"Pak, ayo, Pak. Kita susul Utari, Pak. Kasihan dia di sana. Dia pasti ketakutan, Pak," rengek bu Rima pada suaminya, agar mau mendatangi Utari ke kantor polisi.
"Lebih kasihan lagi pada Kamila, Bu. Dia sudah dilukai oleh Utari. Entah apa salah gadis itu padanya." Pak Darso masih tak habis fikir atas apa yang sudah diperbuat oleh putrinya.
Mungkin, jika di kota besar, hal seperti ini adalah hal sepele. Namun, mereka tinggal di desa, yang masih sangat menjunjung tinggi tata krama. Terlebih lagi, yang disakiti oleh Utari itu adalah Kamila. Siapa yang tak terenyuh hatinya dengan gadis itu. Mengingat, Kamila dikenal sebagai seorang gadis baik dan sopan santun.
"Bapak ini kenapa, sih! Bukannya membela anak sendiri, malah belain anak tidak jelas itu." Bu Rima mendengkus kesal, mendengar penuturan dari suaminya.
"Jelas saja, Bu. Bapak tak mungkin membela perbuatan yang salah. Sekalipun, Utari adalah anak bapak," jawab pak Darso.
"Jadi, bapak tidak mau mene
"Bapak kenapa berpasrah diri seperti tadi, Pak? Kenapa tak berupaya membebaskan anak kita?"Di perjalanan sepulang dari kantor polisi, bu Rima bersungut kesal pada suaminya. Dia menyalahkan sikap suaminya yang sama sekali tak memberi pembelaan pada putri semata wayang mereka, saat di kantor polisi tadi."Tidak perlu melakukan itu. Biar anakmu itu kapok sekali-kali. Biar dia tau, bahwa tak semua bisa dia selesaikan hanya dengan emosi." Suara pak Darso yang bercampur dengan deru sepeda motor yang dikendarainya, berusaha menjelaskan pada bu Rima agar tak bertingkah berlebihan membela kesalahan anaknya.Mendengar penuturan suaminya, bu Rima pun hanya tertunduk diam. Sadar, bahwa apa yang diucapkan oleh suaminya itu, adalah hal yang benar. Meskipun, di hatinya masih merasa tak terima atas apa yang sudah menimpa putrinya."Kita langsung pulang!" pekik bu Rima tepat di kuping pak Darso yang kini sedang memboncengnya.Tanpa menjawab, pak Darso
"Bunda, bisakah Kamila meminta sesuatu, Bun?"Sekepulangan bu Indri serta pak Darso, Kamila berbicara pada bu Indri yang kini dipanggilnya dengan sebutan 'Bunda', meminta sesuatu pada wanita paruh baya yang masih setia menemaninya itu."Tentu saja, Nak. Kamila tak pernah meminta apapun pada bunda. Katakan, apa yang Kamila inginkan," jawab bu Indri pada calon menantunya itu."Bolehkah, jika Utari dibebaskan saja tanpa menunggu sidang?"Ada keraguan dalam setiap kata yang Kamila lontarkan. Namun, Kamila harus mengutarakannya. Dia yang memang awalnya menolak untuk memperpanjang masalah ini, semakin yakin untuk mencabut semua laporan yang sudah dilayangkan. Hatinya iba melihat bu Rima yang terlihat sangat terpukul saat ini."Kamila yakin, Nak?" Bu Indri yang sangat paham dengan karakter Kamila, bertanya apakah Kamila benar yakin akan keputusannya."Iya, Bun. Kamila tidak tega melihat bu Rima seperti itu. Dia sangat menyayangi Utari.
"Setya? Kenapa, Ayah?""Setya tak mungkin membiarkan Utari bebas begitu saja, Nak. Kamu tau, bagaimana marahnya dia saat tau kamu dilukai?"Pak Wiguna yang tiba-tiba teringat pada Setya, menjelaskan pada Kamila, bahwa Setya tak akan mungkin mengizinkan untuk membebaskan Utari begitu saja. Terlebih, Setya sudah mempercayakan masalah ini untuk diurus olehnya."Masalah Setya, biar Kamila yang bicara padanya nanti, Ayah. Kamila yakin, Setya pasti akan mengerti. Benar, kan, Bun." Kamila menengok ke arah bu Indri, yang dibalas anggukan dari wanita itu. Kamila juga kembali meyakinkan pak Wiguna untuk segera membawa Utari kembali ke rumahnya."Baiklah, Nak. Ayah akan mengurus pembebasan Utari. Ayah tutup telponnya, ya." Pak Wiguna akhirnya menyetujui perkataan Kamila, meskipun keputusan ini akan membuat Setya kecewa kala mengetahuinya."Terima kasih banyak, Ayah." Dengan hati lega, Kamila kembali berucap terima kasih pada Wiguna, sebelum Wiguna menut
