“Aku tidak tahu, sepertinya tidak mungkin kita dapat membunuh Gusti patih Setyo Pinangan beserta keluarganya itu sekarang......belum lagi orang sakti yang tak terlihat wujudnya yang harus kita hadapi kali ini, tapi lelaki yang ada dihadapan kita itupun belum tentu orang sembarangan....... bisa-bisa kita sendiri yang akan jadi korban....”
“Aku setuju dengan pendapatmu nyi, sebaiknya kita kembali ke Gusti patih Ranang dan kita katakan saja kita telah berhasil membunuh Gusti patih Setyo Pinangan beserta keluarganya......”. maka tanpa diperintah lagi, kedua-duanya segera melesat pergi meninggalkan tempat itu.
Melihat kedua lawannya pergi meninggalkan tempat itu, lelaki yang berwajah tenang dan dingin ini segera tampak berbalik dan berjalan menuju kearah sosok seorang pemuda yang tidak lain adalah Bintang yang tampak sudah tidak sadarkan diri. Lelaki tua ini tampak sejenak memeriksa keadaannya.
“Bagaimana keadaannya kakang......?”. terdengar ucapan Gusti patih Setyo Pinangan yang sudah berada dekat dengannya dan dipapah oleh istrinya.
“Dia tidak apa-apa Setyo......dia hanya pingsan.....”. ucap lelaki itu lagi seraya menotok beberapa bagian tubuh ditubuh Bintang.
“Kalian tidak apa-apa.....?”
“Kami tidak apa-apa kang Randu.....”. ucap istri Gusti patih Setyo Pinangan lagi yang rupanya juga mengenali lelaki itu. Randu adalah kakak seperguruan dari Gusti patih Setyo Pinangan, oleh karena itulah istri Gusti patih Setyo Pinangan cukup mengenali sosok lelaki itu yang memang sudah sifatnya tidak banyak bicara dan selalu bersikap dingin, tapi dasarnya hatinya sangat baik dan tidak begitu suka mencampuri urusan dunia persilatan, kehidupannya lebih banyak dihabiskannya di Bukit Bayangan.
“Ternyata aji Membelah Suara 4 Penjuru Angin milik kakang sudah begitu sempurnanya, sampai-sampai mereka tidak menyadari kalau kakang tadi yang mengeluarkan ucapan……”. Ucap Gusti Patih Setyo Pinangan lagi hingga membuat lelaki yang disebut Randu itu hanya tampak tersenyum tanpa bicara.
“Siapa pemuda ini adik Setyo.....?”
“Dia putraku kakang.......”
“Putramu.....?”. ucap lelaki yang bernama Randu ini terlihat terkejut dengan wajah berkerut.
“Putra angkatku kang......”. ucap Gusti patih Setyo Pinangan terlihat mengerti akan keheranan kakangnya, ucapan Gusti patih Setyo Pinangan membuat lelaki itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tapi kemudian dia tidak banyak bertanya, kedua tangannya tampak mengangkat tubuh Bintang kedalam pondongannya. Langkahnya segera menuju kearah kereta kuda dengan diikuti oleh Gusti patih Setyo Pinangan beserta istinya.
“Bagaimana kakang bisa tahu keberadaan kami.....?”
“Aku tidak tahu, tapi guru mengatakan kalau aku harus menjemput seseorang dibawah kaki Bukit Bayangan ini.......dan rupanya orang itu adalah kalian......”. ucap lelaki itu lagi seraya duduk didepan sais kuda, sementara Gusti patih Setyo Pinangan beserta istrinya sudah pula menaiki kereta kuda tersebut, dengan perlahan lelaki yang dipanggil Randu ini mulai menjalankan kereta kuda tersebut menuju ke Bukit Bayangan.
Diatas Bukit Bayangan, tepatnyat disebuah bangunan tua yang cukup besar dan indah, terlihat sesosok tubuh yang ternyata adalah sosok seorang kakek tua yang tengah berdiri didepan pintu gerbang bangunan tua tersebut, kakek ini tampak berdiri dengan tatapan kearah depan, sosoknya hanya tampak mengenakan pakaian berwarna kecoklatan, dikepalanya terlihat rambutnya yang telah memutih diikat dengan rapi dengan sebuah ikat kepala putih. Dan astaga, ternyata kakek itu hanya memiliki sebuah tangan, sedangkan tangan yang satunya lagi tampak memegang sebuah tongkat. Dan terlihat sepasang bibir kering sikakek tampak tersenyum saat melihat sebuah kereta kuda yang mulai datang mendekatinya dan tak lama kemudian kereta kuda itupun sudah mencapai pintu gerbang bangunan tua tersebut.
