Hari ini, aku dan teman-teman berencana untuk pergi ke pantai parangtritis untuk sekedar refreshing dan mencari suasana baru. Kita berangkat pukul setengah 6 pagi, naik sepeda. Karna rumah ke pantai hanya 45 menit jika menggunakan sepeda. Sekalian kita berolahraga, karna sudah lama tidak sepedaan bersama-sama. Pagi ini kami pergi ber 8. Aku, dea, wulan, ria, aryo, reno, tasya dan doni.
“Ra...clara, udah siap belum?”Teriak aryo dari luar rumah sambil mengetok pintu.
Aryo menunggu cukup lama, karna suaranya tidak terdengar sampai dalam rumah. Aryo mengulangi untuk mengetok pintu lagi.
“Claraaaa!!! Udah siap belum!!” Teriak aryo lagi.
Aku yang mendengar suara aryo langsung berlari ke pintu depan untuk membukakan pintu. Sambil menyambut aryo.
“Selamat pagi putra kesayangan pak lurah! Saya clara arlita xenasya, sudah siap menjadi beban sepedaan anda” Ucapku dengan aryo setelah aku membuka pintu.
“Hayukkk... ke puskesmas aja yuk. Gak usah ke pantai, sepertinya telingamu lebih butuh kesembuhan dari pada otakmu. 10 menit lebih aku teriak-teriak, kok gak ada yang bukakan pintu ya, sepertinya ada yang mau nyari masalah sama anak pak lurah!” Omel aryo denganku sambil tertawa.
Aku dan aryo langsung mengayuh sepeda bersama, karna sepedaku bocor akhirnya aku nebeng aryo, menggunakan sepeda gabung 2. Kita berdua langsung ke gapura masuk desa menemui teman-teman.
“Pacaran dulu sih kayaknya, pantesan lama” Omel wulan saat kita berdua datang.
“Aku ngestandarin sepeda dulu ya sayangkuhhh” Jawabku ke wulan sambil tertawa.
Kita ber 8 langsung berunding untuk memilih jalan mana yang akan kita lewat, dan akhinya kami semua setuju untuk lewat jalur barat, agar bisa lolos dari pos tiket masuk pantai parangtritis.
“Doa dulu yuk, sebelum kita berolahraga” Ajak doni sambil memimpin berdoa. Doni adalah putra kedua dari ustad di masjid desa kami. Maka tidak heran jika dia mengikuti langkah ayahnya.
Kami semua berdoa menurut kepercayaan kami masing-masing. Setelah berdoa kami langsung berangkat ke pantai parangtritis. Reno berada di paling depan karna dia yang hafal dengan jalannya. Sedangkan aku dan aryo berada di paling belakang untuk jaga-jaga jika ada salah satu dari kami yang ketinggalan.
“Ayo semangat!!! Sedikit lagi sampai pantai!!” Teriak reno sambil menyemangati kami semua.
Pemandangan air pantai sudah ada di depan mata, kami lalu mengayuh sepeda cepat-cepat agar segera sampai.
“Ren, pilih yang agak sepi saja ya” Perintah dea ke reno.
Reno menuruti permintaan dea, dan akhirnya kita berada di pesisir paling pojok dekat dengan tebing. Sampai pantai pukul 6.50 an, dan pantai parangtritis masih sepi. Kami memakirkan sepeda dan langsung berlari ke pesisir pantai. Kami bermain air dan juga mengubur ria dengan pasir pantai.
“Ria. Kamu masuk sini dong!!” Teriak wulan ke ria.
Ria akhirnya menuruti permintaan wulan. Mereka ber 6 bercanda bersama sambil mengubur badan wulan, sedangkan aku dan aryo mengobrol sendiri sambil duduk dan bermain ombak. Badan ku dan reno terseret ke depan belakang,kanan ke kiri.
“Ra, gimana impianmu soal di UGM itu, masih pengen banget?” Aryo tiba-tiba bertanya denganku. Aku kaget dan langsung terdiam melihat aryo.
