Luwi berjalan memasuki rumahnya di mana dia kini mendapati Gibran dan Hardin tengah duduk di karpet lantai di depan Tv.
Gibran sedang memperlihatkan hasil karya menggambarnya yang selalu mendapat pujian oleh sang Guru di sekolah kepada Hardin. Laki-laki itu terlihat antusias memperhatikan gambar-gambar hasil karya Gibran. Mulut mungil Gibran terus berkicau.
Pandangan Hardin kembali tersita pada Luwi, saat wanita itu berjalan melewatinya menuju dapur.
Luwi yang sekarang jelas jauh berbeda dengan Luwi yang dia kenal dahulu. Wanita itu terlihat lebih dewasa dan tubuhnya pun terlihat sedikit lebih berisi, tidak kurus seperti dulu. Dan yang jelas, dia terlihat jauh lebih cantik.
Luwi kembali dari
"Biarlah cerita masa lalu kita jadi rahasia kita berdua saja, Luwi." ucap Hardin pada wanita yang kini berada bersamanya di dalam mobil.Saat itu hening langsung menyergap keduanya.Baik Hardin mau pun Luwi tak ada yang bicara.Luwi yang kini hanya terdiam sambil menatap arah jendela yang basah tersiram hujan. Tangannya terkepal meremas ujung pakaiannya. Dadanya kian sesak. Air matanya sudah menggenang memenuhi kelopak matanya.Jangan biarkan air mata ini kembali menetes, ya Allah...Apa salahku? Apa aku ini terlihat sangat hina? Sampai dia begitu tega mengatakan hal itu? Sampai dia berpikir aku akan merusak ruma
Jodie mundar-mandir sejak tadi di depan teras kontrakan Luwi. Dimana Luwi kini duduk di hadapannya di kursi kayu di depan teras."Kenapa lo nggak bilang daritadi sih? Waktu laki-laki sialan itu masih ada disini! Argghh! Gue pengen remukin wajahnya sampe nggak berbentuk! Kalau perlu gue kebiri sekalian alat kelaminnya biar dia nggak seenak jidatnya memperlakukan seorang wanita kayak sampah! Brengsek!" Maki Jodie di depan teras itu. Dia berdiri sambil berkacak pinggang dihadapan Luwi. Dia benar-benar kesal pada laki-laki bernama Hardin itu."Pokoknya gue mau lo kasih tau gue dimana tempat tinggal tuh cowok, biar gue samperin dia sekarang juga, dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya selama ini sama lo dan Gibran! Jangan dibiarin gitu aja! Enak banget hidupnya, aman, nyaman, damai dan sentosa tanpa beban sama istrinya,
"Maaf sekali lagi. Mungkin tadi gue cuma sedikit syok ngeliat lo tiba-tiba ada di kamar mandi," ucap Reyhan pada Jodie. Kini mereka sedang duduk di teras kontrakan Reyhan.Mereka baru saja selesai memakan makanan yang Reyhan beli tadi. Berhubung Gibran sudah tidur jadi jatah Gibran dimakan oleh Jodie. Dan dia sangat menyukai rasanya. Ini kali pertama Jodie mencicipi makanan khas Indonesia yang bernama bakso."Nggak apa-apa. Semua yang lo bilang itu bener kok. Nggak salah. Gue yang salah. Jadi cewek terlalu gampangan," Jodie tersenyum pahit.Jujur, ini pertama kalinya Jodie mengenal sosok laki-laki yang sangat-sangat menghormati wanita. Seolah dia itu adalah dewa yang tidak memiliki nafsu duniawi. Tidak seperti mantan-mantan Jodie kebanyakan. Mereka yang ser
Hari ini adalah hari pertama Reyhan bekerja di kantor percetakan di daerah Kiaracondong, Bandung. Maklum karena kantor ini masih berupa ruko bukan gedung, jadi karyawannya pun hanya sedikit. Dan hal itu membuat Reyhan mudah dikenali sebagai seorang karyawan baru. Sebuah hal yang langsung menjadi buah bibir di seantero ruko.Kehadiran Reyhan di kantor itu seolah menjadi pusat perhatian terutama bagi kaum hawa.Terlebih lagi disaat Reyhan datang membawa sebuah Grand Livina putihnya yang baru saja dia tebus pagi ini sebelum berangkat bekerja. Tak lupa Reyhan juga menebus Handphonenya sekalian. Semalam Luwi sudah menceritakan perihal kedatangan Hardin ke kontrakan mereka. Dan juga memberikan uang yang dibilang sebagai gajinya bulan lalu.
