Share

10. KEMBALI KE TANAH AIR

Sesampainya di Flat milik Reyhan, Reyhan langsung menyuruh Luwi untuk segera berkemas.

Rencananya Reyhan akan langsung membawa Luwi dan Gibran pulang ke Indonesia malam ini juga.

Mereka tidak mau ambil resiko lebih jauh lagi. Sebelum Max berhasil menemukan mereka, mereka harus bertindak cepat.

Jadilah Luwi menuruti perintah sang Kakak. Mereka berkemas-kemas malam itu.

"Bangunkan Gibran. Biar aku saja yang bereskan pakaianmu, kamu siapkan keperluan Gibran." ucap Reyhan pada Luwi.

Saat sedang mengemas pakaian Gibran, Luwi sempat berpikir sesuatu dan dia langsung menghentikan aktifitasnya sejenak.

"Tapi, Kak, akukan tidak memiliki KTP, paspor dan Visa, bagaimana aku bisa kembali le Indonesia tanpa itu semua? Sedang aku bisa melamar pekerjaan itupun karena memakai jasa orang dalam. Semua surat-surat berhargaku hilang semua,"

"Tenang saja. Masalah itu aku sudah urus sejak jauh-jauh hari. Kamu tidak perlu khawatir." jawab Reyhan tenang. Dia tersenyum pada adiknya.

Luwi membalas senyum itu. Ternyata dia tidak hanya memiliki seorang kakak yang tampan, tapi dia juga sangat pintar. Luwi merasa bangga sekali pada Reyhan.

"Gibran, ayo bangun."

Luwi sudah selesai mengemas barang-barang Gibran. Dia menarik tangan anaknya agar cepat-cepat duduk dan langsung memakaikan jaket tebal.

Gibran kebingungan. Matanya yang masih sayup itu menatap Luwi. "Kenapa Mama pakaikan aku jaket? Memang kita mau kemana?"

"Kita mau pulang," jawab Luwi, ada segelintir perasaan bahagia yang tersemat di dalam hatinya. Sebab hal inilah yang dia tunggu-tunggu selama ini.

Sebenarnya kalau sang Ayah tidak melarang, Luwi sudah sejak dulu ingin kembali ke Indonesia. Bahkan sejak Gibran baru berusia enam bulan, Luwi sudah merengek pada sang Ayah supaya menjemputnya untuk membawanya pulang ke Indonesia. Luwi tidak betah tinggal sendirian di negara asing, di negeri antah berantah ini, sendirian. Dia merasa sangat kesepian. Meski dia tidak menampik satu hal, bahwa dimanapun keberadaannya baik di London ataupun di Indonesia, dia kerap merasakan kesepian. Hal itu terjadi sejak Luwi ditinggal pergi sang Mama tercinta saat usianya baru menginjak lima tahun.

Luwi kecil seringkali mengeluh di dalam istana besar sang Ayah. Dia hidup hanya ditemani oleh beberapa pekerja rumah tangga di istana itu. Ayahnya bahkan hampir setiap hari tidak ada dirumah. Meski Luwi seringkali menghabiskan waktunya di luar jika weekend dan hang out bersama teman-teman satu genk nya setelah beranjak dewasa, tapi tetap saja hal itu tidak menghapus perasaan sepi yang kian menderanya jika sudah kembali berada di rumah.

Dan sepi itu hilang saat dia mulai mengenal kata, Cinta. Untuk yang pertama kalinya.

"Sudah beres Luwi? Kamu sedang menulis apa?" tanya Reyhan saat dihampirinya Luwi di meja ruang tamu.

"Surat untuk Jodie. Kita tidak sempat mampir ke flat jodiekan? Jadi aku berniat untuk menitipkan surat ini kepada pemilik flat ini. Kebetulan, nomor telepon Jodie baru saja ganti dan aku tidak tahu nomor telepon barunya. Bagaimanapun, dia itu satu-satunya sahabatku yang sudah banyak sekali menolongku selama ini, Kak."

Luwi memandang Reyhan, dia takut ekspresi sang Kakak berubah marah setelah dia kembali mendengar nama Jodie di sebut. Sejak insiden beberapa hari yang lalu, ketika Reyhan tanpa sengaja memergoki Jodie yang hendak melakukan hubungan sex di ruang tamu flatnya, Reyhan benar-benar ilfeel pada wanita itu hingga dia memaksa Luwi dan Gibran untuk pindah ke flatnya.

"Ya, aku tahu, kelakuan Jodie memang kurang baik, bahkan aku juga sudah sering menasehatinya, tapi dia tetap saja mengulanginya lagi dan lagi. Tapi diluar kehidupan pribadinya itu, sebenarnya dia itu wanita yang baik, Kak." Luwi masih berusaha meyakinkan Reyhan.

Dan satu senyuman Reyhan membuatnya mengerti.

"Kalau begitu, biar aku yang memberikan surat itu, sekalian memulangkan kunci flat ini kepada Mrs Kelly."

Luwi tersenyum sumringah. Dia memberikan surat itu pada sang Kakak.

Malam itu setelah berpamitan pada Mrs Kelly selaku pemilik flat yang di sewa oleh Reyhan, mereka langsung pergi menuju bandara.

Untuk kembali pulang, ke tanah air tercinta.

Indonesia.

*****

Reyhan, Luwi dan Gibran baru saja selesai check in di Bandara.

Kini mereka mulai memasuki boarding room untuk menunggu pesawat dan mengetahui status kedatangan pesawat yang akan mereka tumpangi.