“Kamu nggak salah tanya yo?” Aku balik bertanya kepada aryo. Karna setauku, aryo hanya orang biasa yang tidak pernah menceritakan mimpi-mimpinya.
“Minggu depan aku mau ke kota, mau ikut? Aku pengen lihat UGM, dan tanya-tanya prodi disana, siapa tahu ada beasiswa. Kan lumayan” Aryo mencoba menjelaskan dan mengajakku.
Aku masih terkejud dengan apa yang di ucapkan aryo. Aryo tersenyum dan akhirnya bercerita tentang semuanya.
“Impianku sama denganmu. Masuk ke kampus UGM dengan beasiswa agar tidak memberatkan kedua orang tuaku, ya walaupun ayahku seorang lurah. Tapi aku yakin, aku bisa sukses dengan tekatku sendiri. Aku memang tidak pernah bercerita tentang mimpiku dengan teman-teman, dan aku selalu netral jika mendengarkan perdebatan kalian tentang lanjut kuliah atau berpasrah dengan nasib. Sayangnya clar, kita hidup di tengan orang-orang yang memiliki mindset, kuliah itu untuk apa?. Makanya aku menutupi semuanya dari orang lain. Dan aku baru sempat cerita sekarang ke kamu saja, dan berjanjilah jangan cerita ke semua orang tentang impianku. Suatu saat aku yakin, kita bisa membuktikan bahwa anak desa seperti kita bisa jadi orang sukses di kota.” Aryo menjelaskan semua unek-unek tentang impiannya denganku.
Aku kaget dan hanya memberikan senyum ke arah aryo.Kami diam-diaman cukup lama, sampai aku benar-benar bisa mengerti apa maksud aryo.
“Aku ikut ke kota. Tapi tolong jangan bilang mereka, dan tolong jangan bilang orang tuaku ya. Bilang aja kita ke kota hanya untuk melihat keramaian kota”.Pintaku dengan aryo. Dan aryo mensetujui permintaanku.
Dea tiba-tiba berlari ke arahku dan menarik tanganku, aku dan aryo sangat kaget.
“Teman-temannya sibuk ngubur badan ria kok yang ini malah berduaan di ujung pantai”Ejek dea sambil menarik tangaku.
Aku langsung menengok ke arah dea dan sesegera mungkin berdiri, lalu mengajak aryo untuk ikut mengubur ria. Kami bertiga berlari ke arah ria sambil tertawa bersama-sama dan bermain pasir pantai.
Sepagi ini bapak sudah mengayuh sepedanya yang sudah rusak untuk pergi ke kota. Saat matahari masih belum muncul, bahkan langit masih sangat gelap. Suasana desa masih sunyi, belum ada suara orang-orang menyapu halamannya. Dua minggu lagi adalah ulang tahunku yang ke 17, bapak menjajikanku sebuah kado yang tidak akan aku duga sama skali. Berkali-kali aku menolak untuk diberikan kado oleh beliau, akan tetapi bapak selalu berkata “Bapak akan kasih kado buat kamu, kakak harus terima pemberian bapak”.Bapak, sosok laki-laki cinta pertamaku yang tidak pernah menyakiti hatiku, walaupun aku selalu mengelak, tapi beliau selalu menganggapku sebagai putri sematawayangnya yang masih belajar merangkak. Belum di izinkan untuk pergi jauh sendirian ataupun hanya sekedar tidak diizinkan untuk memiliki pacar. 27 Desember 2004 adalah angka kelahiranku, begitupula di hari itu, orang tuaku resmi mendapat sebutan bapak dan ibu.“Ehh.. pak budi.. pagi-pagi begin
