“Andrew, anakku.”
Manto yang duduk di kursi roda membuka tangannya lebar-lebar. Mengharap Andrew yang baru saja keluar dari elevator menghampirinya. Memeluknya.
“Aku bukan anakmu.” Andrew tegas. Tidak peduli mau pria itua itu menangis.
“Kamu anakku, Andrew. Darah yang mengalir di tubuh kamu berasal dari aku. Hasil tes DNA juga menunjukan hal yang sama,” imbuh Manto.
“Whatever! Yang jelas sampai kapanpun aku tidak akan menganggap kamu sebagai ayah. Ayahku sudah lama meninggal.”
Ruang tamu mendadak senyap, meskipun ada banyak orang di sana. Hanya terdengar suara Manto yang terisak penuh penyesalan. Sedangkan, Ann tidak bisa berbuat banyak. Dia tahu kalau hati anaknya begitu keras. Terlebih untuk pertama kalinya, dia bersua dengan Manto.
“Ayah sangat jahat sama kamu. Darah daging ayah sendiri. Ayah menyesal. Ayah ingin memperbaiki semuanya, Andrew.”
“Penyesalan memang selalu datang di akhir. Setelah bertahun-tahun kamu menghilang
Selesai juga cerita Alya dan Andrew. buat readers yang sudah mengikuti terima kasih banyak ya. Untuk kisah selanjutnya akan hadir kisah Catty alias Fatimah. bagaimana setelah dia dipenjara selama sepuluh tahun, akhirnya dia kembali ke desanya. tetapi dia menjadi bahan cemoohan orang-orang di kampungnya. Namun Catty terus berjuang untuk menjadi pribadi yang lebih baik. sampai akhirnya dia menemukan pejantan sejati. penasaran? boleh ikuti cerita selanjutnya ya. thanks
“Mas, udah enggak tahan nih. Ke sini dong” ucap Fatimah di ujung telepon. Dia menggigit bibir mendengar suara bass yang begitu seksi di seberang sana.Telfon ditutup, dia langsung ke kamar mandi. Mencuci apa yang seharusnya dicuci. Memastikan seluruh tubuhnya wangi dan siap untuk disantap oleh lelaki pujaan.Dia menunggu dengan resah di dapur. Pandangannya tertuju ke arah pintu. Rasa yang tidak sabar membuat adrenalinnya terpacu. Sungguh tidak karuan dibuatnya.Matanya berbinar saat mendengar suara ketukan lirih dari pintu belakang. Tanpa menunggu lama, dia langsung menghampirinya dan membukanya. Terlihat Pria bertubuh padat dengan tonjolan berotot sana sini terlihat senyum ke arahnya. Hanya menggunakan singet loreng dengan celana pendak. Fatimah dibuat salah tingkah saat kumis tebalnya bergerak naik turun genit.“Suami kamu udah berangkat kerja?” tanyanya.
“Ibu sama siapa tadi?” tanya Fauzan dengan penuh selidik. Fatimah tidak segera menjawab. Nafasnya terengah-engah menikmati klimaks barusan.“T-tidak ada siapa-siapa kok Zan, Ibu tadi sendirian,” dusta Sang Ibu. Fauzan menatap ibunya lamat-lamat dan berjalan ke area dapur bahkan sampai membuka isi kamar mandi. Dia sangat yakin kalau ada orang lain di sekitar sana.“Kamu sedang cari apa, Zan?” hardik Fatimah dengan suara meninggi. Jantungnya berdebar kalau sampai anak itu memergoki Siswanto, selingkuhannya.“Tadi aku lihat ada orang lain di sini. Dia tadi ada di belakang ibu,” cetus Fauzan yang membuat Fatimah membelalakan mata. Ternyata anaknya tadi sempat melihat dirinya beradu dengan seorang Pria, Tapi sepertinya dia tidak menyadari kalau pria yang dimaksud adalah Siswanto tetangganya sendiri.“Mungkin kamu salah lihat, Zan. Dari tadi ibu sendiri
“Sekarang kamu sudah berani menyerang Mas ya,” ucap Siswanto yang menjeda serangan itu. Nafas mereka saling memburu.“Mas yang mulai dulu, masa aku diam saja.”“Bagus. Sering-seringlah seperti ini, supaya Mas semakin nafsu menyerang kamu, Fatimah yang liar.”Fatimah tidak menjawab. Dia menyerahkan bibirnya. Tanpa membuang waktu, Siswanto menyFatimahnya. Sungguh pagi itu rasanya luar biasa, di mana mereka bisa bersenggama karena saling suka. Berbeda dengan beberapa waktu yang lalu, Fatimah yang terpaksa melakukannya. Namun sekarang, dia terbawa oleh arus hasrat yang di bawa oleh Siswanto.Dengan bibir yang masih menyatu, Siswanto mengganti posisi dengan menindih. Sedangkan Fatimah yang tergencet oleh tubuh tambun hanya bisa pasrah. Terlebih saat sesuatu di bawah sana yang melesak.Semakin buas pertautan mereka, semakin cepat Siswanto memompa. Teriakan Fatimah hanya tertahan di ten
