Share

Mimpi yang Nyata

Javas tidak mengenali tempat itu bahkan mengunjunginya pun tak pernah tapi dengan cara apa dia sampai di tempat itu? Tempat itu hanya dipenuhi oleh pohon-pohon tinggi dan lebat, sepertinya dia ada di hutan. Tidak ada hewan apalagi orang di sana, tiba-tiba dia merasa ada yang memegang pundaknya. Dia berbalik, tampak di depannya 2 orang gadis manis yang sangat dia kenal, dia adalah Rachel dan Indira. Dua cewek itu tersenyum manis ke arah Javas, mereka berdua lalu menarik tangan Javas masuk ke dalam hutan itu.

Mereka menikmati kebersamaan mereka di tempat itu sampai tiba-tiba sebuah asap hitam menutupi mereka dan seseorang memukul belakang Javas. Setelah asap hitam itu hilang dia bangun dengan tertatih, sangat terasa sakit pukulan yang tadi diberikan kepadanya. Samar-samar dia mendengar suara seseorang berteriak minta tolong memanggil namanya, “Kak Javas, kak Javas tolong!!!” Dia langsung mencari sumber suara tersebut.

Semakin lama dia semakin jauh masuk ke hutan itu, dia mendengar suara itu lagi tapi lain dari suara yang pertama, “Javas, tolongin aku Javas!!!” Javas melayangkan pandangannya, suara mereka terdengar jelas dari tempat itu.

Kabut itu menghilang dan nampak samar seseorang di hadapannya, dia adalah Indira bersama seseorang bertopeng yang menyekap Indira. Sementara itu disamping Indira juga terlihat Rachel yang sedang disekap oleh orang yang berpakaian hampir sama dengan orang yang menyekap Indira. Javas mendekati orang itu tapi orang itu semakin menjauh, “Tolong lepaskan mereka berdua, apa yang kalian mau dari saya?”

“Kami mau kamu mati!!!” jawab orang yang menyekap Rachel.

Sudah pasti ucapan orang itu membuat Javas sedikit syok, dia pun memberanikan diri untuk bertanya lagi, “Kenapa kalian menginginkan saya untuk mati?! Apa salah saya sama kalian?!”

Orang yang menyekap Indira tertawa keras lalu menjawab pertanyaan Javas, “Kamu harus menebus dosa yang sudah kamu lakukan!!!” tunjuk orang itu ke muka Javas.

“Saya merasa saya tidak pernah melakukan kesalahan besar terhadap orang lain. Saya tidak mau mati untuk kesalahan yang saya tidak perbuat!”

“Tidak masalah Javas, hidup dan mati itu terkadang adalah sebuah pilihan seseorang tapi kamu harus tau kalau pilihan itu pasti punya konsekuensi. Kamu memilih hidup maka kamu mengorbankan dua wanita cantik ini untuk orang berdosa seperti kamu tapi jika kamu memilih mati bukankah kamu akan menjadi pahlawan tanpa membunuh nyawa orang tak bersalah?” orang itu tersenyum dan tanpa berkata apa-apa lagi, mereka membawa Rachel dan Indira masuk kembali ke kabut yang tebal. Javas berlari mengejar Rachel dan Indira tapi yang ada beberapa kawanan orang-orang itu malah menghadangnya kemudian memukulnya sampai jatuh tidak sadarkan diri.

****

“Javas, Javas, bangun sayang!” Oma Javas mengguncang-guncang badan Javas. Banyak keringat yang keluar dari tubuh Javas padahal cuaca diluar sedang mendung dan itu menambah kekhawatiran omanya ditambah lagi sudah sangat lama omanya berusaha membangunkan Javas tapi tak bangun juga.

Tiara yang mendengar teriakan omanya Javas akhirnya masuk dan membantu oma, “Javas bangun… ini aku Tiara.” Tiara juga mengguncang badan Javas agar terbangun.

Tiba-tiba Javas terbangun dan berteriak, “Indira!!! Rachel!!!” mata Javas berusaha mencari-cari orang yang dipanggilnya.

Omanya langsung menyamperi cucunya itu, “Sayang, Indira nggak ada di sini, dia ada di Jakarta, Javas lagi ada di Bandung sekarang.” Terlihat muka Javas sangat pucat dan napasnya ngos-ngosan seperti orang habis lari-lari.

Tiara mendekati Javas memberanikan diri untuk bertanya, “Javas, kamu kenapa?” Javas menggeleng, dia tidak mau menceritakan mimpinya barusan, menakutkan.

“Oma, Javas pulang pagi ini yah!” pinta Javas ke omanya.

