Share

3. Dua Pilar Cinta

Sungguh, Raihan berharap bila kejadian kemarin adalah mimpi buruk yang akan lenyap ketika terbangun. Bagaimanapun juga, menikah dengan seorang gadis yang tak pernah ia kenal adalah sesuatu yang gila. Ia percaya bila pernikahan adalah sesuatu yang sakral, bukan candaan apalagi permainan. Satu-satunya alasan Raihan mengangguk setuju adalah karena bapaknya. Ia tak ingin mengecewakan orang tua tunggalnya.

 Raihan menghela napas berat, lantas mengetuk pintu beberapa kali. Begitu terbuka, ia mundur beberapa langkah saat pria berbadan tegap muncul dari celah yang terbuka. “Pak,” ucapnya.

Tak lama kemudian, sebuah mobil hitam menepi di depan kediaman. Seorang pria lantas turun dari kendaraan, kemudian berbincang sebentar dengan Rojak mengenai persiapan dari mempelai pria.

“Masuk,” pinta Rojak.

Meski belum sepenuhnya mengerti, Raihan menurut. Ia duduk di kursi belakang bersama Rojak. Tak lama setelahnya, mobil kembali melumat jalanan.

“Kamu sudah membaca informasi tentang calon istri kamu?” tanya Rojak tanpa menoleh pada lawan yang diajak bicara. Pandangannya lurus ke depan.

“Su-sudah, Pak,” jawab Raihan setengah berbohong. Sejujurnya, ia hanya membaca nama gadis itu saja.

Selama perjalanan, suasana di dalam mobil dilahap sunyi. Sopir sesekali memberitahu mengenai persiapan pernikahan di lokasi mempelai wanita. Raihan sama sekali tak peduli. Ia lebih memilih menoleh ke sisi jalan, memperhatikan gambaran pemandangan.

Raihan mengamati Rojak dari pantulan kaca. Sekilas ia melihat kabut bersemayam di kedua netra sang bapak. Pria paruh baya itu nyatanya masih tampak gagah di usianya yang hampir menginjak setengah abad. Saat pemuda itu hendak bertanya, mobil segera berbelok dan memasuki sebuah jalan yang sisi kiri dan kanannya dipenuhi pepohonan rindang.

“Pak, kita sebenarnya mau ke mana?” tanya Raihan, “ini seperti hutan.”

Rojak sama sekali tak menggubris. 

Dari kejauhan, Raihan melihat sebuah bangunan. Begitu jarak menipis, ia mendapati sebuah rumah megah dengan pagar tinggi yang mengelilingi gedung. Pemuda itu sempat bercelotoh kalau tempat itulah yang menjadi lokasi pernikahannya. Akan tetapi, tak lama kemudian, ia justru menertawakan dirinya sendiri di dalam hati.

Namun, apa yang terjadi justru di luar dugaan. Mobil memasuki gerbang rumah megah itu, kemudian menepi di depan orang-orang berseregam hitam yang sudah berjajar di sisi kiri dan kanan jalan. Raihan turun dengan perasaan tak tentu, anatara kagum, takut, juga penasaran di saat yang sama. Orang-orang itu mulai membungkuk saat dirinya berjalan.

“Sang pangeran sudah datang,” pekik seorang pria yang berdiri di depan teras bangunan. Suara tepuk tangan dari orang-orang yang membungkuk tadi seketika meramaikan suasana.

Keriuhan ini sungguh membuat Raihan bingung. Ketika menoleh ke arah Rojak, pria itu justru tampak tak terganggu. Pemuda itu kemudian menunduk, mencoba memahami situasi yang terjadi. Entah mengapa semua pandangan tertuju padanya.

Begitu jarak terkikis, pria tambun yang berteriak tadi seketika memeluk singkat Raihan. Ia memerintahkan beberapa pelayan wanita untuk membawanya ke ruangan rias.

“Kamu ikut dengan mereka, Han,” ujar Rojak saat Raihan akan menolak ajakan, “Bapak harus harus ngobrol dulu dengan calon mertua kamu.”       

Raihan mengangguk ragu. Saat ia mulai berjalan, ia sempat menoleh ke arah bapaknya dan pria tambun itu yang kini sudah lenyap dilahap pintu. Pemuda itu dibawa ke sebuah ruangan, kemudian diminta untuk memilih beberapa setelan jas yang ditawarkan. Setelah menentukan pilihan, para pelayan wanita itu mulai menata penampilannya.

