Arga sudah tiba di depan pintu ruangan itu. Mendadak ia ragu, tangan yang sudah terulur hendak menyentuh knop sontak ia tarik kembali.
Ada apa ini?
Kenapa hatinya jadi kacau balau seperti ini? Kenapa perasaan takut itu terus mencengkeram hati Arga? Tidak biasanya Arga seperti ini. Bayangan dia dan Indira bergumul tadi kembali terlintas, marahkah Clara jika tahu Arga barus saja menyentuh sang isteri? Tapi Indira isteri sah Arga dan... ah!
Arga menghela nafas sejenak, menghirup udara banyak-banyak lalu menghembuskan perlahan-lahan. Tangannya terulur, kembali menyentuh knop pintu dan menekannya.
Pintu terbuka, ruangan itu begitu terang dan wanita yang begitu dia cintai ada di sana.
Arga membelalakkan mata mendapati Clara dengan perban membalut pelipisnya, ia setengah berlari menghampiri kekasihnya itu.
"Sayang... ka-kamu...," Arga sampai tidak bisa berkata-kata, matanya memerah melihat kondisi Clara.&nb
Arga seperti ditampar mendengar kalimat yang meluncur dari bibir Clara tadi. Dapat dia lihat bahwa Clara masih menitikkan air mata dan sibuk menyeka bulir-bulir bening yang menitik dari matanya. Arga menghela nafas panjang, meraih tangan Clara dan meremasnya lembut."Aku minta maaf, aku egois." desisnya kemudian. "Tapi percayalah, aku cuma cinta kamu, Ra. Aku sama sekali tidak mencintai Indira."Clara menatap Arga dengan senyuman sinis. Apa dia bilang? Arga bilang kalau dia tidak mencintai isterinya? Arga memang sudah mengatakan hal itu berulang kali pada Clara, tetapi untuk kali ini penilaian Clara sudah berbeda."Tidak mencintai tapi bisa juga kamu meniduri dia, Ga?" tanya Clara dengan senyum setengah mengejek. "Ah aku lupa!" Clara melepaskan tangan Arga yang menggenggam tangannya. "Laki-laki kawin nggak pakai hati, kan? Sebuah fakta yang mencengangkan."Arga menundukkan kepalanya, ia merasa begitu berdosa hari ini. Clara tidak pernah mengkhianati dirin
Arga membanting pintu mobilnya dengan kesal. Ia lantas turun dan melangkah masuk ke dalam rumah. Tangannya mengepal kuat, rasanya ia ingin menghajar Indira saat ini juga, tapi akan ada masalah baru yang muncul jika Arga melakukan itu. Jadi Arga memilih untuk menahan semua keinginannya untuk main tangan dengan sang isteri.Bekas kissmark? Bagaimana bisa Arga tidak sadar tadi Indira melakukan hal itu? Ah ... Arga begitu terbuai nikmat surga dunia yang Indira suguhkan, membuat dia terlena hingga lupa segala-galanya, termasuk dengan Clara, wanita yang begitu dia cintai.Arga membuka pintu kamar, sudah bersiap hendak memaki Indira ketika matanya malah menemukan pemandangan menggoda itu di atas ranjang."DAMN!" Arga mengumpat, kemarahannya mendadak berubah haluan. Samar-sama sensasi nikmat yang tadi dia teguk dari tubuh itu kembali terngiang, membuat Arga merasakan tubuhnya memanas seketika. Seluruh syaraf tubuh Arga merespon, membuat Arga setengah gila berperang deng
"Mas please, kumohon!" rintih Indira pedih, pasalnya Arga benar-benar membuktikan ucapannya. Dia menyiksa Indira dengan begitu luar biasa."Hah! Munafik!" umpat Arga tidak peduli. Ia menarik diri, menghentikan aksinya tepat ketika ia mendapat sinyal bahwa Indira hendak mencapai puncaknya.Sebuah hal yang tentu sangat membuat frustasi, ketika Indira yang hampir mendapatkan apa yang didambakan dari pertarungan ini, namun tiba-tiba Arga menghentikan semua aksinya seolah tidak ingin Indira merasakan nikmat itu. Padahal bukankah sejak awal Arga yang memancingnya? Bukan hanya pedih efek sikap kasar dan arogan Arga, Indira juga terluka dengan apa yang Arga lakukan ini, menerbangkan dia begitu tinggi lantas dihempaskan begitu saja? Perempuan mana yang tidak menderita?Indira terisak, kepalanya mendadak begitu sakit, dengan sisa tenaganya ia bangkit, menggapai lengan Arga dan kembali memohon agar Arga mau membantunya mencapai puncak itu.Arga men
