"Mas please, kumohon!" rintih Indira pedih, pasalnya Arga benar-benar membuktikan ucapannya. Dia menyiksa Indira dengan begitu luar biasa.
"Hah! Munafik!" umpat Arga tidak peduli. Ia menarik diri, menghentikan aksinya tepat ketika ia mendapat sinyal bahwa Indira hendak mencapai puncaknya.
Sebuah hal yang tentu sangat membuat frustasi, ketika Indira yang hampir mendapatkan apa yang didambakan dari pertarungan ini, namun tiba-tiba Arga menghentikan semua aksinya seolah tidak ingin Indira merasakan nikmat itu. Padahal bukankah sejak awal Arga yang memancingnya? Bukan hanya pedih efek sikap kasar dan arogan Arga, Indira juga terluka dengan apa yang Arga lakukan ini, menerbangkan dia begitu tinggi lantas dihempaskan begitu saja? Perempuan mana yang tidak menderita?
Indira terisak, kepalanya mendadak begitu sakit, dengan sisa tenaganya ia bangkit, menggapai lengan Arga dan kembali memohon agar Arga mau membantunya mencapai puncak itu.
Arga men
"Apa kemungkinan dia akan datang kemari, Ra?"Morgan masih setia duduk di sofa, sementara Clara yang hampir terlelap itu sontak terjaga. Ia melirik jam di dinding, sudah pukul dua dini hari, rasanya Arga tidak akan datang. Mungkin dia sedang kembali bergumul dengan sang isteri.Mendadak Clara sedikit merasakan pedih dalam hatinya, tapi ia buru-buru menyingkirkan perasaan itu jauh-jauh. Untuk apa cemburu? Untuk apa sakit hati? Toh bukankah itu malah bagus? Semoga saja laki-laki itu lantas kecanduan dengan tubuh sang isteri dan perlahan-lahan meninggalkan dirinya. Sebuah hal yang bagus, bukan?"Aku rasa tidak, apakah kau ingin pulang?" Clara tidak jadi tidur, ia malah menyetel tempat tidurnya agar sedikit lebih tinggi, menatap laki-laki yang beberapa saat yang lalu terlihat begitu sibuk dengan iPad di tangannya.Kenapa rasanya Clara begitu nyaman mengobrol dengan sosok ini? Siapa dia sebenarnya? Clara jadi sangat ingin tahu, siapa laki-laki yang
Morgan tersenyum melihat betapa tenang dan menggemaskan sosok itu ketika terlelap. Ia yang baru saja selesai menerima panggilan dari Rudi, tepat sekali Rudi menelepon tadi, jadi dia tidak harus menjelaskan apa maksud rival yang dia sematkan pada kekasih Clara itu.Morgan melangkah mendekati ranjang, duduk di kursi yang ada di sana dan menatap wajah yang tidur dengan begitu tenang itu.Rasanya hatinya tergerak. Anak yatim-piatu ditindas dan diperlakukan seperti itu oleh Arga? Ini keterlaluan. Morgan menyandarkan tubuhnya di kursi, menikmati wajah teduh yang terlelap itu. Kenapa rasanya Morgan tidak mau jauh darinya?'Kamu punya semar mesem ya, Ra? Kok bisa aku langsung nempel banget ke kamu kayak gini?' desis Morgan dalam hati, matanya tak lepas dari wajah itu.'Aku sudah tahu semua latar belakang lelaki berengsek itu, Ra. Keluarga isterinya dan semua informasi yang aku perlukan untuk menolongmu. Dan pegang janjiku bahwa kamu akan l
Indira mendengus kesal ketika menemukan sosok itu sudah duduk di meja makan pagi ini. Dia tampak sudah mandi, tengah menatap layar ponsel sambil menyesap kopi. Dengan malas Indira melangkah menuju meja makan, duduk di hadapan laki-laki itu tanpa banyak bicara.Arga mengangkat wajahnya sekilas, benar-benar hanya sekilas karena kemudian matanya kembali fokus pada layar yang ada di hadapannya."Masih sakit?" tanya Arga tampa memalingkan pandangannya.Indira membelalakkan matanya, "Apa pedulimu aku masih sakit atau tidak? Bukankah setiap hari dalam hidupmu kau selalu menyakitiku?" sindir Indira sambil menyesap teh dalam cangkirnya."Nah itu tahu, kenapa kamu tidak berusaha menyingkir agar aku tidak lagi menyakitimu?" sebuah tanggapan yang begitu kurang ajar keluar dari mulut Arga, membuat Indira mengeram penuh dendam pada laki-laki itu.Indira dengan tenang meletakkan cangkirnya, dia hendak membalas, namun Arga kembali buka suar