Reyhan baru saja menaruh Gibran di kursi tunggu. Setelah dia menggendong bocah itu sejak mereka turun dari taksi tadi. Anak ini kelihatannya saja kurus, tapi setelah digendong ternyata berat juga. Keluh Reyhan dalam hati.

Tubuh kurus Gibran dia telentangkan di sepanjang kursi panjang itu, kepala Gibran di taruhnya di atas pangkuan Luwi. Bocah itu terus tertidur di sepanjang perjalanan menuju Bandara tadi.

Reyhan mengambil beberapa barang di dalam tas selempang kecilnya, satu buah betadine dan plester luka serta tissue. Dia memberikannya pada Luwi.

"Bersihkan dulu lukamu. Lalu pakai ini."

Luwipun menerima barang-barang itu seraya mengucapkan terima kasih.

Gibran terbangun saat Luwi sedang sibuk mengobati luka-lukanya.

Sementara Reyhan terlihat sibuk memperhatikan informasi rute pesawat dan nomor penerbangan yang akan diumumkan petugas kepada mereka.

"Mama kenapa?" tanya Gibran yang langsung bangkit dari pangkuan Luwi. Dia terlihat khawatir. Dan mencoba mengucek matanya dengan ke dua tangan. Mencoba memastikan kembali apakah penglihatannya itu benar atau tidak. Kenapa wajah mamanya biru-biru begitu?

"Mama tidak apa-apa kok. Kamu kenapa bangun? Sudah tidur lagi,"

"Itu jidat Mama berdarah,"

"Cuma luka kecil, Mamakan kuat, wonderwomen, jadi luka segini sih, tidak terasa," Luwi tersenyum pada Gibran, mencoba meyakinkan anaknya bahwa dia baik-baik saja. Meski kenyataannya justru mengatakan hal yang sebaliknya.

"Sini Gibran bantu tempelkan plesternya, mama tahan ya, pasti sakit,"

"Kalau Gibran yang tempelkan pasti tidak akan sakit. Gibrankan anak yang pintar,"

Gibran menempelkan plester luka itu di kening Luwi, di bagian atas alis kiri Ibunya. Luwipun memejamkan matanya. Sentuhan Gibran membuat hatinya tenang.

Reyhan hanya bisa menatap penuh haru pada ke dua manusia yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Gibran persis dirinya dahulu, yang begitu sayang dan penuh perhatian pada Ibunya. Reyhan menyeka air matanya yang hampir menetes, saat seorang petugas tiba-tiba menepuk bahunya dari belakang.

Petugas itu menginstruksikan kepada Reyhan agar bersiap-siap untuk memasuki pesawat.

Reyhan langsung menghampiri Luwi dan Gibran sambil tangannya sibuk mengubek-ubek isi tas kecilnya. Seperti mencari sesuatu.

"Gibran, terakhir kamukan yang memainkan kalung arloji liontin milik om? Kok tidak ada sih di tas om?" tanya Reyhan sambil terus mencari.

Gibran tidak langsung menjawab, sepertinya dia sedang mencoba untuk mengingat-ingat sesuatu.

"Itu kalung yang di dalamnya ada foto tante cantik bukan?" tanya Gibran ingin memperjelas.

Reyhan jadi salah tingkah. Luwi meliriknya sambil tersenyum meledek.

"Tante Cantik? Siapa?" ucap Luwi, jahil.

Reyhan melengos. "Bukan siapa-siapa. Dimana Gibran? Coba ingat-ingat?"

"Sepertinya tertinggal di kotak mainan Gibran di flat tante Jodie. Maaf ya om..." Gibran menunduk. Sepertinya dia sangat menyesal.

"Kan om sudah bilang kalau selesai main, langsung taruh lagi di tas om, jadi nggak hilang,"

"Gibran, lain kali kalau pinjam apa-apa harus langsung dikembalikan ya?" Luwi terdengar menasehati.

"Iya, Gibran minta maaf, Ma." sepertinya anak itu akan menangis. Reyhan jadi merasa bersalah.

"Sudah jangan menangis. Jagoan itu tidak boleh cengeng! Om juga minta maaf ya?" Reyhan terlihat mengelus kepala Gibran dengan sayang. Dia tersenyum.

Gibran mengangguk dan membalas senyum Reyhan. "Kata Om, tante cantik tinggal di Indonesia, kitakan mau ke indonesia sekarang, om bisa pinta fotonya lagikan? Apa perlu Gibran yang bantu untuk memintanya?"

Reyhan terkekeh. Dia jadi garuk-garuk kepala.

Tatapan Luwi jadi semakin menyelidik. Luwi tersenyum-senyum geli.

"Pokoknya nanti kalau sudah sampai indonesia, Mama dan Gibran harus langsung dikenalkan dengan tante cantiknya om Reyhan, iyakan Gibran?" ucap Luwi pada Gibran yang disambut tawa oleh bocah itu.

"Sudahlah tak usah dibahas. Kita masuk pesawat sekarang," ucap Reyhan kemudian.

Huft... Seandainya saja semuanya semudah yang kalian pikirkan.

Pikir Reyhan dalam hati.

Malam itu mereka terbang di angkasa, menuju Indonesia.

Dan berharap semua akan baik-baik saja.

*****

Gimana, makin penasaran sama ceritanya?

Jangan lupa vote dan komentarnya ya...

Salam herofah...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nena Firdaus
menarik ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status