“Tapi kamu kayaknya lagi nggak sehat sayang, besok aja yah.” Omanya seperti tidak rela kalau Javas pulang sekarang dengan keadaannya yang seperti itu, takut ada apa-apa.

“Javas nggak apa-apa oma, Javas musti ngecek keadaan adek-adek di Jakarta. Sepertinya udah terlalu lama Javas tinggalin mereka, Javas mau siap-siap dulu.” Javas malah meninggalkan omanya dan Tiara yang hanya saling berpandangan tidak mengerti.

Setelah selesai bersiap-siap, akhirnya Javas sudah mantap untuk kembali ke Jakarta. Omanya mengusap lembut rambut cucu kesayangannya itu, “Kamu beneran harus pulang sekarang? Oma takut ada apa-apa sayang, muka kamu pucet banget itu.” Oma masih terus berusaha agar Javas mengurunkan niatnya untuk pulang.

Javas memegang pundak omanya, berusaha untuk menenangkannya, “Oma tenang aja, Javas nggak apa-apa kok. Javas janji kalau udah sampai pasti bakal langsung hubungin oma, kalau gitu Javas berangkat sekarang yah oma.” Javas melepaskan tangannya dan berjalan menuju mobilnya.

“Javas tunggu!” Tiara berlari menemuinya. Senyum Javas terukir ketika melihat gadis ini yang sudah beberapa hari ini menemaninya dan membuat liburannya di Bandung tidak terlalu membosankan. “Ini buat kamu untuk bekal di jalan, itu brownies bikinan aku sendiri jadi harus kamu makan yah. Hati-hati di jalan, kalau sampai di Jakarta kamu harus ingat buat hubungin aku..” Tiara memberikan kotak bekal itu ke Javas.

Javas tersenyum menerimanya, “Makasih yah Tiara, aku janji sampai Jakarta bakalan langsung hubungi kamu. Aku juga janji sebelum balik ke London bakalan main lagi ke Bandung temuin kamu.” Javas mengelus kepala Tiara. Setelah agak lama, dia pun bersiap untuk pergi, Javas melambaikan tangannya kemudian naik mobilnya dan melesat pergi.

****

Janetta, Tristan, Liora, Jovan, Jelena dan Yadi telah selesai makan, mereka langsung larut dalam kesibukan sendiri-sendiri. Rachel turun dari lantai atas rumahnya Janetta, terlihat bersiap-siap untuk pergi. “Mau ke mana Chel, pagi-pagi udah rapi banget?” tanya Yadi.

“Mau pulang sebentar ke rumah, ada yang mau aku ambil. Sekalian nanti pulangnya mau beli cemilan di supermarket dekat rumah.” Jelas Rachel, yah mereka sudah seminggu menginap di rumah Janetta. Alasannya karena ingin Jelena istirahat dengan baik dulu bersama mereka dan alasan lainnya adalah karena orang tua Janetta sedang berada di luar kota jadi sekalian untuk menemani Janetta.

“Mau di anterin?” Yadi bertanya lagi.

Rachel tersenyum ke Yadi, “Nggak usah, deket gini kok. Gengs, aku pergi dulu yah.” Sepeninggal Rachel mereka kembali larut dalam kesibukan masing-masing.

****

Sore itu Javas telah sampai di rumahnya di Jakarta, dia dengan tergesa-gesa langsung masuk ke rumahnya, “Indira, Indira!!!” teriak Javas. Mbok yang mendengar Javas teriak-teriak langsung berlari ke ruang tamu. “Mbok, Indira mana?” tanya Javas yang melihat mbok.

“Non Indira ada duduk-duduk di dekat kolam renang tuan. Ada apa tuan, kok tuan pulang cepat dari Bandung dan kelihatan gelisah seperti itu?” Tentu saja mboknya heran, Javas sudah berpesan kalau dia akan tinggal di Bandung seminggu lebih tapi pulang lebih cepat dari perkataannya pasti ada sesuatu yang terjadi.

Javas tidak mempedulikan pertanyaan mbok, dia berjalan cepat ke arah kolam renang. Ternyata ada Haniel juga yang baru saja datang dari kolam renang, “Haniel, Indira mana?!” Gelagat gelisah Javas malah membuat Haniel bingung.

“Kak Indira ada tuh lagi duduk-duduk dekat kolam renang, emang ada apa sih kak?”

Lagi-lagi Javas tidak menjawab pertanyaan Haniel, dia meninggalkan Haniel dalam tanda tanya berjalan menuju kolam renang rumahnya. Matanya menelusuri sekitar kolam renang dan mendapati Indira lagi duduk di gazebo kolam renangnya, “Kak Javas, kapan sampainya?” Wajah Indira senang melihat kedatangan kakaknya. Bukannya menjawab, Javas malah langsung memeluk Indira erat. Indira yang bingung hanya bisa membalas memeluk Javas, “Kak, ada apa kak?” Indira bertanya sambil mengelus punggung Javas yang bergetar.