Dari dalam kereta kuda terlihat sosok Gusti Patih Setyo Pinangan bersama istrinya terlihat langsung turun dari kereta kuda tersebut, keduanya tampak mendekati sosok kakek tersebut.
“Guru.......”. ucap Gusti Patih Setyo Pinangan lagi dengan menjura hormat, rupanya kakek bertangan tunggal itulah yang disebut sebagai Dewa Tanpa Bayangan oleh orang-orang rimba persilatan
“Kakek......”. ucap istri Gusti Patih Setyo Pinangan lagi ikut menjura hormat pada sosok kakek tersebut, kakek itu hanya tampak tersenyum seraya memegang kepala keduanya.
“Bangunlah Setyo.....bangunlah Ratih…..”. ucap kakek itu lagi dengan lembutnya. Dan kedua-duanya terlihat bangkit dari tempat mereka. Sementara Randu terlihat membopong sosok seorang pemuda.
“Siapa dia Setyo…..?”
“Dia putra angkatku guru…….”. ucap Gusti Patih Setyo Pinangan lagi hingga membuat kakek itu menganggukkan kepalanya. Lalu kakek itu tampak berjalan turun dan mendekati sosok pemuda yang kini berada dalam bopongan Randu. Sejenak terlihat sikakek memeriksa keadaan Bintang yang tengah tak sadarkan diri.
“Syukurlah dia tidak apa-apa……”
“Siapa namanya Setyo…..?”
“Namanya Bintang guru…..”
“Bintang…..Bintang, nama yang aneh…..apakah tidak ada nama lain yang pantas untuknya……” ucap sikakek lagi hingga membuat Gusti patih Setyo Pinangan dan istrinya tersenyum.
Tapi tiba-tiba saja wajah sikakek ini berubah saat dia melihat sekilas sebuah rajah yang terdapat pada dada bintang yang sekilas terlihat saat sebuah angin semilir yang menyimbak sedikit baju Bintang.
Dengan penasaran sikakek menyibak pakaian Bintang dan terlihat berubahlah paras sikakek saat melihat sebuah rajah bergambar bintang didada Bintang.
“Tanda ini……”. Ucap sikakek lagi dengan suara bergetar, hal ini tentu saja mengejutkan Gusti Patih Setyo Pinangan dan yang lainnya melihat perubahan diwajah guru mereka, tidak biasanya gurunya bersikap demikian.
“Ayo cepat, kita masuk kedalam……”. Ucap sikakek lagi seraya melangkah masuk, kedua muridnya beserta istri Gusti Patih Setyo Pinangan tampak mengikutinya dari belakang dengan perasaan aneh dan heran.
Selesai
Nah, bagaimana kelanjutan kisah ini ?
Jika benar Bintang adalah putra angkat dari Gusti Patih Setyo Pinangan, lalu Siapakah Bintang sebenarnya ?
Kenapa wajah Dewa Tanpa Bayangan berubah saat melihat tanda rajah didada Bintang ?
