Tap, tap, tap.
Suasana sangat sunyi. Hanya terdengar derapan langkah tiga pasang kaki yang beradu dengan lantai di seluruh lorong itu. Dari kejauhan, aku bisa melihat para pelayan yang melirik ke arahku.
Aku menghela napas berat untuk melepas rasa frustrasiku. “Hahhh … apa ini? Sekarang tiba-tiba keadaan berbalik? Dari seorang pahlawan yang berhasil mengatasi banjir dan terjun langsung dalam membasmi monster sehingga diberi gelar baru menjadi seseorang yang menjadi pelampiasan amarah Raja dan dikawal oleh kedua kesatria menuju tempat tahanan?” batinku.
Selama aku berjalan, aku bisa merasakan tatapan menusuk dari kedau kesatria yang sedang membawaku sekarang ini.
“Kalian bisa bertanya kepadaku kalau kalian penasaran,” ucapku kepada mereka karena tidak tahan lagi dengan sikap mereka yang menunjukkan rasa penasaran dengan sangat jelas seperti itu.
Kesatria yang di sebelah kananku akhirnya memutuskan untuk m
Kami masih berada di depan pintu kamarku. Jadi, Ivan bertanya, “Apakah kita akan membicarakannya di sini, Lady?” tanya Ivan. “Ya, benar,” balasku. Ivan tampak khawatir kalau ada orang yang mendengarkan pembicaraan kami, karena ia berkali-kali memperhatikannya sekitarnya. “Jangan khawatir, Ivan. Ini adalah tempat yang terbaik. Coba pikirkan, jika kita berbicara berdua di dalam kamar ini, padahal aku seperti seorang tahanan sekarang. Apa yang akan dipikirkan orang-orang jika para pelayan melihatnya? Jadi, lebih baik menunggu di sini, ‘kan? Kita hanya perlu mengecilkan suara kita,” ucapku. “Baiklah, Lady,” jawab Ivan. “Dimulai dari kamu dulu. Apa yang sebenarnya ingin kamu tanyakan?” tanyaku kepada Ivan. “Saya bingung, Lady. Kenapa Yang Mulia toba-tiba ingin mengurung Lady di sini? Padahal, yang aku dengar, Raja Edgar sangat puas dengan hasil kerja Lady dalam mengatasi masalah banjir,” ucap Ivan. Aku sudah menduga kalau Ivan a
Beberapa waktu berlalu, tetapi Raja Edgar tidak ada orang lain yang datang ke kamar Lissa, kecuali para pelayan yang mengantarkan makanan. Ada juga para pelayan yang datang untuk membantuku mandi.Namun, jelas saja aku langsung menolak mereka.Lebih tepatnya, ini sudah hari ketiga aku dikurung, namun aku hanya berdiam diri di kamar tanpa melakukan apa pun. “Bukankah aku adalah sekretaris Raja dan seorang Marchioness? Kenapa aku malah diperlakukan seperti tahanan seperti ini?’ gerutuku.Aku berulang kali menatak ke luar jendela karena keinginanku untuk melarikan diri semakin hari semakin kuat. Akan tetapi, karena belum ada pemberitahuan apa pun, aku takut kalau Raja Edgar juga menyediakan para penjaga atau mata-mata di suatu tempat untuk mencegahku melarikan diri.Aku tidak boleh ketahuan satu kali pun sewaktu keluar dari kamar ini, agar aku bis menjalankan rencanaku. Jika tidak, satu-satunya akses yang bisa aku gunakan untuk keluar, yaitu je
“Tidak apa-apa. Aku hanya berjalan di sekitar sini karena tidak ada kerjaan,” balas Ivan.Aku sedikit menyalahkan Ivan karena alasannya sangat tidak masuk akal. “Bagaimana mungkin seseorang bisa mempercayai kalau ada seseorang yang mendekat ke tempat seorang tawanan secara tidak sadar,” batinku. Akan tetapi, hati nuraniku juga sebagian menyalahkan diriku karena sudah membuat Ivan berada di situasi sulit seperti ini.“Benarkah? Kamu berjalan di sekitar sini tanpa alasan?” balas rekan Ivan itu.Setelah rekan Ivan itu mengajukan pertanyaan, tidak ada suara lagi yang terdengar selama beberapa saat.Deg, deg, deg.Jantungku kembali berdegup keras. “Apa ini? Apa yang terjadi? Apakah Ivan sudah ketahuan? Kenapa tidak ada suara lagi yang terdengar?” batiku gusar. Tanpa sadar, kakiku juga aku hentak-hentakkan pelan ke lantai kamarku.Karena rasa penasaran mulai menguasai diriku, kakiku bergerak da
Kemudian, ia melanjutkan, “Dilihat dari bagaimana kamu menghancurkan gaun-gaunmu, sepertinya bukan pelayan yang salah. Apakah kamu sedang stres?”Aku menekan barisan gigi atas dengan gigi bawahku karena sedang menahan diri agar tidak terpancing emosi. Hampir saja aku tadi mengerutkan alisku begitu mendengar ucapan Raja Edgar. “Apa? Stres katanya? Tidak, aku bukan stres, tapi benar-benar sudah gila karena sikap Yang Mulia yang tidak masuk akal itu!” bentakku dalam hati.Walau batinku menggila, aku merasa diriku cukup hebat karena aku masih memejamkan mata dan memperlihatkan wajah damai dalam tidurku yang pura-pura. Aku juga merasa takjub dengan diriku sendiri karena bisa memberikan sapaan hormat kepada Raja Edgar dengan menyebutnya Yang Mulia, walau aku sudah dalam keadaan emosi. Ini semua salah hati nurani dan mentalku yang bukanlah jiwa pemberontak.“Sepertinya benar kalau kamu aku harus menuruti kemauanmu. Akan tetap