“Ayolah, Sayang. Sebentar saja. Setelah ini, Mas berangkat kerja lagi.”Fatimah tidak bisa berkutik tatkala sang suami mendorong pintu. Dia sudah berusaha sekuat mungkin untuk mengalihkan perhatian sang suami, tetapi semua serasa percuma. Dia membuang pandangannya tidak sanggup melihat apa yang akan terjadi.“Kok malah disitu? Ayo masuk?” Handoko yang sudah berada di dalam kamar. Menarik tangannya. Fatimah terlempar ke dalam dan melongo saat melihat ranjang yang sudah rapi kembali.Handoko langsung mendekapnya. Melakukan pemanasan ala kadarnya yang sama sekali tidak menggairahkan. Fatimah hanya memejamkan pasrah saat Handoko melepas dasternya dan membimbingnya untuk telentang di atas ranjang.Lima menit berlalu, Handoko sudah ambruk di atas dirinya. Fatimah bisa merasakan tubuh bagian depan sang suami bergerak naik turun. Sama seperti yang sebelum-sebelumnya, Handoko hanya mampu bermain singkat.Setelah cukup ber
Rizal menindih Fatimah. Gadis polos itu terdiam, namun reaksi tubuhnya menggeliat liar seiring dengan gigitan kecil yang menyeluruh. Fatimah tahu kalau tubuhnya yang Rizal mau. Asalkan Rizal mau mengurungkan niatnya untuk putus, Fatimah rela diperlakukan seperti itu. Cintanya kepada Rizal yang membutakannya.“Cantik dan indah.” Gumaman Rizal yang tertangkap jelas oleh pendengaran Fatimah. Pujian yang tentu membuatnya bangga. Apalagi terlontar dari orang yang dia kagumi.Sejurus kemudian, Rizal berada tepat di atasnya. Dengan kedua tangan kekar yang tertumpu di samping Fatimah sehingga membuat dada mereka berjarak.Tatapan Rizal mampu menghanyutkan Fatimah. Mata gadis itu sampai terpejam karena tersipu. Namun, semakin lama terpejam, Fatimah merasakan seperti dihentak. Rasa perih seiring dengan sesuatu yang besar masuk begitu saja.Pukulan kecil yang tidak seberapa melayang ke pundak kekar Rizal yang justru membuat pria beralis tebal itu semakin
Pria tua itu mengulurkan tangannya. Mengusap pipi Fatimah yang basah. Batin Fatimah menolak keras, namun tubuhnya seakan menikmati perhatian dari Siswanto. Terlebih tatapan matanya yang mampu membuatnya tenggelam akan syahwat yang begitu dalam.“Kenapa menangis? Pasti karena apem yang gosong ya?” tebaknya. Apa-apaan ini, baru saja Fatimah merutuki hubungan terlarang dengan Siswanto, kini seolah dia dibuat tidak berdaya oleh senyuman yang sangat menawan.“Tidak usah bersedih, sampai kapanpun Apemmu adalah yang paling terbaik, bahkan melebihi dari semua perawan yang ada di desa ini.” Fatimah sedikit bingung dengan maksud perkataan Siswanto sampai dia tersentak saat tangan liar menyusup begitu saja.“Benar kan yang aku bilang, baru disentuh sedikit saja sudah basah kuyub seperti ini. hehe,” kelakarnya. Fatimah hanya memegang kedua pundak kokoh itu dengan pasrah. Sekuat apapu
“Bagaimana?” Fatimah terjingkat saat mendengar suara barinton dari belakang.“Mas Rizal!” pekiknya tertahan karena tangan kekar itu buru-buru membekap mulutnya.“Jangan keras-keras, Ayo masuk,” bisik Rizal lembut. Perasaan yang tidak terkendali yang membuat Fatimah hanya mengangguk dan mengikuti langkah Rizal masuk ke dalam rumah kosong itu.Fatimah salah tingkah. Mana mungkin dia bisa bersikap normal jika dihadapkan dengan Rizal, terlebih Fatimah sempat merasakan badan yang tercetak kokoh menempel dipunggungnya. Darahnya mengalir dengan cepat. Fantasinya kemana-mana.Fatimah dituntun untuk duduk di sofa. Sementara, Rizal menempatkan diri di seberangnya. Sosok gagah itu membungkukkan badannnya hingga condong ke arah Fatimah. Wajah merah tersipu tak mampu Fatimah sembunyikan.“Bagaimana? Kamu mau jadi pacarku?” tanyanya. Fatimah yang
“Sudah berapa kali kamu melakukannya dengan Siswanto?” cecar Dewi sambil menahan sesak di dada.“Hanya sekali, Bu.”“Bohong! Jawab yang jujur!” pekik Dewi histeris. Suara ibunya cukup melengking. Akan sangat berbahaya kalau sampai didengar oleh tetangga. Fatimah tidak punya pilihan lain selain mengatakannya sejujurnya.“Hampir setiap pagi, Bu, kalau rumah sepi.”Dewi menggeleng tidak percaya. Iblis apa yang merasuki anaknya sampai berani melakukan percintaan terlarang seperti itu.“Maafkan aku, Bu. Aku khilaf,” elak Fatimah. Bagaimana bisa dikatakan khilaf kalau dia sendiri menikmati setiap kedatangan Siswanto di rumahnya. Meski ada sesal, namun libido lebih mendominasi.“Saya bingung mau bicara apa, Fatimah. Yang jelas ibu sangat kecewa denganmu. Terlebih jika suaminya tahu…” kata-kata Dewi terjeda saat tubuhnya dihantam pelukan.“Fatimah mohon