Aku mengeluarkan kata jujur pada kenyataan pahit, lalu membuat hatiku semakin pedih.
"Tak ada tempat pulang yang pantas untukku," jawabku, disertai dengan senyum kecut. Semampuku untuk mengernyit dan menahan air mata yang akan keluar dari kelopak mata.
Aku tahu siapapun yang mendengar jawaban tersebut akan terdiam, tidak berkutik.
Ilkay menunjukkan eskpresi tidak percaya dan berkata, "Lalu ...." Dengan sangat hati-hati dia melanjutkan ucapannya. "Sekarang, kau akan ke mana?"
Dia terlihat canggung, tapi mencoba untuk menepis nasib malang yang baru saja aku katakan. Aku menggeleng hebat untuk membalas pertanyaannya.
"Aku tidak tahu," balasku. "Hanya bertahan hiduplah tujuanku saat ini."
Kutatap matanya yang indah, berwarna biru langit dan menenangkan. Seakan-akan warna teduh itu seharusnya berwarna hijau permata.
'Aku tidak tahu ke mana aku akan pergi,' pikirku. Semakin merasa sendu dan menyakitkan. 'Untuk membalas dendam kepada Kerajaa
"Kalau begitu, ada syaratnya."Kedua alisnya terangkat menunjukkan bahwa semua yang dikatakan Ilkay telah terencana. Tanpa sadar, aku menggertakkan gigiku dan mengepalkan kedua tangan dengan erat."Akan kuikuti seluruh permintaanmu," ucapku penuh lantang, dengan tatapan penuh keyakinan akan jawabanku.Tempat yang sepi. Tidak ada manusia yang menampakkan batang hidungnya di sini. Tepi desa yang telah ditinggalkan, Ilkay berdiri dengan mata menyipit."Baiklah," ucapnya.Pergerakan tangannya membuatku curiga. Ia merentangan kedua tangannya, seakan memberi isyarat untuk segera mendekatinya."Sekarang, peluk aku," sambungnya dengan santai.Seketika, tubuhku membeku mendengar ucapannya. Tangan yang merentang itu kutatap dengan tidak percaya, lalu beralih pada wajahnya. Tak ingin memeluknya, aku menunjukkan raut wajah penuh jijik kepadanya.Ah, aku menyesal mengatakan tawaranku kepadanya.Namun, kulihat dia menurunkan tangannya
"Karena tidak ada alasan untuk membantu orang-orang dalam kesulitan."Dia mengenakan jubah yang mewah, juga membawa kuda putih pada saat itu. sekantung koin emas selalu ia bawa ke sana kemari. Matanya indah seperti dewa–atau mungkin juga bisa setampan malaikat.Ilkay tersenyum, meskipun aku hanya melihat tudung kepalanya yang menyebalkan.'Dia mengingatkanku pada perlakuan para bandit kepada wanita tua waktu itu,' pikirku. 'Seharusnya, aku membantunya.'Lalu, penyesalan menghantuiku pada saat itu juga.-oOo-Langkah kaki kian menjauh dari kerumunan, kini berganti dengan rumah dan toko yang banyak. Bau amis ada di mana-mana, bunyi ombak terdengar jelas dari sini.Perjalanan semakin jauh dan sekarang aku yang terus-menerus ditarik olehnya akhirnya sampai di pelabuhan.Kepalaku menengadah di saat aku terus dibawa pergi oleh Ilkay. Mataku menatap kapal-kapal yang tinggi yang membuatku merasa ngilu ketika berada di atas sana.
"Percepat langkah kakimu!" titahnya."B–baik!"Langkah kaki kami kian cepat. Berlari di bawah langit berwarna jingga, menatap matahari yang akan terbenam, lalu tatapan orang yang beragam tertuju hanya padaku.'Pelarian ini ....' Apakah pantas disebut pelarian?Tak ada rasa khawatir seperti pada saat berlari bersama seorang pemberontak. Membebaskan diri dari kurungan sangkar emas.Sangat berbeda.'Apa pilihanku kali ini ialah benar?' pikirku.Kuabaikan seluruh rasa khawatir yang samar, lalu memilih untuk memfokuskan pandangan pada pelabuhan yang indah ini. Matahari akan tenggelam dan tentu berganti dengan bulan. Malam mengerikan di istana dulu mungkin akan tergantikan dengan malam yang penuh dengan rasa bahagia.Berlari di bawah langit senja dengan suasan yang hangat bersama seorang pria yang belum terlalu kukenal.-oOo-Derap langkah kaki terdengar jelas. Suara napas pendek kesulitan untuk menarik udara. Ilk
"Berbicaralah pada orang itu," pintanya.Lantas, aku menoleh ke samping–tepat pada seorang pria berbadan tegap tengah berjalan semakin jauh dari kami. Ia menggunakan pakaian yang terbuat dari besi, sehingga menjelaskan bahwa pria tersebut merupakan seorang penjaga atau ksatria yang sedang berjaga di sekitar sini.Pandanganku berbalik pada Ilkay. Setelah permintaannya yang luar biasa aneh, aku menatap wajah Ilkay penuh pertanyaan."Kenapa aku?" Selagi Ilkay bisa berbicara dengan mudahnya pada orang yang tidak dikenal.Mengapa harus aku yang melakukannya?Ilkay menunjukkan matanya yang lagi-lagi menyipit. Dari balik penutup kepala dari jubahnya, warna emas pada rambut Ilkay benar-benar membuatku ingin menjambaknya."Ini salah satu cara untuk menghapus pikiran buruk orang-orang terhadapmu," jelasnya.Aku mengernyit. Apakah permintaannya dapat disebut sebagai 'penghapusan dosa'?'Tapi, kenapa harus aku ....' Masih tidak menge
