Share

Hadiah dari Sahabat

Lita masih nampak kebingungan dengan apa yang dilihat barusan, jadi ibunya sudah kenal lama dengan wali kelasnya itu. Bahkan Mereka tampak begitu akrab didepan Lita.

Flashback on

"Loh nak Aby," Hastina nampak terkejut saat melihat Aby bersama Lita.

'Tunggu tunggu? Nak Aby? Jadi ibu kenal dengan Pak Aby', batin Lita.

"Loh Tante Hastina rumahnya disini," jawab Aby dengan nada yang dinaikan satu oktaf.

Lita yang masih bingung pun hanya menatap ibu dan wali kelasnya itu. 'Dan tunggu, Pak Aby berbicara dengan ibu seperti itu, berati Pak Aby tahu kalau ibu punya penyakit pendengaran dan apa mereka sudah kenal lama?, terus Pak Aby memanggil ibu dengan sebutan tante, apa mereka seakrab itu?' batin Lita sambil bertanya-tanya.

"Ayo Lita ajak nak Aby masuk, ibu mau ke dapur dulu untuk bikin minuman," perintah Hastina pada putri semata wayangnya itu sambil berlalu menuju dapur.

"Iya Bu, mari Pak silakan masuk, silahkan duduk. Saya ke kamar dulu buat ganti baju ya Pak." Lita mempersilahkan Pak Aby masuk kerumahnya kemudian melangkahkan kakinya menuju kamar, namun baru beberapa langkah dia berhenti karena terikan dari ibunya.

"Lita sayang, ajak nak Aby ngobrol dulu ya."

"Tapi Bu, Lita mau ganti baju lagian kepala Lita masih pening Bu," keluh Lita pada ibunya.

"Sebentar saja sayang, ayo!" Hastina berjalan dari dapur membawa nampan yang berisi 3 gelas jus jeruk, kemudian mengarahkan pandangannya pada Lita agar duduk disebelahnya.

"Nak Aby, bagaimana kabarnya?, Sudah lama ya kita tidak bertemu sejak meninggalkannya eyang Sekar," tanya Hastina sambil meletakkan jus jeruk dimeja.

'Siapa eyang Sekar' batin Lita bertanya-tanya.

"Baik tan, tante dan om Pram apa kabar? Dan Apakah Lita ini si Tata kecil yang dulu sering aku gendong dan ajak main di sawah itu tan?," balas Aby sembari menunjuk Lita.

'Bagaimana Pak Aby tahu nama panggilanku ketika masih kecil? Dan bahkan aku lupa kalo dulu suka diajak main dengan beliau', batin Lita sambil senyam-senyum pada Pak Aby.

"Iya nak Aby, ini Lita alias tata. Sekarang sudah besar kan sudah kelas satu SMK," terang Hastina pada Aby.

"Bu, Pak Aby ini guru Lita di sekolahan, beliau juga wali kelas Lita," tutur Lita pada sang ibu.

"Bukannya nak Aby masih kuliah, kok sudah jadi guru saja, wah hebat nak Aby ini, calon menantu idaman."

"Ibu apa-apaan sih, Lita kan masih kecil Bu."

"Loh Lita sudah gede gitu kok, kalo masih kecil Lita pasti masih suka main bareng kerbau, masih suka lari-lari mengejar layangan, masih suka main lumpur di sawah sama nak Aby Lita sayang," cerocos ibu panjang lebar yang membuat Aby terkekeh.

"Kok Lita nggak ingat ya bu, pernah jadi teman main Pak Aby," balas Lita sambil mengingat-ingat masa kecilnya itu. Namun nyatanya semakin dia mengingat lebih dalam, semakin pening pula kepalanya. Lita memang kehilangan sebagian memori masa kecilnya karena benturan saat kecelakaan empat tahun silam.

"Nggak usah diingat Lita, itukan hanya kenangan masa lalu. Oh ya tan saya memang masih kuliah, tapi sambil mengajar mata pelajaran kejuruan Akutansi ditempat Lita sekolah," terang Pak Aby. Lita dan sang ibu hanya manggut-manggut saja.

"Sudah hampir Maghrib, saya pulang dulu tan. Soal Lita pulang terlambat, saya minta maaf tadi Lita pingsan di sekolahan dan dia sedikit demam," Pak Aby berdiri dari duduknya dan berpamitan pada Hastina.

"Habis ini kamu istirahat, obatnya jangan lupa diminum Lita, agar sehat lagi, karena besok hari Sabtu kamu harus mengikuti perkemahan. Saya permisi dulu Assalamualaikum...," sambung Pak Aby lagi.

"Wa'alaikumssalam...," jawab Lita dan ibunya serempak.

Flashback off

Lita yang sudah ada didalam kamar, memilih untuk menyegarkan tubuhnya baru dia beranjak untuk beristirahat karena hari sudah menjelang malam. Baru ingin memejamkan matanya, terdengar suara ketukan pintu dari luar kamarnya.

Tok tok tok

"Sayang, ada Arka nak," Hastina memberitahu Lita bahwa sahabatnya itu datang.

"Iya bu, sebentar lagi Lita keluar," balas Lita dengan sedikit berteriak.

"Jangan lama-lama, nanti keburu ngambek si Arka."

