Setelah mendapat ijin dari Sasa, Sabrina berangkat menuju ke kampusnya. Namun siapa sangka setelah sampai dikampus ia malah mendapat masalah baru.
"Sabrina," panggil salah seorang teman kelasnya.
"Ya."
"Dipanggil dekan tuh."
"Kenapa ya?" heran Sabrina.
"Nggak tau juga gue, buruan kesana aja."
"Yaudah deh, thanks ya."
Sabrina berjalan menuju ruang dekan, ia melangkah dengan santai tanpa memikirkan apapun. Namun ditengah jalan ia malah bertemu dengan Syan juga teman-temannya.
"Cie ada yang mau kemana nih."
"Arahnya sih ke ruang dekan."
"Mau ngapain loe kesana."
"Jangan-jangan mau muasin dekan lagi," tawa semuanya, sedangkan Syan hanya diam menatap benci pada Sabrina.
"Kemana lo semalam nginapnya?" sinis Syan menatap hina Sabrina.
"Bukan urusan loe kak."
"Jangan pernah panggil gue kak, atau loe mau gue hancurin!" ancam Syan mencekik leher Sabrina.
Sabrina melawan, ia melepas paksa tangan Syan dari lehernya kemudian dihempaskan secara kasar. Ia pun segera pergi tanpa memperdulikan teriakan dari teman-teman Syan.
"Gue harus banyak-banyakin sabar kalau ngadepin mereka nih," gumam Sabrina didepan ruang dekan.
Dengan sopan Sabrina mengetuk pintu kemudian dipersilahkan untuk duduk oleh sang dekan. Disana dekan mengatakan alasannya ia memanggil Sabrina menghadapnya.
"Begini Sabrina, bapak tau kamu anak yang cerdas dan juga berprestasi. Tapi kekerasan benar-benar tidak bisa ditolerasi dikampus ini."
"Kekerasan apa ya pak maksudnya."
Dekan memberikan 3 lembar foto didepan Sabrina. Foto-foto tersebut memperlihatkan jika Sabrina tengah menyerang teman kampusnya.
"Pak ini nggak seperti yang bapak fikirkan."
"Tapi nyatanya para korban sudah melakukan pengaduan kepada pihak kampus."
"Saya sungguh tidak melakukannya pak," seru Sabrina berurai air mata.
"Sabrina, kamu harusnya ingat syarat beasiswa kamu sebelum bertindak."
"Tapi pak."
"Orang tua dari mereka sudah melakukan pengaduan juga, dan pihak kampus sudah membantu kamu untuk tidak sampai kejalur polisi."
"Tapi sungguh bukan begitu kejadiannya."
"Apapun itu, keputusan kampus sudah dibuat."
"Maksudnya pak?" was-was Sabrina.
"Beasiswa kamu kami cabut, dan jika kamu tidak bisa membayar biayanya kamu bisa keluar dari kampus."
Sungguh suatu kejutan dipagi hari bagi Sabrina, tak pernah terfikir jika ia akan dijebak hingga kehilangan beasiswa pendidikan yang susah payah didapatnya.
Bibirnya terasa kelu hanya untuk mengucapkan sepatah kata. Pikirannya kosong entah hilang kemana, hanya ada air mata yang terus mengalir tanpa celah membasahi pipinya.
"Makasih pak, saya permisi."
"Tunggu dulu, berikan keputusanmu. Tinggal atau pergi."
"Bapak tau bagaimana kondisi finansial saya, jadi saya memilih untuk pergi," sedihnya.
"Bawalah surat ini nak, jika nanti kamu mendapat kampus baru pakai surat ini untuk mempermudahnya."
"Terima kasih pak, saya permisi."
Sabrina keluar dengan berderai air mata. Rasanya pupus sudah harapan untuk masa depan yang sudah ia bangun sejak lama.
"Hancur sudah semuanya, tega sekali mereka," tangisnya penuh sesal.
Namun tiba-tiba ketiga teman Syan datang dan membawa paksa Sabrina menuju area belakang kampus.
"Lepasin."
"Diam nggak loe!"
"Tau nih, berat tau."
Mereka mendorong Sabrina hingga jatuh tersungkur tepat didepan sepatu milik Syan. Dengan sombongnya Syan menginjak tangan Sabrina dengan kakinya, bahkan ia dengan sengaja menekankan sepatu miliknya tersebut.