"Kau juga akan mati setelah aku mendapati luka yang tidak terlalu dalam." Ucapannya seakan mengancam dan nadanya terasa dingin. Aku bergidik ngeri mendengar suaranya yang berbeda dari sebelumnya. Sedangkan, pria bertubuh kekar itu membeku di tempat. Ia mengurungkan niat untuk mengangkat kaki yang akan mendekati Ilkay, tatapannya penuh dengan rasa takut. "Dengarlah kabar di hari esok, maka kau akan mengetahui jawabannya," ucap Ilkay, dingin. Sekali lagi, suaranya begitu dingin sampai menusuk tulang-belulangku. Aku merinding dan tak ingin menatap mata birunya yang terkesan dapat membekukan orang-orang yang sedang ditatapnya. Tak ada percakapan lain sehingga digantikan oleh angin berembus yang entah datang dari mana. Lalu– "Apa yang terjadi!?" Seseorang tiba menengahi perdebatan. Ialah seorang pria yang mengenakan pakaian besi yang sama dengan ksatria tadi. Tatapannya terlihat tegas, pria tersebut terkejut melihat teman ksatrianya
Terlalu banyak pasang mata yang menatapku.Terdengar bunyi gelas saling beradu, kursi sengaja diderek, lalu derap langkah kaki yang tergesa-gesa. Duduk di atas kursi yang empuk tetap saja membuatku gelisah.Ada banyak orang yang berlalu-lalang. Mereka sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing, sedangkan aku hanya duduk manis sembari menunggu Ilkay tiba."Maaf, nona."Seseorang berdiri di hadapanku. Menutup penglihatanku untuk menyaksikan banyak orang yang mondar-mandir menyiapkan pesanan dari pelanggan.Aku menengadah. Menatap seorang wanita yang mengenakan pakaian pelayan. Dia terlihat profesional dan penginapan ini juga terlihat terpandang."Y–ya?" Hampir saja aku lupa untuk menjawab panggilan dari wanita tersebut."Maaf telah menunggu lama, nona. Kami baru selesai melayani seorang bangsawan yang tiba tanpa diundang," ucapnya, jujur.Wanita itu terlihat jujur dan apa adanya. Senyumnya manis, penampilan yang bersih dan
"Kenapa kau bertanya seperti itu?"Ilkay terkekeh mendengar pertanyaanku barusan. Matanya menyipit dan hampir menyembunyikan iris mata birunya yang indah.Apa yang salah dengan pertanyaanku barusan?Kupilih untuk tidak melanjutkan pertanyaan dan membiarkan pria itu terkekeh dengan sendirinya. Kain hitam yang menutupi mulutnya itu benar-benar menggangguku."Lalu." Aku menarik napas dan mengaturnya. "Kenapa kau tidak membuka kain yang menutup mulutmu meskipun hanya ada aku dan kau di dalam rumah ini?"Ruangan ini kembali diam. Tak ada percakapan berlanjut dan Ilkay memilih untuk membungkam mulutnya dengan mata yang sedikit melebar.Sejenak, keheningan menguasai sebelum ia berdiri. Ilkay menyisir rambut emasnya sambil menampilkan sorot mata yang tajam."Kau tertarik untuk melihat wajahku yang menurutmu mempesona?" tanya Ilkay dengan penuh percaya diri.Lantas, aku menatap tajam padanya. 'Ada apa dengannya?' pikirku, masih tidak ha
"Kau mau mandi?"Pertanyaan dari Ilkay sukses membuatku terperanjat kaget untuk yang kedua kalinya.Spontan, aku mengernyit menatap wajahnya, tapi ia justru membungkukkan tubuhnya sambil menutup mulut dan memegang pinggang. Bahunya sedikit naik dan gemetar.Aku semakin mengernyit menatapnya sambil berpikir, mengapa dia tertawa?Ilkay menahan tawanya dengan susah payah."Kenapa kau menanyakan hal itu?" tanyaku.Dia berhenti menahan tawanya. Apa yang membuat lucu, aku tidak tahu.Ilkay kembali menegakkan tubuhnya dan memperbaiki gaya berdiri. Wajahnya terlihat berwibawa, seakan sedang memegang tanggung jawab yang besar. Lalu, ia berdeham."Karena sepertinya kau merasa tidak nyaman dengan penampilanmu," jawabnya, tiba-tiba terdengar canggung.Matanya beralih menatap ke tempat lain, senyumnya begitu canggung seakan ada sesuatu yang tidak enak dipandang di hadapannya."Tidak nyaman?" tanyaku.Lantas, aku menatap