Walaupun semalaman ketika menjelang tidur terus mengumpati Aquilla di dalam hati. Aku tetap tertidur dengan nyaman dengan berbantalkan paha pria tersebut.
Dan kini bahkan aku terkejut ketika membuka mataku di malam berikutnya. Hal pertama yang kulihat ketika membuka mata adalah, wajah tampan Aquilla yang masih memejamkan mata. Aku panik, namun merasa tidak ingin mengganggu tidur pria tersebut. Alhasil, aku berakhir hanya terdiam sembari terus memperhatikan lekuk wajahnya.
Wajahnya memang tampan, bahkan terlalu tampan untuk kalangan manusia biasa jika tidak mengetahui identitas aslinya. Wajah tidurnya tampak damai, tidak menunjukkan guratan keras yang selalu ia tunjukkan walaupun sedang diliputi berbagai macam emosi. Hidungnya terlihat lebih mancung jika dilihat dari dekat. Begitu pun dengan rahangnya yang terlihat tegas.
Mungkin sudah banyak wanita yang terpikat oleh ketampanan tidak manusiawi pria ini. Termasuk diriku, mungkin? Aku gadis normal
Jake hanya menyengir.“Aku hampir frustrasi karena mencari kalian!” keluh Jake seraya memberi kode kepada kami, aku dan Aquilla, untuk segera masuk ke dalam mobil. “Karena aku yang menyetir mobil, aku jadi tidak bisa fokus mencari kalian melalui hubungan darah.”Aku menunggu Aquilla untuk menaiki mobil terlebih dahulu karena dia yang paling dekat dengan pintu mobil. “Kau mendapatkan mobil yang bagus.”“Bagaimana hasil pengamatanmu?” tanya Aquilla ketika ia sudah duduk tenang dan memandangiku yang baru saja masuk ke dalam mobil, “Kita baru berpisah sekitar 2 malam yang lalu dan kau sudah mencari kami?”Jake menggeleng pelan kemudian menyalakan mesin mobil. Suara terbatuk dari mesin mobil ini memecahkan keheningan, disusul dengan geraman dan kereta kuda besi ini kemudian merangkak menyusuri jalanan. “Paris terlalu susah untuk ditembus pertahanannya.”&ld
Jake bilang, kota yang memenuhi kriteria yang disebutkan oleh Aquilla adalah Kota Reims, sekitar 144km ke arah timur laut dari Paris. Mobil yang kami tumpangi akhirnya berhenti di pintu masuk kota tersebut. Sama seperti di tempat lain, kota ini sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sekitar ini. Kesunyian yang mencekam semakin menambahkan kesan kota mati seperti di film-film. “Sebentar lagi fajar akan tiba,” ujar Jake seraya menoleh ke belakang dan menatap Aquilla. “Asal mencari bangunan atau pilih-pilih?” “Cari yang sekiranya jauh dari pintu masuk ke kota,” jawab Aquilla memandang datar Jake yang mengangguk mengerti. “Hindari pertengahan kota.” “Baiklah, baiklah.” Jake kembali melajukan mobil menuju ke suatu tempat yang sekiranya sesuai dengan kriteria yang disebutkan oleh Aquilla. Aku menatapku deretan rumah melalui jendela. Bangunan-bangunan itu tampak sudah lama ditinggalkan, sedikit mirip
Fajar semakin dekat. Instingku untuk memejamkan mata sudah meraung sejak tadi. Namun, rasa kantuk itu tak kunjung datang. Walaupun seharusnya, makhluk seperti kami, Seraphie, bisa langsung merasakan kantuk ketika fajar hendak tiba beberapa jam lagi.Perkataan Aquilla tentang Gereja Basilika Santo Petrus yang menurutnya rancu benar-benar membuatku tidak bisa memejamkan mata. Pikiranku terus tertuju pada sebuah nama tempat yang tidak kuketahui bentuk dan fungsinya. Rasanya, setiap kali pikiranku menemukan sebuah kesimpulan, akan membentuk cabang baru yang terkadang melenceng dari kesimpulan tersebut.Seperti sebuah kesimpulan yang mengatakan, jika rumah sakit yang ada di Paris itu hanyalah tipuan. Lantas, mengapa Zhou Yanchen menuliskan nama rumah sakit tersebut sebagai markas utama? Kenapa tidak langsung menuliskan nama gereja yang ada di Roma sebagai markas utama?Apakah mungkin dia sudah menyadari jika sedang diburu oleh kami?