Lama Javas terdiam lalu dia pun menjawab pertanyaan Indira, “Kakak mimpiin hal aneh, kamu beneran nggak apa-apakan selama kakak pergi?” Javas melepaskan pelukannya dari Indira lalu kemudian menatapnya serius.

Indira menatap Javas bingung, “Aku nggak apa-apa kok kak, emangnya kak Javas mimpiin apa sih?”

Sepertinya Javas sudah mulai sadar kalau dia menakuti Indira, dia mencoba tersenyum sebisa mungkin untuk menenangkan Indira, “Baguslah kalau kamu nggak apa-apa soal mimpi itu… nggak usah dipikirin mungkin cuma bunga tidur aja.” Mata Javas malah tertuju ke kaki Indira yang sepertinya terluka karena dibalut dengan perban. “Kaki kamu kenapa Indira?” Javas memegangi kaki Indira yang lecet.

“Auw… sakit kak!” Indira mengerang kesakitan.

Javas melepaskan tangannya dari kaki Indira, “Jawab kakak sebenarnya ada sama kaki kamu?!” Indira pun menceritakan kejadian yang menimpa dia kemarin, tanpa bertanya banyak ke Indira pun, Javas sudah sangat tahu siapa pengemudi yang menyerempet Indira kemarin. Tiba-tiba pandangan Javas kabur, dia merasakan sakit di kepalanya, tubuhnya seperti ditusuk-tusuk jarum yang sangat banyak, keringat dingin mengucur dari badannya.

Haniel yang melihat gelagat aneh dari kakaknya itu langsung mendatanginya, “Kak Javas, kakak kenapa?! Indira, cepat bantuin kak Javas!.” Haniel dan Indira tentu saja panik tidak karuan.

“Haniel, kamu telpon dokter Jay sekarang bilang sama dia kalau sepertinya penyakit kak Javas kambuh!” Indira dengan sigap menyuruh Haniel. Haniel langsung berlari menelpon dokter yang dimaksud Indira sementara Indira masih berusaha membantu Javas yang mengerang kesakitan. Tak lama datang ambulance bersamaan dengan Javas yang sudah tidak kuat dan jatuh pingsan.

Sedangkan Rachel yang ingin balik ke rumah Janetta kaget dengan suara ambulance dan kehebohan orang-orang di samping rumahnya. Tak lama dia melihat seseorang yang ditaruh di tempat tidur untuk dibawa masuk ke ambulance itu. Dia memberanikan diri untuk mendekati orang tersebut, tiba-tiba mukanya pucat dan badannya lemas. Tanpa perlu dijelaskan sebenarnya dia sudah sangat mengenali siapa orang yang tengah ditolong itu.

Indira memperhatikan perempuan yang mendekati kakaknya itu dan sepertinya dia tidak asing dengan perempuan itu, “Kak Rachel?!” Rachel hanya melihatinya sebentar kemudian kembali lagi menatap orang yang dia tunggu itu dimasukkan ke dalam ambulance. Irene sangat mengerti, sekian lama Rachel tidak melihat Javas yang dia temukan adalah Javas yang jatuh tidak sadarkan diri dan harus dilarikan ke rumah sakit, sudah pasti Rachel shock. “Kak Rachel tenang aja, kak Javas bakalan baik-baik aja dan dia sudah ditangani oleh orang yang tepat.” Selepas berbicara seperti itu untuk menenangkan Rachel, dia masuk ke mobil yang Haniel kendarai untuk mengikuti ambulance Javas.

Rachel yang pikirannya sudah bingung hanya bisa menelpon Yadi, “Halo?” terdengar suara Yadi dari dalam telpon.

“Yadi… Javas… dia… sakit…” ujar Rachel terbata-bata.

“Apa maksud kamu Rachel?!”

“Javas ada di sini Di, dia ada di sini tapi dia sakit dan sekarang dibawa ke rumah sakit.” Tangisan Rachel mengakhiri telpon itu.

****

Yadi hanya bisa terdiam memandang hp nya, ucapan Rachel tadi seperti petir di siang hari buat Yadi. Jovan melihat kebingungan Yadi, “Ada apa Di? Siapa tadi yang nelpon?” Jovan kemudian bertanya karena rasa penasarannya yang tinggi.

Yadi memandang Jovan lama, “Tadi Rachel yang telpon, dia bilang kalau... Javas ada di sini.” Liora, Jovan dan Tristan terdiam, dia juga sama kagetnya mendengar berita itu.