"Akhh sakit kak," rintih Sabrina.
"Loe sebut gue apa," makin menekankan sepatu miliknya.
"Tolong, sakit sekali."
"Enak aja," seru salah satu teman Syan.
"Kenapa kalian kejam, kalian yang memfitnahku hingga aku dikeluarkan dari kampus!"
"Loe emang nggak pantas kuliah disini."
"Loe jahat Syan, kejam" memandang sini saudaranya.
"Kalian berdua, bantu dia keluar dari kampus kita ini," perintah Syan yang sudah tak ingin berlama-lama bersama Sabrina.
"Siap bos," seru keduanya.
Dengan kasarnya mereka menarik tubuh Sabrina berjalan mengikuti langkah mereka. Didepan pagar kampus, didorongnya Sabrina keluar hingga terjatuh.
"Aww," pekik Sabrina saat tubuhnya mengenai aspal.
"Bye-bye kuman," ledek kedunya sebelum berbalik meninggalkan Sabrina.
Sabrina berjalan kali menyusuri jalan pinggiran kota, hingga ia lelah dan memilih bangku taman untuk tempatnya beristirahat.
"Apa salah gue? kenapa semua jadi begini," tangisnya menyalahkan keadaan.
"Apa yang harus gue lakuin? Gak ada siapapun yang bisa bantuin gue, termasuk orang tua gue sendiri."
Hampir satu jam Sabrina duduk menangis menyalahkan keadaan atas apa yang terjadi terhadap dirinya, hingga ia kembali teringat dengan Sasa yang memberinya sebuah kekuatan juga keceriaan.
"Mau nangis sampe mata gue lepas pun semua akan tetap sama," menghapus kasar air matanya.
"Lebih baik gue pulang gue jagain Sasa," semangatnya bangkit dari tempatnya duduk.
Sabrina memutuskan kembali pulang, ia sadar sekarang ini ada Sasa sebagai tanggung jawabnya dalam pekerjaan. Dan ia akan melakukan yang terbaik untuk itu, karena hanya ini pekerjaannya sekarang.
Setelah kejadian Max di cafe, Sabrina yang tak enak hati memutuskan untuk mengundurkan diri dari sana. Awalnya manager menolak, namun Sabrina memberikan alasan yang tak mampu ditolak manager hingga akhirnya mengabulkan keinginannya.
**
Max yang sedang berada diperusahaannya sedang berbahagia dengan kelancaran bisnisnya yang ada diluar kota. Ia tak lupa menghubungi istrinya untuk memberitahukan kabar gembira ini.
Dan bagi keduanya, kepergian Sabrina inilah yang membawa keberuntungan bagi keluarganya.
"Kita harus merayakannya malam ini pah," seru Carisa disambungan telponnya.
"Tentu saja, malam ini di hotel XX ya mah, jangan lupa kasih tau Syan."
"Beres pah, kalau gitu mama tutup dulu ya soalnya ada orang bisnis mama."
"Baiklah, i love you sayank."
"Love you more suamiku."
Dan setelah menutup sambungan telpon dengan istrinya, Max menghubungi sekretarisnya untuk membantunya mereservasi tempat nanti malam.
Betapa Max bahagia saat ini dengan keberhasilan proyek milyaran rupiah yang diimpikannya selama ini akhirnya tersampaikan.
Bahkan tak ada kata yang bisa mewakili rasa bahagia Max kali ini.
"Kalau aku tau mengusir Sabrina bisa mendatangkan proyek ini, maka dari dulu sudah aku usir jauh dia dari rumah," girangnya.
"Hari yang menggembirakan!"
Max betul-betul bahagia, bahkan ia tak hentinya memamerkan senyum manisnya didepan semua karyawannya yang ia lewati.
Hingga siang menjelang, Max mengajak salah satu rekan bisnisnya untuk makan siang bersama. Dan rekan bisnisnya tersebut kebetulan juga membawa teman baiknya dalam jamuan makan siang.
Disebuah restoran mewah Max sudah memesan semua menu andalan restoran tersebut, bahkan Max tak menunggu untuk bertanya pada teman makannya.
"Keluarkan semua menu terbaik kalian disini dan jangan membuatku kecewa," seru Max angkuh.
Max duduk gelisah menunggu teman makannya siang ini yang tak kunjung datang, saat ia melihatnya ia segera melambaikan tangannya.
"Siang pak Max," salamnya.
