Share

5. Dua Pilar Cinta

Satu hal yang Rania inginkan sekarang hanyalah mengecat wajah papanya saat tidur, lalu mendandani pria itu dengan kostum bayi. Untuk langkah akhir, ia akan memotretnya, lantas menjadikannya sebagai stiker WA.

Berbicara tentang masa depan, hal itu sudah raib setelah pernikahan ini terjadi. Realita berkata bila ucapan papanya kemarin bukanlah sekadar gertakan. Saat ini, Rania sudah menyandang gelar istri dari seorang pria yang tengah duduk di sampingnya. Ganteng, sih, dan untungnya bukan aki-aki seperti dalam bayangan.  

Sejak tadi, Rania terus saja melirik sinis lelaki di sampingnya seraya mengacung-acungkan satu tangan ke udara. Rania bermaksud agar lelaki itu sedikit menjauh dan tak berani macam-macam dengannya. Namun, yang terjadi justru pemuda itu malah mengangkat gelas, lalu memindahkan benda itu ke depan Rania.

Dasar laki-laki enggak pernah peka.

“Maksud gue tuh, lu jauh-jauh dari gue!” Rania mengerucutkan bibir, kemudian melipat tangan di depan dada. “Tadi siapa nama lu?”

“Sayang,” tegur Risa seraya mengelus punggung tangan Rania.

“Namanya Raihan, dan dia seorang santri,” jawab Ratnawan, “kamu harus banyak belajar sama dia, Rania,” ujarnya kemudian.

“Mimpi,” cibir Rania sembari melempar kulit kacang ke wajah Raihan.

“Yang sopan sama suami kamu!” Ratnawan memelotot.

“Papa!” Rania refleks melayangkan tendangan. Nahas, kakinya malah menendang  meja. “Papa, sakit ih! Kenapa Papa ngehindar, sih?”

“Emang enak.”

“Awas aja nanti aku bales.” Rania merotasikan bola mata, kemudian kembali melempar kulit kacang pada Raihan.

Menghadapi kelakukan Rania, Raihan hanya diam seakan tak terganggu.

“Jadi begini, Nak Raihan,” ujar Ratnawan dengan mimik serius, “karena Nak Raihan sudah resmi jadi suami Rania, Nak Raihan bebas ngelakuin apa aja sama Rania. Saya ikhlas.”

Mendengarnya, Rania seketika melongo. Kalau boleh jujur, ini hari terburuk yang dialami gadis itu. Ia harus merelakan masa depannya dirampas oleh pernikahan bodoh ini, ditambah baru saja ia mendengar kalau sang papa memberikan lelaki asing itu kesempatan untuk berbuat seenaknya padanya. Benar-benar menyebalkan.

“Maksud Anda?” tanya Raihan bingung.

“Anda Andi Ondo,” celetuk Rania sembari melempar kulit kacang lagi pada Raihan. “Maksudnya tuh lu bimbing gue!”

“Nah benar yang dikatakan si kerupuk jengkol ini,” sahut Ratnawan. Segaris senyum timbul dari bibirnya. “Tolong bimbing anak saya biar jadi manusia seutuhnya.” 

“Papa! Kalau aku bukan manusia, terus Papa apa?" Rania mengentak kaki sebal. “Dan jangan nyuruh-nyuruh si Raiko rasa ayam ini buat bimbing aku! Aku bukan pemudi tersesat!”

Ratnawan memelotot. “Diem kamu, Rania.”

“Papa! Aku aja gak kenal sama dia. Dia itu orang asing. Jadi, dia gak pantes buat menuhin permintaan aneh Papa.”

“Nak Raihan, kamu bebas ngelakuin apa aja sama anak saya.” Ratnawan sama sekali tak menggubris rengekan Rania. “Tolong kamu balikin kodrat anak saya sebagai manusia.”

“Saya benar-benar gak ngerti,” ucap Raihan.

“Ih dasar lu, ya.” Rania yang tadi duduk berselonjor refleks berdiri. “Otak lu kayaknya ketinggalan di pesantren. Maksud si siluman tabung gas ini, lu harus bimbing gue.”