Hardin sudah menunggu kedatangan Reyhan sejak tiga puluh menit yang lalu. Dia sudah menghabiskan satu gelas Moccacino yang dia pesan. Kini dia mulai memesan minuman kedua. Sudah berkali-kali dia melirik arah jam di tangan kirinya. Sepertinya Hardin mulai bosan.Kalau saja bukan karena perintah Opah rasanya malas sekali bertemu dengan laki-laki itu. Meski dia sendiri menyadari semua ini terjadi bukan atas kesalahan Reyhan. Hanya saja egonya sebagai laki-lakilah yang lebih mendominasi.Bagaimana pun Reyhan dan Katrina itu dulu pernah saling mencintai dan kini setiap kali memikirkan hal itu kepalanya kian terasa mendidih. Seandainya saja bisa, Hardin lebih memilih tinggal di Jakarta bersama Katrina, setidaknya Katrina dan Reyhan bisa tinggal di lokasi yang berbeda. Tapi, Hardin sadar bahwa dirinya lebih mengkhawatirkan keadaa
Cafe Burangrang adalah salah satu cafe yang ada di dusun bambu, Lembang, Bandung. Sebuah cafe dengan desain interior unik yang menyajikan suasana indahnya gunung burangrang dari kejauhan.Cafe ini menyajikan masakan khas sunda yang beragam. Dan juga wahana permainan anak yang sangat menarik.Gibran terlihat sangat antusias menyantap makanannya. Sepertinya sudah lama sekali dia tidak pernah makan enak."Om nanti kalau makanan Gibran sudah habis, Gibran boleh ya main kesana," ucap Gibran seraya menunjuk ke sebuah wahana mainan anak-anak berupa perosotan, trampolin dan rumah-rumahan besar, bahkan ada juga labyrinthnya.Reyhan mengiyakan seraya mengacungkan ke dua ibu jarinya.
Waktu menunjukkan pukul 22.15 WIB saat marsedes benz milik Hardin terparkir di depan halaman kontrakan Reyhan. Hardin melirik ke jok belakang di mana Luwi dan Gibran berada. Katrina memilih turun duluan di Podomoro, dia bilang dia mengantuk jadi tidak mau ikut mengantar Luwi dan Gibran.Hardin membuka pintu jok belakang, mendapati Luwi dan Gibran tertidur begitu nyenyak. Kepala Luwi tersandar nyaman di sandaran jok mobil sementara kepala Gibran berada dipangkuan sang Ibunda.Cukup lama, Hardin terdiam dalam posisi itu, setengah menunduk dengan arah tatapan yang melekat pada sosok Luwi.Kenapa kalau sedang tertidur begini dia cantik sekali? Pikir Hardin membatin. Tapi sedetik kemudian pikiran itu berhasil dia tepis.
Di dalam ruangan besar sebuah kamar hotel bintang lima terbaik di seantero Bandung, seorang wanita tengah terbaring di atas ranjang tempat tidur di tengah-tengah ruangan. Kamar tidur yang besar dengan seprainya yang berwarna putih. Sementara dinding-dinding ruangannya bernuansa putih keemasan. Wanita itu terlihat tidak berdaya dengan tangan dan kaki yang terikat, terbentang pada masing-masing tiang di kanan dan kiri tempat tidur itu. Tubuhnya yang molek, berkulit putih, mulus dan bersih terlihat sempurna dalam balutan sebuah busana minim yang menggugah selera kaum adam. Dia terlihat nyenyak dalam buaian mimpi alam bawah sadarnya. Hingga tak menyadari ada sepasang mata liar yang sedari tadi menatap buas ke arahnya. Menelanjangi setiap jengkal lekuk demi lekuk tubuhnya. Menelusurinya tanpa jeda. Dari mulai ujung rambut hingga ujung kaki. Semuanya terasa sangat berharga untuk sekedar