"Apa kemungkinan dia akan datang kemari, Ra?"Morgan masih setia duduk di sofa, sementara Clara yang hampir terlelap itu sontak terjaga. Ia melirik jam di dinding, sudah pukul dua dini hari, rasanya Arga tidak akan datang. Mungkin dia sedang kembali bergumul dengan sang isteri.Mendadak Clara sedikit merasakan pedih dalam hatinya, tapi ia buru-buru menyingkirkan perasaan itu jauh-jauh. Untuk apa cemburu? Untuk apa sakit hati? Toh bukankah itu malah bagus? Semoga saja laki-laki itu lantas kecanduan dengan tubuh sang isteri dan perlahan-lahan meninggalkan dirinya. Sebuah hal yang bagus, bukan?"Aku rasa tidak, apakah kau ingin pulang?" Clara tidak jadi tidur, ia malah menyetel tempat tidurnya agar sedikit lebih tinggi, menatap laki-laki yang beberapa saat yang lalu terlihat begitu sibuk dengan iPad di tangannya.Kenapa rasanya Clara begitu nyaman mengobrol dengan sosok ini? Siapa dia sebenarnya? Clara jadi sangat ingin tahu, siapa laki-laki yang
Morgan tersenyum melihat betapa tenang dan menggemaskan sosok itu ketika terlelap. Ia yang baru saja selesai menerima panggilan dari Rudi, tepat sekali Rudi menelepon tadi, jadi dia tidak harus menjelaskan apa maksud rival yang dia sematkan pada kekasih Clara itu.Morgan melangkah mendekati ranjang, duduk di kursi yang ada di sana dan menatap wajah yang tidur dengan begitu tenang itu.Rasanya hatinya tergerak. Anak yatim-piatu ditindas dan diperlakukan seperti itu oleh Arga? Ini keterlaluan. Morgan menyandarkan tubuhnya di kursi, menikmati wajah teduh yang terlelap itu. Kenapa rasanya Morgan tidak mau jauh darinya?'Kamu punya semar mesem ya, Ra? Kok bisa aku langsung nempel banget ke kamu kayak gini?' desis Morgan dalam hati, matanya tak lepas dari wajah itu.'Aku sudah tahu semua latar belakang lelaki berengsek itu, Ra. Keluarga isterinya dan semua informasi yang aku perlukan untuk menolongmu. Dan pegang janjiku bahwa kamu akan l
Indira mendengus kesal ketika menemukan sosok itu sudah duduk di meja makan pagi ini. Dia tampak sudah mandi, tengah menatap layar ponsel sambil menyesap kopi. Dengan malas Indira melangkah menuju meja makan, duduk di hadapan laki-laki itu tanpa banyak bicara.Arga mengangkat wajahnya sekilas, benar-benar hanya sekilas karena kemudian matanya kembali fokus pada layar yang ada di hadapannya."Masih sakit?" tanya Arga tampa memalingkan pandangannya.Indira membelalakkan matanya, "Apa pedulimu aku masih sakit atau tidak? Bukankah setiap hari dalam hidupmu kau selalu menyakitiku?" sindir Indira sambil menyesap teh dalam cangkirnya."Nah itu tahu, kenapa kamu tidak berusaha menyingkir agar aku tidak lagi menyakitimu?" sebuah tanggapan yang begitu kurang ajar keluar dari mulut Arga, membuat Indira mengeram penuh dendam pada laki-laki itu.Indira dengan tenang meletakkan cangkirnya, dia hendak membalas, namun Arga kembali buka suar
Indira mengamati dengan seksama satu persatu nama yang tertulis dalam daftar itu. Semua dia telusuri, dia catat bila namanya ada unsur RA di depan maupun di belakang. Indira benar-benar penasaran, seperti apa wanita yang sudah membuat suaminya sampai tergila-gila dan begitu tega terhadap dirinya.Mulai dari cleaning servis sampai dokter spesialis, semua Indira telusuri, hanya ada beberapa nama yang mengandung unsur itu..Ratna. Andhara. Ramona. Radista. Ristra dan yang terakhir Amara.Tapi mungkinkah orang-orang ini yang menjadi gundik suaminya? Indira mulai berpikir, pulpen yang ada di tangannya ia ketuk-ketuk di meja. Ia kenal betul dengan beberapa orang yang namanya berhasil dia temukan dan dia tulis di selembar kertas.Ratna, perempuan bernama lengkap Ratna Anggasari ini tentu tidak mungkin menjadi gundik Arga, mengingat dokter spesialis paru ini usianya sudah hampir lima puluh tahun. Dan laki-laki model Arga begitu tidak mungkin penyuka wanita paruh
Tissa menatap Indira dengan seksama, terkekeh sebentar sambil geleng-geleng kepala. Angin apa yang membuat Indira menanyakan hal itu? Bukankah itu sudah lama sekali? Rentang waktu dari preklinik sampai mereka bisa jadi spesialis seperti saat ini. "Kok tanya soal itu, kalian baik-baik saja, bukan?" tentu itu yang Tissa tanyakan, bukan? Indira mendesah, "Aku sedang ada masalah, Tiss." "Dengan Arga?" mata Tissa membulat, Indira hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. "Masalah apa? Jangan bilang kalau-." "Bahkan sejak kita menikah pertama kali, dia sudah berselingkuh, Tis." Indira tersenyum getir, matanya memanas, ia sampai harus menundukkan wajah agar tidak menitikkan air mata di depan Tissa. Tissa tertegun dengan mulut setengah terbuka. Sebagai wanita yang pernah dikhianati suami, Tissa mengerti betul bagaimana terlukanya perasaan Indira. Arga selingkuh sejak mereka menikah dulu? Edan laki-laki itu!