“Sayang,” sela Risa sembari menarik Rania agar kembali duduk.

 Ratnawan berdeham. “Apa yang dikatakan tutug oncom ini benar. Tapi, ada hal lain yang harus Nak Raihan tahu. Sebenarnya, sejak lama kami rindu suara bayi di rumah ini. Jadi, kami minta kamu untuk menghamili Rania dalam tempo sesingkat-singkatnya.”

Sontak tiga orang yang ada di ruang keluarga itu tercengang. Beberapa detik lamanya ruangan ini hening tanpa suara. Rania tak sadar jika kacang yang sedang dikupasnya jatuh. Ia merasa jantungnya tiba-tiba  berdetak cepat. Untung saja organ itu tak meledak. Raihan sendiri hanya bisa menatap Ratnawan tanpa bisa berkata-kata.

“Dan waktu yang kalian berdua punya hanya empat bulan,” lanjut Ratnawan.

“Papa!” Rania seketika bangkit, melempar bantal ke arah Ratnawan. Sayang, papanya sama sekali tak peduli. Pria itu malah sibuk mendorong kursi roda istrinya menuju kamar. “Papa!”

“Selamat bersenang-senang,” ujar Ratnawan sebelum menghilang di balik dinding.

Rania yang masih sibuk mengatur napas akhirnya menjatuhkan tubuh dengan mulut menganga. Saking kaget mendengar permintaan itu, ia mendadak kehilangan hasrat untuk melanjutkan hidup. Gadis itu serasa berada di ujung kehidupan. Ingin bunuh diri, tetapi enggan masuk neraka.

Rania menatap dinding tempat terakhir kali papa dan mamanya terlihat. Tubuhnya tiba-tiba saja bergetar hebat.  Ia mengembus napas panjang, kemudian memijat kepala. Adakah hal yang lebih gila lagi setelah ini?

Ketika keterkejutannya mereda, Rania segera memelototi Raihan. Ia melempar bantal ke arah pemuda itu, kemudian berkata sembari berkacak pinggang, “Jangan pernah sentuh gue! Ngerti lu Raiko ayam!”

Dibanding membalas, Raihan lebih sibuk memperhatikan tingkah Rania yang dianggapnya berlebihan. Namun, hal ini semakin menegaskan kalau gadis ini adalah pelaku kerusuhan di pesantren beberapa waktu lalu.

“Bagus, kalo lu ngerti. Soalnya gue gak segan-segan buat hidup lu menderita.” Rania tersenyum angkuh. “Lu harus tau kalau gue gak nganggap lu sebagai suami gue sampai kapan pun. Lu itu cuma orang asing yang beruntung karena bisa masuk ke rumah ini. Gue gak tau apa tujuan dari pernikahan bodoh ini, tapi yang jelas, lu sama sekali gak akan dapat sepeser pun harta bokap gue!” Rania kembali duduk, lalu menyilangkan kedua tangan di depan dada.

“Nak Raihan,” panggil Ratnawan yang tiba-tiba menyembul di sela-sela pot tanaman.

Raihan seketika menoleh.

“Obat kuatnya saya taruh di lemari putih,” susul Ratnawan yang kemudian menghilang lagi.

“Obat kuat?” Raihan tersenyum tipis. Ia sepertinya bisa menjaili gadis ini dengan hal itu.

Anggap saja suara kentut gajah. Pikiran itulah yang seringkali Rania tanamkan saat mendengar kata-kata aneh dari papanya. Hidupnya terlalu berharga jika harus menuruti semua permintaan gila pria itu.

“Lu, Raiko, jangan ... eh.” Rania menilik ke tempat duduk Raihan. Namun, yang ditangkap oleh matanya hanya sofa kosong dan juga bantal  yang acak-acakan. Gadis itu refleks menoleh ke sekeliling arah, dan menemukan Raihan tengah berjalan ke arah tempat yang ditunjuk Ratnawan tadi. “Raiko! Lu jangan pernah deketin lemari putih itu!”