Di tempat lain, Rania tengah mondar-mandir di dalam kamar. Gadis itu mengurung diri semenjak sadar dari pingsan. Ia tak ingin menemui papa dan mamanya karena jengkel, terlebih saat tahu pria tambun itu menyita seluruh gawainya.  Kekesalannya kian bertambah saat tahu jika seluruh rumah sudah dihias dengan dekorasi khas pernikahan.

Rania menghela napas berat. Rasanya butuh kekuatan monster untuk bisa mengobrak-abrik seisi rumah. Ia amat kesal, terlebih saat mengintip melalui celah tirai. Para penjaga sudah lalu-lalang di sekeliling kamar, menjaganya agar tak kabur.

Sebenarnya, Rania bisa saja mengancam akan bunuh diri seperti waktu lalu. Namun, sepertinya kali ini tidak akan berhasil. Papanya sudah tahu kalau hal itu hanya gertakan biasa. Gadis itu pernah mengancam akan terjun dari balkon kamar. Akan tetapi, papanya malah memanggil wartawan untuk mengabadikan momen saat dirinya akan lompat. Katanya, kapan lagi melihat beruang terbang.

“Kesel banget gue!” gerutu Rania sembari mengentakkan kaki.

Rania buru-buru melempar tubuh ke kasur saat pintu kamar diketuk dari luar. Ia menutup seluruh tubuh dengan selimut tebal. Di saat seperti ini, gadis itu harus menunjukkan kemampuan akting yang mumpuni. Wajah, tangan dan kakinya sudah ditempeli dengan busa-busa kecil yang menyerupai jerawat. Untuk memuluskan peran, Rania berpura-pura menggigil.

“Bi-bilang ... sama papa gue ... kalau gue sakit. Jadi, pernikahan ini batal,” ucap Rania saat empat pengawal pria masuk ke kamar. “Sekarang, lu semua keluar. Gue mau istirahat.”

Akan tetapi, bukannya menurut, para pengawal itu malah menyingkap selimut, kemudian  mengangkat tangan dan kaki Rania tanpa permisi.

Jelas saja Rania tak terima. Matanya seketika memelotot. “Kurang ajar! Lu pikir gue kambing guling! Lepasin gue!” Rania berontak, menggeliat bak cacing kepanasan. Para pengawal itu membawanya ke sebuah kamar, kemudian melempar tubuhnya ke atas kasur. “Gue kutuk lu semua jadi jigong Firaun!”

Empat pengawal pria itu keluar dari kamar. Setelah duduk di kasur, Rania melihat tiga orang pelayan wanita masuk ke ruangan. “Gue ini kena virus baru. Kalian harus jauh-jauh dari gue kalau gak mau ketularan,” ucapnya sembari menunjuk gumpala merah di sekujur tubuh.

Nyatanya, ucapan Rania hanya dianggap angin lalu. Tanpa dinyana, para pelayan wanita itu membawa satu setel pakaian pengantin. Benjolan merah yang menempel dengan cepat disingkirkan. Akting Rania gagal total. Gadis itu kian frustrasi saat Ratnawan tiba-tiba muncul dari celah pintu.

“Bawa si ketek anoa ini ke ruangan tunggu setelah beres,” ujar Ratnawan dengan tatapan tajam. Setelahnya, ia menghilang dari kamar.

Rania langsung mengerucutkan bibir. Ia tahu kalau papanya serius saat mengatakan hal itu. Jujur saja, ia tak berani membantah kalau sudah begini. Mau tak mau, ia harus menurut. Namun, tunggu dahulu. Rania belum melihat hasil riasannya. Ia ingin tahu, apakah dirinya bisa secantik Irene RV atau tidak.

Tak ada masalah dari riasan. Ia justru tampak lebih cantik. Namun, yang menjadi kendala adalah pakaian dan kerudung yang dikenakan. Rasanya sesak dan panas. Ini seperti bukan dirinya saja. Ketika berjalan ke luar kamar, ia mengalami kesulitan karena rok yang panjang dan sempit.

Rania tiba-tiba saja berteriak saat mengingat kalau ia akan menikah dengan seorang ustaz. Pantas saja ia diminta memakai kerudung. Jelas, ini tak bisa dibiarkan. Gadis itu tak mau masa depannya hancur karena pernikahan ini. Untuk itu, ia harus segera kabur. Namun, baru saja celingukan, para pengawal langsung bersiaga di kiri dan kanan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status