"Iya iya...ibu bawel ah!"

Lita pun turun dari ranjangnya, sebelum keluar kamar dia merapikan dirinya terlebih dahulu. Tidak bisa dipungkiri, sejak awal pertemuannya dengan Arka, Lita sudah menaruh hati pada sosok pria yang berperawakan tinggi kurus berambut ikal serta memiliki wajah yang terlihat garang namun hatinya sangat lembut itu. Walaupun terkadang Lita mengagumi orang lain namun dihatinya hanya ada nama Arka seorang. Lita pun keluar dari kamar, dia langsung menuju ke ruang tamu, disana selain Arka juga terlihat sosok sang ayah yang sedang mengobrol dengan Arka.

"Hai Ar, sudah lama?" Sapa Lita pada sahabatnya itu sembari duduk disebelah ayahnya.

"Lita, Arka, ayah tinggal ke dalam dulu, kalian lanjutkan saja ngobrolnya."

"Iya yah. Ar, kamu darimana barusan, kamu tidak kabur dari rumah lagi kan?" tanya Lita yang menyelidiki.

"Hahaha apaan sih kamu Lit, kalo aku kabur, aku tidak akan ada disini lagian kamu tahu kan tempatku bersembunyi kalo sedang kabur dari rumah," jelas Arka tanpa basa basi terlebih dahulu.

"Ya siapa tahu, kamu kan hobi banget buat kabur," Lita menelisik sahabatnya itu.

"Yah habis gimana, aku bosan di rumah. Tahu sendiri kamu di rumahku seperti neraka saja Lit," jawab Arka yang sedikit muram wajahnya. Arka memang sering merasa jenuh dan bosan dirumahnya sendiri terlebih lagi kedua orangtuanya sering terlibat cekcok karena beda pendapat, bahkan hal kecil pun sering diributkan oleh mereka. Dan yang Arka ketahui ayahnya sering jalan dengan wanita selain ibunya, Arka juga pernah memergoki ayahnya itu sedang bermesraan di dalam kafe. Itulah yang membuat sang ibu menjadi murka.

"Hem iya iya, udah makan belum kamu Ar?"

"Belum, ntar aja deh. Mau makan disini bareng sahabat ku yang paling manis ini," goda Arka pada Lita.

"Dasar gombal, emang gula manis?" Lita tertunduk menahan wajah yang bersemu merah, Semerah kepiting yang direbus.

"Hahaha... By the way gimana keadaan kamu, kenapa kamu bisa pingsan. Kata ibu kamu tadi diantar seorang guru ya," tanya Arka sedikit mengintrogasi Lita.

"Hem iya, tadi cuman kecapean dan sedikit pusing, pulangnya bareng Citra juga kok. Ini juga sudah mendingan tadi sudah minum obat, " balas Lita jujur.

"Baguslah kalau begitu, oh ya aku bawakan sesuatu buat kamu." Arka menyodorkan paper bag berwana coklat pada Lita.

"Apa Ar?"

"Cincin rumput lagi? Sudah hampir 100 cincin loh Ar," sergah Lita yang sedikit penasaran dengan isi paper bag yang diterimanya itu.

"Hahaha itukan sebagai tanda persahabatan Lit, jadi kamu wajib simpan, aku tidak bawain kamu cincin lagi kok."

"Apa ini?"

"Buka saja, kamu pasti suka Lit"

"Wah cantik banget, kamu dapat dari mana?" Lita membuka paper bag itu dan mengeluarkan salah satu barang yang sering dikoleksinya itu.

"Ini khusus buat kamu, aku petik sendiri di kaki gunung Bromo saat pendakian Minggu lalu."

"Edelweiss, makasih ya Ar, kamu memang sahabat terbaikku dan kamu memang...," Jawaban Lita menggantung begitu saja di udara.

"Memang apa Lit?" Tanya Arka penasaran.

"Ah tidak Ar, lupakan saja." Lita berkilah mencari jawaban.

"Oh ya, ayo Ar makan dulu, katanya tadi kamu belum makan," sambung Lita lagi.

"Aku mau balik saja Lit, sudah hampir jam sembilan malam ini, takut kemalaman." Arka bangkit dari tempat duduknya

"Bener nggak mau makan dulu?"

"Ya sudah hati-hati dijalan, kalo sudah sampai rumah, kabarin aku ya Ar," ucap Lita kembali tanpa menunggu jawaban dari Arka.

"Iya bawel, bilangin sama ayah dan ibu ya kalo aku pulang." Arka berjalan kerluar dari rumah Lita. Arka memang sudah akrab dengan kedua orangtua Lita, bahkan kedua orangtua Lita sudah menganggap Arka seperti anak kandungnya sendiri.

"Iya iya, sudah sana. Katanya mau pulang!" Lita sedikit mendorong tubuh Arka agar berjalan lebih cepat.

"Ngusir ini ceritanya," balas Arka yang kemudian berbalik ke arah arah Lita dan...

Cup!

Arka mencium pipi Lita begitu saja, sudah bisa dipastikan saat ini wajah Lita sudah seperti kepiting yang direbus dan hati Lita tentu saja berbunga-bunga, seperti bunga yang bermekaran di musim semi.

"Arka!!"

...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status