Raihan menghentikan langkah sesaat, lantas berbalik menatap Rania. “Kenapa?”

“Jangan pernah berani ambil barang itu atau gue ... Raiko!” Rania mengentak lantai beberapa kali saat Raihan sama sekali tak menggubris ucapannya. Pemuda itu terus saja berjalan seakan berpura-pura tuli.

“Raiko! Lu ketularan gila atau apa? Raiko!”

Jarak antara Raihan dan lemari putih itu tinggal beberapa senti lagi. Dengan senyum mengembang, ia membuka benda itu, kemudian mulai melongokkan wajah ke dalam. Di sisi lain, Rania takut bukan kepalang. Tubuhnya gemetar dan deru napas mendadak tak normal.

“Raiko! Gue lempar ya lu ke kolong jembatan! Raiko!” Rania kembali menjerit, melempar bantal-bantal tadi ke arah Raihan. Namun, hal itu tak menghalangi aktivitas pemuda itu yang tengah fokus mencari sesuatu di lemari putih.

Raihan tersenyum saat melihat benda yang dicarinya. Dengan wajah datar, ia mendekat ke arah Rania sembari mengacung sebuah botol ke arah gadis itu. “Ini yang gue cari,” ujarnya seraya berusaha untuk menahan tawa. Saat menoleh ke samping, Ratnawan memberinya sebuah acungan jempol, lalu kembali menghilang ditelan dinding.          

Tiga detik setelah melihat benda itu, Rania kontan menjerit. Gadis itu berlari pontang-panting menuju kamarnya di lantai dua. “Mama! Aku gak mau hamil!”

“Jangan lari,” cegah Raihan.

Rania segera membanting pintu dengan keras, kemudian menguncinya dari dalam. Ia  lantas membungkus seluruh badannya dengan selimut tebal. “Dasar cowok gila!” makinya.

Raihan menggeleng, kemudian mulai menaiki tangga. Saat di dapur, Ratnawan sudah memberikannya kunci cadangan kamar Rania. Jadi, meski gadis itu mengunci ruangan, ia akan tetap bisa masuk ke sana. Namun, ia tidak akan melakukan apa pun pada Rania. Toh, ia juga merasakan hal yang sama seperti gadis itu.

Raihan mengetuk pintu. “Buka,” pintanya sembari menahan tawa.

Raihan sedikitnya bisa terhibur saat melihat reaksi Rania yang lari terbirit-birit seperti dikejar kecoa. Jujur saja, ia hanya bergurau saat pura-pura mencari obat kuat yang dikatakan Ratnawan. Toh, yang ia ambil barusan adalah obat diare, dan tak dirinya sama sekali tak menemukan botol yang dicarinya. Rania saja yang lebay, pikir Raihan.

“Jangan berani-berani masuk, Raiko!” Rania menyahut dari balik semlimut. Tatapan matanya waspada. “Gue gak segan kutuk lu jadi bumbu cimol!”

“Buka.” Raihan kembali mengetuk pintu.                             

Rania memenjamkan mata, tetapi ketukan pintu malah kian kencang terdengar. Tak ingin sesuatu terjadi padanya, gadis itu lantas bangkit dari kasur, kemudian mengambil pemukul yang ia letakkan di sudut kamar. Setelahnya, ia berlari menuju balkon. Mungkin dengan cara ini ia bisa lolos dari seramnya malam pertama.

Di luar kamar, Raihan justru kian terkikik geli. Hitung-hitung ini balasan bagi Rania karena dengan seenaknya sudah melempar kulit kacang ke wajah, juga mengganti namanya dengan merek penyedap rasa seharga lima ratus.

Si Raihan itu benar-benar sudah gila, pikir Rania. Wajahnya yang tampan tak seelok akhlaknya yang amburadul. Selain papanya, pemuda itu memang harus diberi pelajaran budi pekerti.

“Buka.” Raihan kembali mengetuk pintu.

Rania segera meraup oksigen dengan rakus. Malam ini akan jadi malam yang panjang baginya. Mulai detik ini, ia mendeklarasikan perang dengan Raihan.  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status