"Sayang, aku harus pergi sekarang. Kamu disini, bersama asisten rumah tangga kita, ya." Hans yang baru saja selesai menerima telpon dari istri pertamanya itu, tampak terburu buru, dan akan pergi meninggalkan Ratih, yang baru beberapa jam dinikahinya.
"Ya, pergilah." Ratih yang sadar akan posisinya saat itu, tak mencegah Hans sama sekali.
"Aku akan segera kembali, sayang. Jaga diri kamu, dan juga calon anak kita. Semua keperluan kamu, sudah aku siapkan disini. Dan, ini, kalau kamu bosan, dan mau pergi jalan jalan, pakailah kartu ini. Ada uang didalamnya. Kamu bisa pakai semau kamu." Ujar Hans, sembari menyerahkan sebuah kartu debit ketangan Ratih, yang disertai anggukan kecil dari wanita itu.
"Kalau begitu, aku pergi dulu. Aku akan segera kembali. Aku mencintaimu." Hans mencium kening Ratih, dan bergegas pergi meninggalkannya.
Ratih yang saat itu tak ingin berniat pergi kemanapun, hanya merebahkan dirinya dirumah baru miliknya itu. Kehamilannya juga me
Thank you for reading, dear ❤️
"Aku tidak akan membiarkan kau hidup dengan tenang, wanita jalang. Aku akan merenggut semua yang sudah diberikan suamiku padamu. Aku akan menghancurkanmu, Ratih Andriana!" Ancam wanita yang sedang berbicara disebrang sana pada Ratih. "Hans ada ditanganku sekarang. Aku tidak akan membiarkanmu bertemu dengannya lagi, pelac*r!" Wanita yang berbicara ditelpon itu, berteriak memaki Ratih, sebelum kemudian dia tertawa dengan keras. Ya, itu adalah suara Lydia Sari. Ancaman keras yang dilontarkannya pada Ratih, membuat pikiran Ratih semakin kalut. Namun, kata katanya juga membuat Ratih merasa bingung. Apa yang dimaksudkan wanita itu? Mengapa dia berkata bahwa Hans berada ditangannya? Apakah Hans masih hidup? Semua pertanyaan itu mengitari kepala Ratih. "Ratih, aku mengerti semuanya. Ini adalah sebuah konspirasi. Hans tidak meninggal. Ini berita palsu. Lupakan tentangnya dulu. Sekarang, selamatkan dirimu dan calon bayimu. Nyawamu sedang dalam bahaya." Jupri yang
"Sebuah rumah mewah dikawasan Jalan Setia Agung, ludes terbakar api. Tidak ada korban jiwa disana, namun diduga, kebakaran tersebut adalah sebuah kesengajaan. Saat ini, polisi masih menyelidiki penyebab kebakaran yang melalap rumah yang lagi lagi, masih diduga adalah milik pengusaha terkenal Hans Hermawan, yang baru saja meninggal dunia kemarin sore," berita yang dibawakan oleh seorang News Anchor disiaran televisi pada pagi itu, sontak membuat jantung Ratih berdegup kencang. Bagaimana tidak, rumah yang dimaksudkan itu, adalah rumah yang ditinggalkannya malam tadi."Sayang banget, ya, rumahnya. Memang ada ada saja kejahatan manusia saat ini. Untung saja, tidak ada orang didalamnya," ujar Bi Jum pada Ratih, yang tidak tau bahwa rumah yang dimaksud, adalah milik Ratih. Namun, ketika melihat ekspresi wajah, dan keringat dingin didahi Ratih yang duduk disampingnya, juga nafas Ratih yang tersengal sengal karna merasa sangat panik, perhatian Bi Jum langsung tertuju pada Ratih.
Enam tahun hidup dengan pertolongan Jupri, Ratih merasa sangat tidak enak hati. Jupri sudah terlalu banyak membantunya dan buah hatinya yang kini sudah berusia lima tahun. Ratih selalu saja meminta izin pada Jupri untuk pergi dari rumah Bi Jum, namun Jupri tak pernah mengizinkan. Terlebih, Jupri sudah sangat menyayangi putri kecil Ratih yang diberi nama Kamila itu.Hingga satu hari, Ratih tak lagi bisa menahan dirinya untuk meninggalkan rumah tersebut untuk mencari pekerjaan. Mengingat, Jupri hanyalah seorang pegawai kantor pos, yang mendapat gaji tak seberapa.Ratih mengirim pesan pada Jupri,[ jupri, maafkan aku. Aku harus pergi. Aku tak bisa terus-terusan merepotkanmu dan juga Bibi. Sekarang aku sudah memiliki tanggung jawab sendiri. Jadi, aku mohon, jangan halangi aku. Dan satu lagi, sampaikan salam dan terima kasihku pada Bi Jum. Aku tidak pamit padanya, karna aku tau, dia pasti juga tak akan mengizinkanku untuk pergi. Bi Jum sedang pergi ke pasar. Sampaikan
