku mohon dia jangan kenapa-napa,” batin Jelena. Tiba-tiba dia merasa kepalanya sangat pusing, dia yakin kalau penyakitnya yang dia rasakan seperti yang sudah-sudah.

Yadi yang menyadari perubahan wajah Jelena yang pucat langsung mendatanginya, “Jelena, kamu nggak apa-apa? Masuk ke kamarnya Janetta aja yuk, kamu istirahat aja dulu yah.” Tanpa mendengarkan jawaban Jelena, Yadi langsung membawa Jelena ke kamar Janetta untuk beristirahat. Liora dan Rachel saling berpandangan, mereka yakin kalau Jelena merasakan kesakitan yang Javas rasakan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status