Nantikan semua jawabannya dalam :
RAHASIA SANG PENDEKAR
Kuning keemasan memancar diufuk fajar, seakan-akan menandakan kalau sebentar lagi sang mentari akan segera menampakkan dirinya di ufuk timur sebagai pertanda dimulainya kehidupan diatas muka bumi ini. Satu demi satu terdengar suara cicit burung yang saling bersahut-sahutan dari dahan ke dahan semakin menambah indahnya pagi itu. Di sebuah bukit yang tampak berdiri dengan tegarnya dari kejauhan, sepanjang mata memandang bukit itu tampak begitu dipenuhi oleh pepohonan yang tumbuh menjulang tinggi seakan ingin mencakar langit, hingga kalau pada siang hari, kerimbunan dan ketinggian pohon tersebut mampu memberikan bayangan keteduhan pada bukit itu, hingga tak heran banyak orang-orang awam maupun orang-orang persilatan yang memberikan nama sebagai Bukit Bayangan terhadap bukit itu. “Hyattthiyattt”. tiba-tiba terdengar suara teriakan keras dari atas puncak Bukit Bayangan, kian lama kian semakin terdengar jelas suara tersebut dan bila kita melihat lebih dekat, ternyata diata
Keesokan harinya, seperti yang telah direncanakan, Dewa Tanpa Bayanganpun segera berangkat menuju ke Lembah Obat, tempat kediaman sahabatnya Peramal 5 Benua. Dengan mengandalkan aji Mambang Bayunya, Dewa Tanpa Bayangan mampu mencapai Lembah Obat hanya dalam dua hari saja, padahal bila menunggangi seekor kudapun paling tidak baru 4 hari baru bisa sampai ke Lembah Obat. Sosok kakek Dewa Tanpa Bayangan melesat dengan kecepatan tinggi menaiki Lembah Obat, dari wajahnya jelas terlihat kalau kakek itu sudah tidak sabar lagi untuk segera bertemu dengan sahabatnya itu. Tak seberapa lama kemudian, diapun tiba dipuncak Lembah Obat. Dipuncak Lembah Obat, berdiri sebuah gubuk tua yang terlihat begitu amat sederhana, seorang kakek tampak tengah asyik menjemur dedaunan kering yang sepertinya akan diramunya menjadi obat, tapi pendengarannya yang tajam membuat sikakek tiba-tiba saja menghentikan pekerjaannya, tubuhnya segera berpaling kearah jalan setapak yang menuju langsu
Dua sosok bayangan terlihat berkelebat dengan cepat menaiki sebuah bukit, keduanya tampak berkelebat beriringan satu sama lain, bila menilik sosok penampilan keduanya, mereka berdua tak lain adalah Benua alias Peramal 5 Benua dan Baruna alias Dewa Tanpa Bayangan. “Kenapa tempatmu ini kau beri pagar bayang-bayang Baruna”. ucap Benua diantara kelebatan mereka. “Untuk jaga-jaga saja Benua, saat ini muridku yang menjadi patih kerajaan Karang Sewu itu telah menjadi incaran orang-orang yang ingin membunuhnya”. ucap Baruna lagi. “Yah, begitu kehidupan disebuah kerajaan Baruna, siapa yang lebih suka menjilat, dialah yang akan memangku jabatan tinggi”. ucap Peramal 5 Benua lagi, keduanya terus berkelebat menaiki bukit yang ada dihadapan mereka. Tak lama kemudian, keduanya segera tiba dipuncak Bukit Bayangan, dimana terdapat sebuah bangunan tua yang cukup besar. “Bintang... Bintang”. ucap kakek yang berlengan tunggal terlihat memanggil-manggil nama tersebut ser
“Berhasil!!”. ucap kakek Benua dan kakek Baruna hampir saja berteriak girang melihat keberhasilan Bintang menyeberangi sungai tersebut. Dan tanpa menunggu lagi kedua-duanya segera keluar dari persembunyian mereka, diseberang sungai Bintang tentu saja terkejut melihat kehadiran kedua kakek tersebut. “Kakek”. ucap Bintang dengan wajah gembira. “Ayo Bintang menyeberanglah gunakan aji Mambang Bayumu itu”. ucap kakek Baruna lagi dan Bintang terlihat menganggukkan wajahnya dan ; “Serrrrr...”. kini dengan mulus Bintang berhasil berkelebat diatas air sungai tersebut dan berhasil tiba ditepian sungai tersebut dengan sempurna. “Kakek”. Bintang langsung menjura hormat pada sosok kakek Baruna yang kini sudah berada dihadapannya. “Bangunlah cucuku”. ucap kakek Baruna lagi mengangkat tubuh Bintang, lalu kemudian pandangan Bintang beralih kearah sesosok kakek yang berada disebelah kakeknya. “Oh ya Bintang, perkenalkan ini adalah sahabat kake