Aku dibangunkan oleh umpatan Jake yang entah ditujukan kepada siapa.“Aquilla, apa yang terjadi?” tanyaku ketika melihat Aquilla untuk pertama kalinya ketika membuka mata. Aku menegakkan kembali tubuhku dan Jake langsung merenggangkan ototnya.“Mengumpat ketika terbangun itu sudah menjadi kebiasaannya,” jawab Aquilla terlihat malas untuk menjelaskan kenapa Jake mengumpat malam ini. “Dia selalu mengatakan untuk mengasah mulutnya agar dengan cara mengumpat ketika dia terbangun dari tidurnya.”“Memangnya bisa begitu?” tanyaku seraya mengalihkan pandanganku kepada Jake, “Itu tidak baik Jake.”“Sudah menjadi kebiasaanku sejak 30 tahun yang lalu.” Jake terlihat acuh. Dia berdiri dari duduknya, menepuk-nepuk ringan jubah hitamnya, bermaksud membersihkan debu yang menempel di sana. “Kau berhutang cerita tentang ayahmu.” Jake menoleh dan memberikan seringainya kepa
Rasanya aku ingin mendorong Aquilla ke sebuah jurang karena saking kesalnya terhadap pria itu.Sedari tadi dia mengajakku berkeliling tidak jelas pada kota mati ini. Juga, setiap kali kutanyakan tujuannya mengajakku berkeliling, jawabannya selalu melantur dan terkadang membuatku kesal.“Aku tidak tahu. Hanya ingin mengajakmu berjalan bersama tidak tentu arah.”Mungkin jika perempuan lain yang mendengarnya, mereka akan menganggap apa yang Aquilla ucapkan barusan itu adalah sebuah kata-kata romantis. Tapi tidak bagiku.“Aquilla, kau masih memiliki perasaan kepadaku?” tanyaku memecahkan keheningan ketika kami berada di pinggiran kota.Pria itu menunduk, menatap tepat pada mataku. Ekspresinya datar hingga sulit bagiku untuk membaca suasana hatinya saat ini. Aku juga penasaran dengannya. Apakah dia masih memiliki perasaan kepadaku atau tidak.Aquilla menggidikkan bahunya, terlihat tidak peduli dengan perta
“Sebenarnya apa yang telah terjadi di antara kalian sih?! Kenapa wajah kalian memerah seperti orang mesum?!”Aku mendelik tajam pada Jake dan melayangkan pukulan pada dadanya sekuat mungkin. Pria bermata emas itu mengaduh kesakitan seraya memegangi dadanya. Terlihat mendramatisir karena kau tahu, pukulanku belum sekuat itu hingga membuatnya mengaduh kesakitan.“Aktingmu buruk sekali, Jake,” kataku mencibir.Jake berdecih kemudian kembali bersikap normal. “Aku dan kantong darah itu sudah mengumpulkan banyak senjata dan juga keperluan untuk manusia.”Aquilla hanya mengangguk dan melangkah pergi meninggalkan kami menuju ke mobil.Jake menyusul kami seorang diri, berkat bantuan hubungan darah yang terjalin di antara kami bertiga. Dan yang lebih patut disyukuri daripada kabar yang dibawa oleh pria bermata emas itu adalah, Jake tiba ketika kami selesai berciuman.Kami, maksudku, aku dan Aqui
Fajar masih lama untuk beranjak dari peristirahatannya ketika kami akhirnya sampai di sebuah bangunan luas yang bertuliskan ‘Rumah Sakit Swasta De La Seine Saint-Denis.’Bangunan itu tinggi menjulang, dengan beberapa bagiannya telah rusak dan mulai berjamur. Tumbuhan merambat juga memeriahkan keindahan alami sebuah gedung yang sudah lama ditinggalkan.Aku melangkah keluar dari mobil, tanpa mengalihkan pandanganku dari bangunan tersebut. Sudut hati kecilku mengatakan betapa mengagumkannya tempat tersebut meskipun sudah ditinggalkan selama puluhan tahun. Namun karena pada dasarnya aku menyukai tempat-tempat ditinggalkan dan memiliki sejarah yang unik, aku merasakan sebuah perasaan antusiasme yang sangat menggebu-gebu untuk menjelajahi bangunan rumah sakit di depanku ini.“Kita langsung masuk?” Pertanyaan Jake mulai terdengar bersamaan dengan dirinya yang baru saja keluar dari mobil. Disusul oleh Aquilla da
Kami melangkah dalam diam menyusuri koridor rumah sakit yang sunyi. Samar-samar terdengar suara desisan yang dihasilkan oleh beberapa ghoul yang mungkin berkeliling mencari mangsa. Dan mungkin sebentar lagi salah satu dari mereka berhasil menemukan keberadaan kami berempat.Begitu Regenerators berhasil dikalahkan, kami bergegas masuk ke dalam gedung rumah sakit tersebut. Tak ingin membuang-buang waktu yang menyebabkan kematian dari ribuan manusia di dimensi lain terjadi.“Sesuai dengan dugaanmu Aquilla, ini benar-benar jebakan.” Jake mengedarkan pandangannya ke sana kemari, memperhatikan sekitarnya yang terasa begitu sepi dan sunyi. “Jika bukan jebakan, aku rasa tidak mungkin Zhou Yanchen hanya meletakkan satu makhluk menjijikkan setinggi dua meter yang baru saja kita kalahkan itu di tempat ini. Dia pasti akan menaruh lebih banyak lagi makhluk-makhluk ciptaannya.”“Terlepas dari melepaskan atau tid