"Selamat siang pak Burhan, " saling berjabat tangan.
"Oh perkenalkan pak, ini pak Darma teman saya."
"Halo pak Max saya Darma," mengulurkan tangannya.
"Saya Max, pengusaha ternama dikota ini" sombongnya dan hanya ditanggapi dengan senyuman oleh keduanya.
"Oh mari silahkan duduk, jangan sungkan."
Ketiganya mulai mengobrol ringan sambil menunggu makanannya datang. Max begitu semangat saat menceritakan semua keberhasilan dirinya dalam dunia bisnis, ia tak memberi ruang sedikitpun bagi keduanya untuk ikut berbicara dan membanggakan bisnisnya.
"Haha, kalau pak Burhan saya tau gimana hebatnya dalam berbisnis. Lantas apa pekerjaan pak Darma saat ini? atau mungkin jika membutuhkan pekerjaan saya bisa mengusahakan sebuah jabatan diperusahaan saya," sombongnya.
Burhan mulai merasa kesal dengan kesombongam Max, ia tak tahu siapa Darma dan dengan sombongnya menawarinya pekerjaan diperusahaannya.
Namun Darman memegang tangan Burhan saat akan mengungkapkan identitas aslinya. Baginya hal itu tak penting jika hanya akan menjadikan seseorang sebagai penjilat.
"Terima kasih atas tawarannya pak, nanti jika saya membutuhkan bantuan akan menghubungi anda," sopan Darma.
"Peganglah ini. Jika kesulitan anda bisa menghubungi saya nantinya," memberikan selembar kartu namanya.
Dan tak lama makanan mereka datang, pelayan dengan sangat hati-hati menyajikan setiap menu diatas meja. Namun salah satu pelayan tanpa sengaja menumpahkan sedikit saus ke baju Darma, membuat semua orang panik jadinya.
"Ah maafkan saya tuan maaf," gugupnya sambil mengambil tisue mencoba membersikan baju Darma.
"Tak masalah," sahut Darma.
"Bagaimana kerjamu, dimana kau letakkan kedua matamu itu!" Bentak kasar Max.
Ia memaki dengan kasar pelayan tersebut hingga membuat banyak orang menatapnya.
Burhan berdiri mencoba menenangkan Max yang terlalu berlebihan saat Darma bersikap biasa saja. Ia menarik paksa Max untuk kembali duduk dikursinya.
"Tuan maafkan saya," takut pelayan tersebut.
"Gak masalah hanya sedikit kok," ramah Darma.
"Tidak bisa seperti itu pak, dia harus mendapat hukuman! Panggil manager kalian kemari."
"Pak Max cukup, " tegur Burhan.
"Tapi-
"Ada yang bisa saya bantu?" datanglah manager dengan tiba-tiba.
"Anak buah anda ini menumpahkan saus kebaju rekan saya. Lihatlah," seru Max menggebu-gebu.
"Saya tidak sengaja pak, " ucap pelayan ketakutan.
"Anak buah saya sudah mengakui kesalahannya, saya sungguh minta maaf untuk keteledorannya."
"Enak saja."
"Saya baik-baik saja dan saya tidak meminta ganti rugi apapun kepadanya. Jadi silahkan kembali bekerja," sopan Darma.
"Terima kasih tuan, kami permisi" pamit semuanya.
"Pak Darman, kenapa anda melepaskan begitu aja."
"Hanya masalah kecil, tidak perlu dibesar-besarkan."
"Anda terlalu bodoh," seru Max saat kembali duduk.
"Baiklah silahkan dimakan," seru Max.
Max bersama Burhan nampak menikmati makan siangnya, namun Darma hanya menyantap ikan beserta udang didepannya.
"Makanlah kerang ini pak, sangat segar juga lezat" tawarnya.
"Pak Darma alergi terhadap kerang pak Max, " sahut Burhan yang sedikit kesal dengan tingkah Max.
"Oh maaf saya tidak tau. Saya sedikit paham, biasanya orang yang alergi itu tidak pernah menyantap jenis makanan mahal tersebut makanya menimbulkan efek alergi," sombongnya.
"Mungkin juga pak, " sahut Darma saat Burhan akan menyahutinya.