Indira mengamati dengan seksama satu persatu nama yang tertulis dalam daftar itu. Semua dia telusuri, dia catat bila namanya ada unsur RA di depan maupun di belakang. Indira benar-benar penasaran, seperti apa wanita yang sudah membuat suaminya sampai tergila-gila dan begitu tega terhadap dirinya.Mulai dari cleaning servis sampai dokter spesialis, semua Indira telusuri, hanya ada beberapa nama yang mengandung unsur itu..Ratna. Andhara. Ramona. Radista. Ristra dan yang terakhir Amara.Tapi mungkinkah orang-orang ini yang menjadi gundik suaminya? Indira mulai berpikir, pulpen yang ada di tangannya ia ketuk-ketuk di meja. Ia kenal betul dengan beberapa orang yang namanya berhasil dia temukan dan dia tulis di selembar kertas.Ratna, perempuan bernama lengkap Ratna Anggasari ini tentu tidak mungkin menjadi gundik Arga, mengingat dokter spesialis paru ini usianya sudah hampir lima puluh tahun. Dan laki-laki model Arga begitu tidak mungkin penyuka wanita paruh
Tissa menatap Indira dengan seksama, terkekeh sebentar sambil geleng-geleng kepala. Angin apa yang membuat Indira menanyakan hal itu? Bukankah itu sudah lama sekali? Rentang waktu dari preklinik sampai mereka bisa jadi spesialis seperti saat ini. "Kok tanya soal itu, kalian baik-baik saja, bukan?" tentu itu yang Tissa tanyakan, bukan? Indira mendesah, "Aku sedang ada masalah, Tiss." "Dengan Arga?" mata Tissa membulat, Indira hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. "Masalah apa? Jangan bilang kalau-." "Bahkan sejak kita menikah pertama kali, dia sudah berselingkuh, Tis." Indira tersenyum getir, matanya memanas, ia sampai harus menundukkan wajah agar tidak menitikkan air mata di depan Tissa. Tissa tertegun dengan mulut setengah terbuka. Sebagai wanita yang pernah dikhianati suami, Tissa mengerti betul bagaimana terlukanya perasaan Indira. Arga selingkuh sejak mereka menikah dulu? Edan laki-laki itu!
"A-aku ... aku pengen kita bicara empat mata setelah aku diizinkan dokter pulang nanti."Arga menghela nafas panjang, kepalanya mendadak pening. Dari nada bicara dan rentetan kalimat yang sejak kali keluar dari mulut itu, Arga tahu betul Clara masih begitu kecewa dan marah kepadanya."Kabari kalau kamu sudah boleh pulang, Sayang. Aku jemput." rasanya Arga ingin lari ke tempat Clara saat ini juga, kalau saja rumah sakit tempat Clara dirawat bukan rumah sakit tempat banyak sejawat papanya dinas."Tidak perlu repot-repot, Ga. Aku masih harus urus mobil di bengkel. Akan aku kabari kalau aku sudah di apartemen."TutTanpa menunggu Arga menjawab, Clara sudah memutuskan sambungan telepon. Arga meletakan ponselnya, memijit pelipis dengan perlahan sambil menghela nafas panjang. Kira-kira apa yang hendak Clara bicarakan? Jangan bilang kalau dia hendak meninggalkan Arga, tidak! Tidak akan Arga biarkan."Kamu tidak akan pernah bisa kem
Clara menatap kemeja yang dia kenakan. Kemeja lengan panjang yang agak kebesaran itu berpadu dengan celana jeans warna biru tua. Untuk celananya pas, agak sempit malah di bagian paha, tapi untuk kemeja itu sedikit lebih besar. Entah mengapa, justru baju-baju ini memberi kesan mendalam di dalam hati Clara.Ia menatap wajahnya di cermin, perban itu masih menutupi pelipisnya. Membuat Clara sedikit risih dan terganggu dengan penampilannya sekarang. Apa komentar Morgan mengenai benda yang membuat penampilannya menjadi sedikit aneh.Ah! Kenapa jadi dia terlalu memperhatikan penampilan dan terlalu mengkhawatirkan apa pendapat dan pandangan Morgan terhadap penampilannya?Clara menghela nafas panjang, ada sesuatu dalam dirinya yang menekan perasaan itu kuat-kuat.'Kamu kotor, Ra! Kamu bukan wanita baik-baik. Laki-laki itu nampak laki-laki yang sangat baik dan kamu tidak pantas untuk dia!'Menyesal? Tentu Clara menyesal sudah terjerumus dalam hidup abu
Arga mendecih, "Lapor apa dia padamu?"Kembali Tissa tertawa, menepuk lengan Arga dengan sedikit keras. Ia nampak mendekatkan wajah ke arah Arga, membuat Arga sontak mundur menjauhi Tissa."Lapor? Tidak ada istilah lapor di antara para wanita, Ga. Kita hanya saling berbagi cerita dan support satu sama lain." desis Tissa lirih.Kini Arga membeku di tempatnya berdiri, sementara seringai tajam itu masih tergambar di wajah Tissa, nampak begitu menikmati raut wajah pias Arga."Kau tahu, Ga? Sesuatu yang nampak tidak berarti di matamu, bisa jadi dia begitu berarti di mata orang lain."Arga sontak tertawa, mengusap wajah dengan satu tangan. "Aku peduliku? Sudahlah, jangan terlalu suka mencampuri urusan rumah tangga orang, Tiss." Arga mencoba melawan, apa hak Tissa ikut campur?"Tidak, aku tidak bermaksud ikut campur, hanya saja aku memperingatkan mu, Ga. Jangan sampai penyesalan itu datang terlambat dan menghancurkan kamu perlahan