“Apa maksud kakek, aku adalah Titisan Putra Bintang itu ?”. ucap Bintang lagi mencoba menyimpulkan apa yang telah didengarnya. Kakek Benua tidak menjawabnya, tapi kepalanya terlihat mengangguk. Bintang semakin terkejut dan tak percaya melihat hal itu, ditatapnya kakeknya kakek Baruna, lalu pamannya paman Randu, lalu kemudian romonya, Setyo Pinangan dan terakhir ibundanya yang terlihat hanya tertunduk. “Inilah rahasia besar yang ingin romo sampaikan padamu Bintang kau memang bukan putra kandung kami, aku menemukanmu saat aku menemani gusti prabu Karang Sewu berburu dihutan cadas putih dan sejak saat itulah aku dan istriku mengangkatmu sebagai anak kami.”. ucap Setyo Pinangan lagi akhirnya mengeluarkan ucapan itu, dan Bintang sendiri bagaikan mendengar suara petir yang amat keras dihadapannya. Dan Bintang semakin terkejut saat melihat tiba-tiba saja ibundanya berdiri dan berlari, dari kejauhan terdengar isak tangisnya. “Kau harus bisa menerima kenyataan ini Bin
“Aa...apa.....apa yang kau rasakan Bintang?”. ucap paman Randu ikut cemas. “Paman...aku merasakan tubuhku panas, panas sekali”. ucap Bintang lagi terlihat mencoba bertahan walau dengan tubuh menggigil dan wajah Bintang terlihat berubah pucat sepucat mayat. Tapi walaupun begitu Bintang mencoba tetap bertahan agar kesadarannya tetap utuh, dan terlihat Bintang memejamkan kedua matanya untuk menghilangkan rasa pusing dikepalanya, tapi untunglah siksaan itu tidak terjadi begitu lama, perlahan tapi pasti Bintang dapat merasakan ada satu hawa dingin dan menyejukkan yang mengaliri sekujur tubuhnya dan rasa panas yang tadi begitu mendera sekujur tubuhnya kini secara perlahan mulai sirna tertindih hawa dingin tersebut. “Bagaimana sekarang Bintang.?”. ucap kakek Benua lagi. “Rasa panas itu mulai hilang kek”. Ucap Bintang lagi setelah membuka kembali kedua matanya. “Tidak salah lagi, kau memang Titisan Putra Bintang itu Bintang, tidak salah lagi”. ucap kakek Benu
Semilir angin berhembus dengan lembut dipuncak Lembah Obat, dari puncak lembah dapat terlihat satu pemandangan hijau yang ada dikaki lembah, dimana terlihat jejeran pohon-pohon yang tumbuh dengan subur ditempat itu, berbagai macam ragam tumbuh-tumbuhan hidup dengan subur di Lembah itu. Sore itu didepan sebuah gubuk tua di puncak Lembah Obat terlihat Bintang tengah duduk berhadapan dengan kakek Benua, sosok seorang kakek bertubuh kurus renta dengan pakaian yang begitu sederhana sebuah tongkat usang terlihat dipangkuannya, dikepalanya tampak sebuah batok kelapa kering yang entah sudah seberapa lama berada diatas kepalanya, wajahnya tampak begitu lusuh, rambutnyapun sudah terlihat memutih semua. “Bintang, sebagaimana kau ketahui keberadaanku dikenal dirimba persilatan bukan karena tingginya kesaktian yang kumiliki, tapi orang-orang lebih mengenalku sebagai seorang peramal jitu dan seorang tabib pengobatan oleh karena itulah aku mungkin hanya akan menurunkan sedikit ilmu
Beberapa bulan sudah Bintang berada di Lembah Obat, berbagai pengetahuan tentang ilmu pengobatan dan sedikit ilmu kanuragan telah diberikan oleh kakek Benua pada Bintang. Pagi itu di Lembah Obat. Matahari baru saja menampakkan dirinya di ufuk timur, sinarnya terasa begitu hangat dikulit, rona-rona kuning keemasan terlihat memancar keluar menerangi hampir seluruh mayapada yang maha luas ini. “Hyattt! hiyyatttt...”. tapi kesunyian pagi itu terpecahkan oleh sebuah teriakan-teriakan nyaring yang berasal dari puncak Lembah Obat, dan bila kita melihat lebih dekat, ternyata suara-suara riuh itu berasal dari mulut seorang pemuda berparas tampan, tubuhnya yang tidak mengenakan pakaian tampak terlihat jelas begitu bidang dan kekar karena sudah terlatih sejak kecil, tubuh kekar itu terlihat sudah bersimbah keringat yang membanjiri sekujur tubuhnya, sepertinya pemuda ini telah berlatih cukup lama. Rambutnya yang cukup panjang terlihat dibiarkannya diterpa angin, sepasang m