Burhan keluar dari restoran merasa begitu kesal dengan kesombongan Max hari ini. Ingin rasanya ia membongkar siapa Darma sebenarnya agar Max tak menyombongkan dirinya lagi."Kenapa kamu menghalangiku.""Ya karena aku tau apa yang mau kamu ucapkan.""Bagus dong, biar dia sadar siapa dia sekarang ini.""Terus kalau dia sudah tau, maka aku hanya akan menambah satu jenis anjing penjilat lainnya."Burhan hanya diam mencerna ucapan Darman. Baginya ada benarnya juga ucapan kawannya itu, sebab disekitar Darma memang sudah banyak penjilat yang berkeliaran."Balik kekantor apa nggak?" tanya Darma."Balik lah.""Yaudah ayo .""Iye bos."Burhan adalah teman sekaligus CEO diperusahaan miliknya, mereka dekat semenjak dibangku kuliah. Saling mengenal satu sama lain membuat pertemanan keduanya makin akrab hingga Darma mempercayakan satu perusahaan miliknya.Sesampainya diperusahaan, Darma bergegas pergi setelah
Duduk berdua didalam kamar, Sabrina berhadapan langsung dengan mata Sasa yang terus menatap tajam dirinya. Glekk, Sabrina dengan susah payah menelan salivanya, entah darimana ia akan menjelaskan permasalahan tentang adik untuk bocah kecil didepannya itu. "Ayo mah buat adek," seru Sasa tak sabar. "Sayang, buat adek itu gak gampang loh." "Susah ya mah. Apa perlu pakai tepung?" polosnya berbicara, mengundang tawa Sabrina yang tertahan. "Ehm, iya pakai tepung tapi kan kita belum beli tepungnya kan?" jawabnya. "Gitu ya ma, nanti kita beli tepung ya mama. Sasa udah gak sabar mau bikin adek," ajaknya penuh semangat, membuat Sabrina pusing untuk menjelaskan. "Bukan cuma butuh tepung aja sayang, tapi juga butuh telur." "Kan nanti kita beli telur sekalian aja ma." "Gak bisa, telurnya ini spesial. Cuma papanya Sasa aja yang punya," Sabrina segera menutup mulutnya saat tak sengaja berbicara hal aneh dide
Pagi harinya Darma terbangun lebih dulu, ia keluar dari kamar hendak melangkah menuju dapur. Namun tanpa sengaja ia berpapasan dengan pelayan yang sedang membersihkan rumahnya. "Permisi tuan," panggil pelayannya. "Iya, ada apa," menghentikan langkahnya tepat didepan pelayan tersebut. "Maaf tuan, tadi saat saya bersih-bersih nggak sengaja menemukan amplop ini didepan ruangan kerja tuan," memberikan sebuah amplop berwarna coklat yang tadi ia temukan. "Terima kasih ya bik," ucap tulus Darma kepada pelayannya. Namun setelah itu ia mengurungkan niatnya untuk pergi ke dapur dan segera menuju ruang kerjanya. Duduk dikursi kerja, Darma terus membolak-balik amplop coklat yang ada ditangannya. "Kampus pelangi," gumamnya saat melihat ada logo sebuah kampus yang tertera disudut amplop. Darma membuka laptopnya dan mencari tahu tetang kampus pelangi. "Ternyata kampus terbaik juga di kota ini, kenapa ak
Duduk termenung seorang diri didalam ruangannya, Darma terus saja memikirkan tentang siapa sebenarnya Sabrina.Setelah membuka amplop tadi pagi, Darma meminta anak buahnya untuk menyelidiki semua hal yang berkaitan tentang Sabrina.Tok.. tok.."Masuk," seru Darma mempersilahkan."Maaf pak, ada beberapa laki-laki datang mencari bapak," seru sekretaris Darma saat melapor."Bawa mereka masuk.""Baik."Tiga laki-laki bertubuh tinggi dengan jaket hitam masuk kedalam ruangan, berdiri tegap dihadapan Darma dengan raut wajah tak terbacanya."Kalian dapatkan," tanya Darma menatap ketiganya."Ini hasil yang kami dapatkan tuan," menyerahkan amplop coklat yang berada dibalik jaket hitamnya.Dibukanya perlahan amplop tersebut, entah kenapa jantung Darma rasanya berdetak lebih cepat tak seperti biasanya.Rasanya ada sedikit ragu saat Darma akan menarik kertas didalam amplop, ada suatu kecemasan yang tak dapat