3 tahun aku menjadi murid di SMK N 2 Adiyata, detik-detik semester akhir sudah ada di depan mata. Murid-murid kelas 3 sudah sibuk mempersiapkan diri untuk mencari perguruan tinggi, dan mencari info tentang lowongan pekerjaan. Tidak berbeda denganku, di sela-sela kesibukanku menjual donat, aku juga selalu berusaha mencari info tentang beasiswa untuk masuk kampus. Aku memang bemimpi masuk di UGM tapi, jika memang rezeki beasiswaku tidak di UGM, aku tidak mempermasalahkan itu, yang paling utama aku tetap bisa melanjutkan impianku."Clara, tolong bentuk panitia untuk pensi setelah Ujian Akhir Semester 5 ya" Ibu wakil kesiswaan meminta tolong kepadaku."Baik bu, nanti saya infokan dengan teman-teman" Jawabku dengan cepat sambil menganggukan kepala, pertanda aku menerima perintah beliau dengan jelas.Di sekolah, aku memanglah pribadi yang sangat aktif di organisasi osis. Aku menjabat sebagai wakil ketua osis untuk mendampingi ardan,ketua osisku. Di kelas a
Pembelajaran sehari ini sudah selesai, bel sudah berbunyi pertanda jam pelajaran telah selesai. "Okay, kita sambung pelajaran besok kamis ya" Ucap Guru bahasa Indonesia sambil membereskan buku-bukunya. " Baik bu" Jawab sekelas. Sebelum mengakhiri pelajaran kami sekelas berdoa terlebih dahulu. "Duduk siap grak!!" Ucapku memberikan aba-aba kepada semua anak kelas. Aku menengok kanan-kiri dan belakang, memastikan semua teman-teman ku sudah siap untuk berdoa. "Sebelum kita pulang, berdoa menurut agama masing-masing, berdoa mulai" lanjutku. Kita berdoa dengan sungguh-sungguh. "Selesai, istirahat di tempat grak!!" Aku mengakhiri doa sebelum pulang. "Terimakasih untuk hari ini, hati-hati di jalan, jangan ngebut-ngebut, kalau mau main ganti baju dulu atau sragamnya di tutupin jaketnya. Sampai jumpa hari kamis dengan semangat ikut kuis, jangan lupa belajar ya" Ucap guruku sebelum meninggalkan ruangan, dan memberi wejangan
Hari minggu, hari yang selalu di tunggu-tunggu oleh pelajar maupun pekerja kantoran. Hari dimana bisa menghabiskan waktu bersama keluarga, lebih lama dibandingkan hari-hari lainnya. Itu untuk mereka, berbeda dengan keluarga. Mau hari senin,selasa, rabu, maupun minggu, semuanya sama saja. Bangun pagi, mengerjakan tugas masing-masing dan pergi ke tempat tujuan masing-masing. Pagi ini seperti biasa, bangun pukul 4 pagi dan langsung pergi ke dapur, membantu ibuku memasak dan mencetak adonan donat. Hari ini aku mencoba menjual donatku di pasar dekat rumahku, juga menitipkannya di warung-warung."Aku nanti nyoba jual di pinggir jalan dekat pasar ya buk" Izinku dengan ibu yang sedang memasukkan kayu bakar agar api makin membesar. Di rumahku, kami memasak memang masih menggunakan tungku api, tapi bukan berarti kami tidak memiliki kompor LPG. Kompor di rumahku hanya di gunakan saat menggoreng donat, maupun saat sedang terburu-buru. Agar lebih hemat saja, kata ibuku."Tapi hati-
Menjalani hari demi hari dengan segala kejutan, membuatku semakin tidak menyerah untuk menggapai semua mimpiku dan memwujudkan semua kehaluanku. Hidup di tengah keluarga yang harmonis, membuatku selalu bersyukur atas semua yang di berikan Tuhan kepadaku, walaupun memang masih ada tantangan yang harus selalu siap ku hadapi kedepannya.“Baru jam 4 kok sudah pulang pak?” Tanyaku kepada laki-laki cinta pertamaku, bapak.“Bapak pusing kak, dari pada nanti pingsan lagi makanya bapak izin pulang dulu” Jelas bapak.Aku terdiam dan mulai panik, aku langsung pergi ke dapur untuk mengambil obat dan membuatkan teh hangat untuk bapak, dan membawakan beliau nasi serta lauknya.“Bapak, ini di makan dulu, di minum obatnya” Perintahku ke bapak agar beliau cepat sembuh.“Bapak nggakpapa sayang, cuman capek aja, ini di pijitin doang sembuh” Jawab bapak tersenyum.“Ini bapak makan dulu, habis makan kakak pij