"Setelah hari itu, Bapak tak pernah menerima kabar dari Ratih lagi. Yang Bapak dengar dari banyak orang, Ratih kembali bersama Maya ke tempat mucikari itu. Dan, Ratih diduga sudah tiada sebab terbakar disana," Jupri mengakhiri kisah Ratih yang sejak tadi diceritakannya pada Setya dan Rizki yang mendengarkan dengan seksama.Kedua pemuda itu mengangguk pelan. Di benak mereka, masih ada segudang pertanyaan perihal kisah Ibunda dari Kamila itu. Terlebih lagi Setya, yang masih belum bisa menemukan titik terang dan solusi terhadap kendala pernikahannya dan Kamila."Ini cukup rumit, Nak," ujar Jupri memecah keheningan."Benar, Pak. Setya masih menyimpan banyak pertanyaan dari kisah masa lalu Ibu Ratih yang Bapak ceritakan," Setya memijit pelipisnya pelan. Dia tampak sangat tertekan atas semua ini. Terlebih, dia tak memiliki jawaban dari apa yang sudah Pak Jupri ceritakan padanya."Pak, mohon maaf, tadi Bapak bilang bahwa Bapak memiliki istri da
Tok..tok..tok.."Selamat siang." Pria berseragam polisi, mengetuk pintu sebuah rumah. Tak sendirian, pria itu ditemani oleh dua orang yang berseragam sama dengannya, dan seorang lagi berpakaian rapi."Siapa, ya?" sahut seorang wanita dari dalam rumah itu, sambil membuka daun pintu rumahnya."Dengan saudari Utari?" tanya seorang polisi wanita padanya."Oh, bukan. Saya Rima. Utari itu putri saya. Ini, ada urusan apa, ya, Bapak dan Ibu polisi ini mencari putri saya? Loh, ini, Pak Wiguna, juga ada urusan apa?" Wanita itu tampak gugup sekaligus heran, menyaksikan tiga orang polisi berdiri di hadapannya, dan menanyakan perihal putrinya.Dia juga heran, mengapa Pak Wiguna, yang merupakan Ayah dari Setya, juga datang ke rumahnya."Bisa tolong panggilkan saudari Utari, Bu?" Tanpa menjawab pertanyaannya, salah satu dari polisi itu kembali bertanya perihal Utari."Ada. Dia ada. Tapi, katakan dulu ini, ada apa? Saya bingung ini, Pak. Kenapa
"Pak, ayo, Pak. Kita susul Utari, Pak. Kasihan dia di sana. Dia pasti ketakutan, Pak," rengek bu Rima pada suaminya, agar mau mendatangi Utari ke kantor polisi."Lebih kasihan lagi pada Kamila, Bu. Dia sudah dilukai oleh Utari. Entah apa salah gadis itu padanya." Pak Darso masih tak habis fikir atas apa yang sudah diperbuat oleh putrinya.Mungkin, jika di kota besar, hal seperti ini adalah hal sepele. Namun, mereka tinggal di desa, yang masih sangat menjunjung tinggi tata krama. Terlebih lagi, yang disakiti oleh Utari itu adalah Kamila. Siapa yang tak terenyuh hatinya dengan gadis itu. Mengingat, Kamila dikenal sebagai seorang gadis baik dan sopan santun."Bapak ini kenapa, sih! Bukannya membela anak sendiri, malah belain anak tidak jelas itu." Bu Rima mendengkus kesal, mendengar penuturan dari suaminya."Jelas saja, Bu. Bapak tak mungkin membela perbuatan yang salah. Sekalipun, Utari adalah anak bapak," jawab pak Darso."Jadi, bapak tidak mau mene
"Bapak kenapa berpasrah diri seperti tadi, Pak? Kenapa tak berupaya membebaskan anak kita?"Di perjalanan sepulang dari kantor polisi, bu Rima bersungut kesal pada suaminya. Dia menyalahkan sikap suaminya yang sama sekali tak memberi pembelaan pada putri semata wayang mereka, saat di kantor polisi tadi."Tidak perlu melakukan itu. Biar anakmu itu kapok sekali-kali. Biar dia tau, bahwa tak semua bisa dia selesaikan hanya dengan emosi." Suara pak Darso yang bercampur dengan deru sepeda motor yang dikendarainya, berusaha menjelaskan pada bu Rima agar tak bertingkah berlebihan membela kesalahan anaknya.Mendengar penuturan suaminya, bu Rima pun hanya tertunduk diam. Sadar, bahwa apa yang diucapkan oleh suaminya itu, adalah hal yang benar. Meskipun, di hatinya masih merasa tak terima atas apa yang sudah menimpa putrinya."Kita langsung pulang!" pekik bu Rima tepat di kuping pak Darso yang kini sedang memboncengnya.Tanpa menjawab, pak Darso
"Bunda, bisakah Kamila meminta sesuatu, Bun?"Sekepulangan bu Indri serta pak Darso, Kamila berbicara pada bu Indri yang kini dipanggilnya dengan sebutan 'Bunda', meminta sesuatu pada wanita paruh baya yang masih setia menemaninya itu."Tentu saja, Nak. Kamila tak pernah meminta apapun pada bunda. Katakan, apa yang Kamila inginkan," jawab bu Indri pada calon menantunya itu."Bolehkah, jika Utari dibebaskan saja tanpa menunggu sidang?"Ada keraguan dalam setiap kata yang Kamila lontarkan. Namun, Kamila harus mengutarakannya. Dia yang memang awalnya menolak untuk memperpanjang masalah ini, semakin yakin untuk mencabut semua laporan yang sudah dilayangkan. Hatinya iba melihat bu Rima yang terlihat sangat terpukul saat ini."Kamila yakin, Nak?" Bu Indri yang sangat paham dengan karakter Kamila, bertanya apakah Kamila benar yakin akan keputusannya."Iya, Bun. Kamila tidak tega melihat bu Rima seperti itu. Dia sangat menyayangi Utari.