Dengan sedikit rasa takut, Kamila memberanikan diri untuk menjawab panggilan vidio dari Setya. Khawatir, jika Setya bertanya perihal perkembangan kasus Utari. Kamila takut salah bicara, jika Setya menyinggung hal itu."Hai, Kamila. Apa kabarmu?" tanya Setya dari seberang sana, sesaat setelah Kamila menjawab panggilannya."Emm...seperti yang kamu lihat, Setya. Aku sangat baik," ujar Kamila menyunggingkan senyum tipisnya, dengan pandangannya yang tidak fokus ke layar ponsel, karna malu dengan Setya."Iya. Aku melihatnya. Bagaimana lukanya? Apa masih perih?"Untuk kesekian kalinya, Kamila mendapatkan pertanyaan yang sama hari ini. Kamila merasa sangat bersyukur, sebab dikelilingi oleh orang-orang yang perduli padanya."Ya. Sudah tidak apa-apa. Ayah juga sudah memberi salap. Nanti sebelum tidur, aku akan mengoleskannya.""Kamu sedang apa? Apa sudah sholat?"Kamila berusaha mengalihkan pembicaraan, agar Setya tak membahas perih
BruuuukSuara gebrakan pintu terdengar dari arah luar. Kamila dan juga Setya, yang masih berada di dalam panggilan vidio itu, lantas terkaget mendengarnya."Hei, buka pintu ini! Cepat!" Suara parau itu memanggil, seraya menggedor-gedor daun pintu.Kamila hapal benar, siapa pemilik suara yang berteriak di balik pintu. Itu adalah suara kakek Parmin. Lelaki tua bangka yang sudah sejak seminggu tidak pulang ke rumah."Setya, itu kakek," ujar Kamila mengadu pada Setya.Mendengar nama pria tua yang sangat dibencinya itu, Setya tak mampu lagi menahan amarahnya. 'Untuk apa dia kembali?' decitnya."Setya, aku akan membukakan pintu. Tunggu sebentar, ya." Kamila berniat untuk membuka pintu untuk kakeknya itu."Kamila. Hentikan! Apa yang akan kamu lakukan? Bagaimana jika dia bertindak kasar padamu!" Setya berusaha mencegah Kamila untuk membukakan pintu.Tak menghiraukan Setya, Kamila meletakkan ponselnya di atas meja, dan bergegas pe
"Kamila, ini ada apa, Nak?" Bu Indri langsung menghampiri Kamila sesaat setelah sampai di rumah Kamila.Bu Indri sangat khawatir akan keadaan putrinya itu. khawatir jika kakek Parmin menyakitinya lagi Namun, semua tertepis, kala melihat keadaan kakek Parmin yang cukup memprihatinkan."Tidak apa, Bun. Hanya saja, kakek ... tolong obati kakek," mohon Kamila."Iya Nak. Tenanglah. Ayah akan segera memeriksa keadaan kakek. Kamila tenang, ya," ujar bu Indri menenangkan Kamila, yang diikuti anggukan gadis itu.Pak Wiguna tampak dengan sigap mengeluarkan alat-alat medisnya untuk mensterilkan luka kakek Parmin, yang terlihat cukup serius. Bekas goresan kaca di sekitar kelopak mata kakek Parmin, menjadi sasaran utama pemeriksaan pak Wiguna.Pelan, pak Wiguna mulai menanyakan kakek Parmin tentang apa yang sudah menimpa beliau, "Pak Parmin, ada apa ini sebenarnya? Mengapa sampai terluka parah seperti ini?""Tidak, Nak. Tuhan sedang menegur s
Adzan subuh membangunkan Kamila. Meski dengan mata yang masih terasa berat karna tidur terlalu larut malam tadi, Kamila tetap memaksakan dirinya untuk bangun dari tempat tidur.Kamila ke luar dari kamar, untuk mengambil air wudhu. Karna melewati kamar kakeknya, Kamila melihat dulu ke arah kamar itu. Perlahan, Kamila masuk dengan menyibak tirai yang dipakai sebagai penutup pengganti pintu kamar."Kakek," panggil Kamila saat tak melihat siapapun di dalam kamar.Namun, suara gemericik air di kamar mandi, menjadi tanda bahwa sang kakek berada di sana."Eh, Kamila. Sudah bangun, Nak," sapa kakek Parmin pada Kamila setelah ia keluar dari bilik kecil."Iya, Kek. Kamila mau ambil wudhu," ucap Kamila tersenyum."Sholatnya bareng sama kakek, ya. Kakek mau mulai sholat lagi. Kamila ajari kakek, ya. Kakek sudah lupa." Kakek Parmin meminta Kamila untuk menuntunnya mendirikan sholat setelah sekian lama ia tak melakukannya.Kamila mengangguk m
[Kamila, aku akan kembali hari ini. Kita akan menikah dalam kurun beberapa hari. Persiapkan dirimu, Sayang. Aku mencintaimu.]Hati Kamila sangat bahagia membaca pesan singkat tersebut. Ingin dibalasnya, namun dia tak tau harus bicara apa. Sang pangeran akan segera kembali untuk mempersuntingnya. Masih diliputi rasa bahagia yang menyeruak begitu saja dalam hatinya, Kamila dikejutkan oleh suara ketukan pintu dari luar rumah. "Assalamu'alaikum." Seseorang mengucap salam. Kamila tau betul itu adalah bu Indri.Kamila langsung saja membukakan pintu setelah memasang hijab di kepalanya."Wa'alaikumsalam, Bun. Silahkan masuk, Bunda." Kamila mempersilahkan segera wanita paruh baya itu untuk masuk ke rumah. Meskipun dia agak heran dengan beberapa orang yang datang bersama bu Indri, karna ia tak pernah melihat orang-orang itu."Kamila. Setya akan pulang, Sayang. Kalian akan segera menikah. Bunda sangat bahagia." Bu Indri memeluk Kamila. Dielusnya lembut punggung calon menantunya itu.Kamila mem