Setelah melewati hari minggu yang cukup semangat dan sedikit membuat galau karna bapak tiba-tiba sakit. Pagi ini aku siap menyambut hari senin dengan lebih semangat lagi. Aku yakin, Tuhan selalu memberikan kejutan di setiap harinya, kejutan yang beranekaragam yang selalu di luar dugaan hambanya. Pagi ini aku bertemu aryo di parkiran sepeda, kebetulan pagi ini aku berangkat sekolah naik sepeda, karna akan ada rapat lagi untuk membahas pensi sekolah.“Pagi aryo” Sapaku sambil menuntun sepedaku dan memarkinkannya di dekat sepeda aryo.“Eh.. Pagi ra” Jawab aryo sambil mencari suara yang menyapanya.“Gimana yo? Jadi kita ke UGM?” Tanyaku pelan-pelan agar tidak ada yang mendengar.“Jadi, besok sore bisa? Kalau sore gapapa kan? Nunggu motornya bapak dulu” Aryo menjelaskan.Kita bercakap-cakap cukup lama sampai akhirnya aryo masuk ke dalam kelasnya. Kebetulan kelasku dan kelas aryo tidak terlalu jauh, hanya s
Selasa, selalu ada rasa. Seperti janji aryo beberapa waktu lalu saat di pantai. Sore ini aku dan dia akan pergi ke kota, hanya sekedar ingin melihat kampus UGM dari dekat, juga untuk melihat kota saat malam hari. Aryo janji denganku akan menjemputku pukul setengah 4 sore, aku sesegera mungkin bersiap-siap agar jika aryo sampai, tidak tidak marah-marah lagi karna menungguku cukup lama. Sudah menjadi hobbi dia sejak dulu, marah-marah tidak jelas jika bersamaku, padahal jika dengan teman lain, dia hemat bicara.“Aduuhhh... udah jam 3 nih, mandi dululah aku” Ucapku sambil melihat jam yang jarum pendekanya hampir di angka 3, dan jarum panjangnya di angka 11.Aku bergegas mengambil handuk yang aku jemur di belakang rumah, mengunci pintu depan dan pintu belakang, agar tidak ada tetangga yang datang saat aku sedang mandi. Aku mengambil baju di kamar dan membawanya masuk ke kamar mandi. Menghidupkan pompa air, dan air mengalir dari sumur masuk ke dalam bak mandiku.
Setelah mengelilingi Yogya sejak sore, dan aku sudah di antarkan pulang oleh aryo. Aryo langsung menstater motornya, sesegera mungkin ia melaju, menjauh dari rumahku. Aku menunggu motor aryo hingga hilang terlebih dahulu dari kedua mataku. Setelah aryo sudah tidak kelihatan, aku masuk ke dalam rumah."Pak, buk. kakak pulang!" Teriakku sambil membuka pintu."Dari mana saja?" Suara tinggi ibuku yang terdengar sangat judes, sepertinya akan memarahiku."Dari UGM buk sama aryo" Jawabku sambil melepas sepatu.Muka ibuku memerah, beliau berdiri di hadapanku cukup lama dengan tangan menyilang di dada, sembari menungguiku melepas sepatu. Tidak ada sedikit kata-kata yang keluar dari mulut beliau, tapi rasanya ibu akan sangat marah.“Kanapa berdiri seperti itu buk?” Tegur bapak kepada ibu.“Ini lihat anakmu ini, sudah di bilangi berkali-kali masih saja ngeyel” Ibu mulai marah-marah sambil menunjuk ke arahku.Aku terkejud,