Derasnya air sungai yang mengalir saat musim hujan. Sawah-sawah mulai penuh dengan air. Suasana pedesaan yang masih asri, dikala fajar tiba burung bersaut-sautan. Saat senja, pemandangan di ujung desa sangatlah tidak ada duanya. Namaku Clara Arlita Xenasya, mereka memanggilku ara. Aku lahir di tengah keluarga sederhana, orang tuaku hanyalah seorang buruh harian lepas, dan ketika beliau tidak ada panggilan kerja, biasanya beliau menggarap sawah milik pak lurah. Hidup di pedesaan yang masih jauh dari kata tercukupi. Listrik masih sering mati ketika hujan, tabung gas LPG pun tidak semua kebagian, sinyal hanya ada di beberapa titik saja, dan jalan pedesaan yang masih belum di aspal. Akan tetapi desaku kaya akan air yang jernih, dan pemandangan yang indah. Berbeda dengan kota, semua tercukup tapi untuk mendapatkan air bersih saja mereka harus membeli.Teman-temanku selalu berkata bahwa anak desa sepertiku tidak perlu bermimpi tinggi untuk hidup di tengah pe
Menjalani hari-hari tanpa dukungan dari keluarga dan teman-teman, tidak membuatku pesimis akan mimpiku yang akan terwujud ini. Meskipun aku harus menepis semua omongan-omongan yang keluar dari mulut semua orang yang berkata buruk tentang impianku. Mereka semua tidak memiliki mimpi, tidak seperti aku.“Kak, ibu pamit mau kerja dulu ya” Pamit ibuku, pukul 6 pagi.Ibuku bernama Xena wulandari, beliau pernah bermimpi ingin memiliki butik terkenal di kota Yogya, akan tetapi impiannya kandas ketika mendapatkan kabar bahwa orang tua beliau meninggal dalam kecelakaan lalu lintas, yang menyebabkan ibuku harus bekerja serabutan untuk hidup bersama saudara-saudaranya. Sayangnya, setelah kegagalan yang bertubi-tubi menyebabkan ibuku tidak percaya akan mimpinya lagi, maka sampai hari ini, beliau hanyalah seorang buruh cuci di salah satu rumah pengusaha di kota yogya, selain itu terkadang ibuku juga harus mencari tambahan uang untuk bisa membayar buku sekolahku.
Menghabiskan waktu di sekolah tercinta, bercanda ria dengan teman sekelas, mengikuti rapat dengan anggota organisasi, mengikuti ekstrakurikuler dan berdoa agar jadi pulang pagi. Hari begitu seru jika selalu kita syukuri. Bangunan sekolah yang hanya sederhana, mungkin bisa dibilang sudah tidak layak dijadikan sekolah. Akan tetapi, inilah sekolah satu-satunya yang mampu menampung kami, anak-anak orang miskin di pelosok desa. Bahkan ketika hujan anginpun, kita selalu was-was dan berdoa agar dinding kelas tidak roboh.“Pulang sekolah mau kemana, beibbb?” Tanya dea, ke Drimisya Girl. Terdengar sangat lucu, tapi ini nama geng kami, gabungan dari Wulan anggita Utami, Clara Arlita Xenasya, Dea Rahma, dan Bilqis Ria Ramadhani.“Aku langsung pulang, mau belajar” Jawabku cepat.“Dihh... masih aja berharap keajaiban pengen masuk UGM ternyata” Ejek wulan kepadaku.“Udahlah ra, orang tuamu kita itu sama, cuman buruh kadang juga
Memiliki teman yang selalu ada ketika sedang berada di titik terbawah, membuatku selalu bersyukur bisa akrab dengan mereka. Sejak kecil kita memang selalu main bersama, mungkin karna rumah kita yang tidak terlalu jauh, dan mungkin juga karna kesamaan perekonomian yang kita alami. Tapi mendapatkan teman seperti mereka bertiga adalah anugrah yang tidak henti-hentinya aku syukuri, walaupun kita berempat selalu berbeda pendapat, apalagi soal mimpi.Pagi ini, wulan dan dea datang ke rumahku, hanya untuk sekedar mengobrol, akan tetapi ria tidak ikut karna dia sedang pergi ke kota bersama kakak perempuannya. Kita janjian pukul 10 pagi, dan seperti rakyat pada umumnya, janjian jam 10 datangnya habis dzuhur.“Hallooo sayang.. lama banget ya pasti nunggunya hahaha” Sapa wulan mengagetkanku, aku saat itu sedang menjemur jagung di depan rumah sambil menulis sebuah cerpen.“Astaga kaget” Jawabku spontan.“Ini belum malem lo, kok udah mimp