BAB 62Akhirnya KeluarMengetahui hal itu, aku merasa bahwa upayaku untuk keluar diam-diam harus aku lakukan dengan sebaik mungkin agar tidak ketahuan dan dicurigai oleh Raja Edgar.“Raja Edgar sepertinya tidak ingin kehilanganku. Hah! Seandainya saja Anda mengingat bagaimana sikap Anda di saat kita pertama kali bertemu. Leherku hampir saja hilang karena Anda menghunuskan pedang Anda karena menganggapku orang yang tidak berguna. Sekarang, Anda malah menghalangiku kembali dengan cara yang kotor. Ini namanya penyekapan dan penyalahgunaan kekuasaan. Itu adalah pelanggaran hukum yang sangat berat, Yang Mulia,” ucapku sambil menggosok-gosok tubuhku untuk melampiaskan amarahku.“Tunggu!” perintahku kepada diriku sendiri. Seakan-akan tubuhku merespons perintah dari diriku, tanganku berhenti bergerak.“Jika Yang Mulia sangat membutuhkan orang ynag terampil sepertiku, aku tinggal melatih orang lain saja agar bisa menjadi sepertik
BAB 63Tugas Pertama Sebagai Sekretaris RajaAku jadi tersadar bahwa aku belum memberikan salam sama sekali Dengan gugup, aku langsung memberikan salam kepada Raja Edgar.“Marchioness Anette datang menghadap Yang Mulia Raja,” ucapku sambil menundukkan kepala dan membungkuk sebagai tanda hormat.“Lain kali kamu tidak perlu memberikan salam yang merepotkan seperti itu, karena kita akan sering bertemu. Waktu akan habis hanya dengan kamu memberi salam. Mendekatlah,” ucap Raja Edgar.“Baik, Yang Mulia,” balasku. Aku pun kemudian berjalan mendekat untuk mengikuti perintahnya.Jarak dari tempatku berdiri ke tempat Raja Edgar sangat dekat. Namun, rasanya jarak itu sangat jauh. Setiap aku ingin melangkah, rasanya kakiku sangat berat, dan aku seperti berjalan di atas es yang dingin namun tipis. Aku seakan-akan bisa saja jatuh kapan saja jika es itu retak dan membuatku jatuh ke air yang dingin.Seakan-akan menya
Aku kembali memperhatikan posisi tempatku duduk. Aku sengaja memilih tempat duduk yang sedikit jauh dari Raja Edgar. Aku mengosongkan setidaknya tiga bangku dari posisi Raja. Karena, jika diurutkan, di sebelah Raja yang seharusnya duduk adalah Istrinya, atau seorang Ratu. Jika ia memiliki selir, maka istrinya duduk di sebelah kanan adalah Ratu, dan yang di sebelah kiri adalah selirnya. Kemudian, dua kursi di sebelah istri dan selir masing-masing adalah anak-anak mereka.Jelas saja, walau posisi Ratu atau selir Raja Edgar masih kosong, termasuk posisi anak-anaknya, aku tidak boleh lancing mengambil tempat mereka atau duduk terlalu dekat dengan Raja. “Jadi, apakah aku salah?” batinku lagi.“Kamu ingin aku duduk dan memandangmu jauh begitu, serta menaikkan volume bicaraku hanya untuk berbicara denganmu?” tanya Raja Edgar.Aku melihat Raja Edgar dengan tatapan seperti orang bodoh karena menyadari bahwa Raja Edgar ingin agar aku duduk lebih de
Raja Edgar melirikku sebentar sebelum memberikan perintah kepada Ivan. “Biarkan ia masuk.” Begitu pintu itu terbuka, aku bisa melihat ekspresi terkejut Rissa yang kemudian berubah menjadi ekspresi kesal ketika melihatku. Namun, setelah itu ia segera memberikan hormat kepada Raja Edgar, “Saintess Rissa menghadap Yang Mulia.” Aku memperhatikan sikap anggun Rissa dengan tubuhnya yang dibalut pakaian putih yang mewah. Pakaian putih itu bahkan membuat rambut pirangnya tampak lebih indah. “Rissa benar-benar sudah dewasa,” batinku. Rissa yang di depanku ini benar-benar terasa seperti orang asing, karena ia telah memiliki kekuatan, dan beradaptasi di lingkungannya dengan kekuatan dirinya sendiri. Aku bahkan seperti tidak mengenal dunianya sama sekali. Jadi, hal itu membuatku bisa bersikap tegas. Mulai sekarang, aku tidak ingin melibatkan diriku dengan Rissa lagi. Aku pun kembali menundukkan kepalaku dan melanjutkan untuk mengerjakan tugas pert