Wanita itu hanya diam memperhatikan interaksi kedua orang didepannya. Tersenyum sinis saat ia melihat senyum Sasa begitu ceria saat mulai bercerita. Namun sedetik kemudian ia begitu murka saat cucunya mengatakan hal diluar dugaannya. "Heem, juga aku seneng banget karena ditemenin terus sama mama aku." Sasa begitu ceria serta lugas saat mengatakannya, membuat hatinya panas hingga lepas kontrol. "Mama kamu sudah mati!" Semua orang menatapnya, Sabrian menatap penuh tanya siapa wanita yang baru saja berteriak tersebut. "Siapa dia, udah tua sih tapi masih oke wajahnya," batinnya memperhatikan wanita disebelahnya tersebut. "Oma aku takut," cicit Sasa yang bersembunyi dibelakang tubuh Bulan. "Gpp sayang, nggak usah takut ya." Sasa mencengkeram kuat lengan Bulan, tubuhnya bergetar hingga mengeluarkan keringat dingin dari tubuhnya. "Sayang kesini yuk," panggil Sabrina. "Mama," teriaknya
Bandara begitu riuh ramai, banyak orang berlalu lalang keluar masuk. Namun dari kejauhan seorang laki-laki nampak keluar dari bandara dengan begitu gagahnya. Tubuhnya yang tegab berbalut pakaian kerja, jas tersampir dilengan dengan satu tangan menarik koper. Begitu indah dipandang mata setiap wanita, namun wajahnya yang dingin membuat siapapun bergidik ngeri saat ditatapnya. "Selamat pagi tuan, selamat datang kembali ke indonesia." "Apa kabar kamu," tanyanya. "Tentu baik-baik saja, sesuai dengan yang tuan lihat." Laki-laki itu mengambil alih koper dan memasukkan kedalam bagasi mobilnya. Namun sebelum itu, ia lebih dulu membukakan pintu mobil untuk tuannya. "Kita pulang atau ke perusahaan tuan." "Perusahaan. Saya ingin memberi kejutan untuk papa saya," senyumnya sekilas. Dalam perjalanan ia hanya memandang keluar jendela, mengagumi kota yang sudah lama ia tinggalkan. "Bagaimana tentang informasi yang saya m
Tubuh gadis itu meringkuk disudut ruangan, memeluk lututnya hingga tubuhnya bergetar. Sasa menangis tanpa suara, Lastri hanya diam menatap cucunya dari sofa tempatnya duduk. "Mama," lirih Sasa memanggil Sabrina. "Sasa! Dia bukan mama kamu, " bentak Lastri menakuti Sasa. Didalam mobil Sabrina begitu nampak gelisah, bukan karena rasa takut melainkan ia mengkhawatirkan keadaan Sasa dirumah sendirian. "Tolong lepaskan saya, anak saya dirumah sendirian." "Tutup mulutmu, dia bukan anakmu!" "Terserah kalian bilang apa, tapi tolong lepaskan saya." "Tenang aja," santai mereka semua menikmati jalanan. Mobil itu terus melaju, menembus hamparan rumput disekitar jalan. Pemandangan yang cukup indah namun tak dapat Sabrina nikmati. "Lempar dia keluar," seru salah seorang laki-laki. Mobil masih melaju, namun laki-laki itu membuka pintu penumpang. Dengan teganya ia mendorong keluar tubuh Sabrina dari dalam mobil.
Antonio berjalan mendekati keduanya, semakin mendekat mengikir jarak antara mereka."Sayang, kamu mundur yang jauh ya nak." Antonio yang berusaha menahan amarahnya bersiap mendobrak pintu kamar mandi.Brakk.."Mamaa." Gadia kecil itu berlari ketakutan mencari mamanya.Memeluk erat tubuh Sabrina membuat Sasa sedikit merasa tenang."Bibi, tolong bawa anak saya ke kamarnya,"Nio menarik perlahan lengan Sabrina yang tengah terdiam memandangi kepergian anaknya. Dirangkulnya bahu Sabrina dengan begitu mesra dihadapan Lastri."Apa-apaan ini!" Amuk Lastri yang tak terima dengan sikap Antonio."Saya hanya memeluk istri saya," santai Nio mengejutkan semua orang, termasuk Sabrina yang saat ini direngkuhnya."Keterlaluan kamu. Semudah itu kamu melupakan anak mama Nio," tak terima posisi anaknya tergantikan membuat Lastri begitu murka.Selama ini ia masih menganggap Antonio sebagai menantunya, laki-laki yang