“Jelena!!!” terdengar teriakan Janetta dari atas. Mereka semua langsung berlari ke kamar Janetta, dilihatnya Janetta sedang mengguncang-guncang badan Jelena yang tidak sadarkan diri.

Mereka akhirnya berusaha untuk membopong tubuh Jelena, “Di, mending kamu samperin Rachel sekarang, aku yakin pasti ada sesuatu yang terjadi sama Javas ataupun Rachel. Biar Jelena, aku sama anak-anak yang bawa ke rumah sakit.” Selepas menyuruh Yadi, Tristan mengangkat Jelena untuk dibawa ke mobil.

****

Mobil berhenti di depan Rachel yang masih terduduk di depan rumah Javas. “Rachel gimana? Javas di bawa ke mana?” tanya Yadi tergopoh-gopoh.

“Javas di bawa ke rumah sakit, dia nggak sadarkan diri.” Sambil terisak Rachel mencoba memberikan penjelasn ke Yadi.

“Oke kalau gitu kita langsung ke sana, anak-anak juga di perjalanan bawa Jelena yang tadi pingsan juga.”

“Ya ampun, kenapa bisa jadi kayak gini sih?!” tangisan Rachel semakin menjadi-jadi mendengar nasib sahabatnya yang lain.

Yadi mengelus kepala Rachel untuk menenangkannya, “Tenang aja Rachel, semuanya bakal baik-baik saja kok.”

****

Rumah itu tampak besar tapi nyatanya hanya ditinggali oleh sepasang cowok dan cewek, kakak beradik dan beberapa pelayan rumah itu. Cewek itu menaruh barang belanjaannya dan duduk di sofa ruang keluarga, “Sepi banget rumah ini kalau oma lagi ke luar negri.” Cewek itu menggerutu.

Sedangkan cowok itu sedang mengambil minuman di kulkas, “Namanya juga wanita karir, hidupnya cuma kerja yah kita harus maklumi itu.”

Yuri mengambil kertas yang ada dalam dompet cowok itu, “Kak Nugraha udah yakin dengan kita berdua yang mau kembali ke Indonesia besok? Keadaannya udah memungkinkan belum?” Benar, Yuri adalah nama gadis itu.

Cowok yang bernama Nugraha itu duduk disamping adeknya, “Orang-orangku udah telpon kalau keadaan udah membaik, polisi-polisi bodoh itu udah nggak ngejar-ngejar geng kakak lagi. Kakak pikir lebih cepat kakak pulang semakin cepat kakak bisa mencari orang yang menghancurkan nama baik geng kakak!” Nugraha tersenyum licik.

“Emang siapa sih orang yang berani fitnah geng kakak kayak gitu? Penasaran banget Yuri, dia punya nyali apa sampai berani seperti itu.” Sudah pasti Yuri penasaran dengan orang yang membuat kakaknya itu harus sampai lari ke luar negri untuk bersembunyi.

“Dia adalah seorang pengkhianat tapi tenang saja orang itu nggak akan bahagia selama kakak masih hidup! Kakak akan berusaha mencari orang itu bahkan sampai ke lubang tikus sekalipun dan akan membunuhnya!” Nugraha mengepalkan tangannya kesal.

Yuri malah tertunduk mendengar perkataan kakaknya, “Tapi itu akan berbahaya untuk kakak.” ucapnya pelan.

Nugraha mengelus kepala adiknya itu, “Tenang aja Yuri, kakak bakalan baik-baik aja.”

“Lalu bagaimana perjanjian kakak dengan lelaki itu, apa dia menerimanya?”

“Dia sudah pasti akan menerima perjanjian itu karena tidak ada pilihan lain untuknya, menolak perjanjian itu sama saja dengan mati!” jawab kakaknya.

Yuri menggelengkan kepalanya, “Kenapa sih kakak membuat perjanjian itu? Lalu kenapa aku harus jadi bahan perjanjian kakak dengan dia?!”

Senyum licik kembali terpampang di wajah Nugraha, “Dia harus menerima pembalasan kakak karena udah membunuh papa dan akhirnya membunuh mama juga! Tenang saja adikku yang cantik, perjanjian itu akan menguntungkan buat kamu dan buat keluarga kita dalam hal membalas orang bejat itu!”

“Terserah kakak saja dengan rencana kakak, Yuri cuma mau balik ke Indonesia dengan tenang.” Yuri berjalan masuk ke kamarnya. Tinggal Nugraha sendiri di ruang keluarga menghabiskan minumannya masih tetap dengan senyum kelicikannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status