Pagi ini aku bangun lebih awal dari biasanya, karna hari ini adalah hari libur, dan aku ingin ikut ibuku bekerja di kota. Jam 4 pagi aku sudah bangun dan membantu ibuku di dapur. Mulai hari ini, ibuku mencoba menjual donat yang akan di titipkan di warung-warung dekat rumah. Karna perekonomian keluarga kami yang sedang menurun, di tambah sudah 1 minggu bapak sakit, sehingga uang ibuku tidak cukup untuk membeli beras dan memberiku uang saku.“Hari ini clara libur bu, gurunya baru ada rapat buat persiapan ujian, hari ini aku ikut ibu ke kota ya, bantu ibu. Biar kerjaan ibu cepat selesai, terus sorenya kita bisa bikin gorengan buat di titipkan di warung mie ayam, yaa bu. Boleh yaaa!! ” rengekku dengan ibu, agar di bolehkan ikut ke kota. Aku tidak tega melihat ibuku membanting tulangnya sendirian, menanggung nafkah keluarga sendirian.“Boleh, asalkan harus bawa buku, jadi kalau kerjaan agak longgar kamu bisa belajar, deal ya” Perintah ibuku.&
Hari kedua untuk berjualan donat. Aku mencoba membujuk ibu untuk mau menitipkan donat di kantin sekolahku, dan ibu mensetujuinya. Pagi ini kami membuat adonan donat yang lebih banyak dari kemarin, karna donat yang aku titipkan di warung-warung ludes semua terjual. “Donatnya enak dek. Anak-anak tadi sampai pada kehabisan, usul saja nih dek besok bawa lebih banyak”. Begitulah salah satu respon dari pemilik warung yang aku titipi untuk menjual donatku. Hari ini, aku dan ibuku bangun lebih awal. Mungkin besok, kami akan membuat adonannya malam saja, agar bangunnya tidak sepagi ini.“Buk, donatnya di titipin sekolah kayaknya seru, coba dulu aja buk 10 pcs dulu” Usulku dengan ibu, ibuku mulai berfikir-fikir.“Boleh deh kak, kalau gitu kita tambahin bikinnya. Besok kita bikin adonan malam saja kali ya kak, kasian kamu kalau tiap hari harus bangun setengah 3, ngantuk nanti kamu di sekolah” Ucap ibuku sambil menceramahiku.“Iya s
Hari ini, aku dan teman-teman berencana untuk pergi ke pantai parangtritis untuk sekedar refreshing dan mencari suasana baru. Kita berangkat pukul setengah 6 pagi, naik sepeda. Karna rumah ke pantai hanya 45 menit jika menggunakan sepeda. Sekalian kita berolahraga, karna sudah lama tidak sepedaan bersama-sama. Pagi ini kami pergi ber 8. Aku, dea, wulan, ria, aryo, reno, tasya dan doni.“Ra...clara, udah siap belum?”Teriak aryo dari luar rumah sambil mengetok pintu.Aryo menunggu cukup lama, karna suaranya tidak terdengar sampai dalam rumah. Aryo mengulangi untuk mengetok pintu lagi.“Claraaaa!!! Udah siap belum!!” Teriak aryo lagi.Aku yang mendengar suara aryo langsung berlari ke pintu depan untuk membukakan pintu. Sambil menyambut aryo.“Selamat pagi putra kesayangan pak lurah! Saya clara arlita xenasya, sudah siap menjadi beban sepedaan anda” Ucapku dengan aryo setelah aku membuka pintu.“Hayukkk.
Sepagi ini bapak sudah mengayuh sepedanya yang sudah rusak untuk pergi ke kota. Saat matahari masih belum muncul, bahkan langit masih sangat gelap. Suasana desa masih sunyi, belum ada suara orang-orang menyapu halamannya. Dua minggu lagi adalah ulang tahunku yang ke 17, bapak menjajikanku sebuah kado yang tidak akan aku duga sama skali. Berkali-kali aku menolak untuk diberikan kado oleh beliau, akan tetapi bapak selalu berkata “Bapak akan kasih kado buat kamu, kakak harus terima pemberian bapak”.Bapak, sosok laki-laki cinta pertamaku yang tidak pernah menyakiti hatiku, walaupun aku selalu mengelak, tapi beliau selalu menganggapku sebagai putri sematawayangnya yang masih belajar merangkak. Belum di izinkan untuk pergi jauh sendirian ataupun hanya sekedar tidak diizinkan untuk memiliki pacar. 27 Desember 2004 adalah angka kelahiranku, begitupula di hari itu, orang tuaku resmi mendapat sebutan bapak dan ibu.“Ehh.. pak budi.. pagi-pagi begin