Indira melangkah menuju poli, hendak masuk ke dalam ruang prakteknya ketika sosok itu sontak bangkit dan mengekor di belakang langkahnya. Indira menatap dan memberi kode Morgan untuk mengikutinya masuk ke dalam.
"Tumben pagi sekali sudah kemari, ada apa?" Indira melepas snelli yang dia kenakan, meletakkan jas putihnya di kursi.
"Menagih janji darimu, In!" Morgan duduk di depan Indira, menatap dokter anak itu dengan seksama.
Tampak alis Indira berkerut, sedetik kemudian Indira tersenyum dan mengangguk pelan. Membuat Morgan sontak tersenyum lebar.
"Seberapa parah sih dia, Gan?" Indira mengikat rambutnya, masih fokus menyimak maksud dan tujuan Morgan menemuinya pagi ini.
Tampak Morgan menghela nafas panjang, "Parah banget, dia jadi rendah diri, In. Merasa dia paling kotor, paling tidak berguna dan ...."
Morgan menghela nafas panjang, bagaimana dia bisa menjelaskan semuanya? Clara sering mimpi buruk, berkeringat din
"Nah, Mama cariin tadi! Dari mana kau?"Morgan baru saja turun dari mobil, sudah mendapat sambutan plus cecaran pertanyaan tidak penting dari sang mama. Ia sontak menghela nafas panjang, menatap sang mama yang sudah memberinya tatapan menyelidik."Dari rumah sakit, Ma." jawab Morgan yang terus melangkah masuk ke dalam gedung kantornya.Feni sontak membelalakkan mata, mengekor di belakang Morgan dengan mulut yang terus mencuit."Heh, nggak sopan ya! Mama masih mau ngomong nih!" protes Feni atas tanggapan Morgan yang main nyelonong pergi dari hadapannya.Morgan menghentikan langkah, membalikkan badan dan menatap sang mama dengan gemas. "Ya ayo ke ruangan Morgan, Ma! Nggak mungkin, kan, kita ngobrol panjang lebar di pintu loby?" Morgan benar-benar tidak mengerti, mamanya datang hanya untuk mengajaknya beradu argumen macam ini? Astaga!Feni tidak menjawab, ia menatap gemas ke arah Morgan dan melangkah mendahul
"APA?" Tjandra memekik keras ketika Morgan menelepon dan menceritakan perihal kedatangan Feni ke kantor Morgan pagi ini. Hal gila macam apa lagi yang hendak sang isteri lakukan?"Pa, serius! Tolongin Morgan, Pa!" renggek suara dari seberang yang seketika mampu mengembalikan Tjandra dari rasa terkejutnya."Mamamu benar-benar udah gila! Dia bilang begitu tadi?" Tjandra tidak habis pikir dengan jalan pikiran sangat isteri. Bisa bisanya dia hendak menyuruh Morgan menikahi dua wanita sekaligus!"Nah oleh sebab itu, tolongin Morgan, Pa! Morgan nggak mau dan nggak bisa kalau harus nikahin Callysta!"Tjandra mengangguk, tangannya masih memegang ponsel yang menempel di telinga. Dia tahu betul sejak dulu anak lelakinya ini memang tidak pernah suka main-main dengan perempuan."Nanti biar papa coba ngomong sama mamamu, Gan. Jangan khawatir." sebuah janji yang Tjandra berikan pada anak lelakinya itu. Dia juga tidak setuju jika Morg
Clara segera melarikan diri dari hadapan Adrian, sebelum dia makin pusing dengan alasan menolak ajakan lelaki satu itu. Clara tengah menanti Rudi di depan loby rumah sakit ketika secara tiba-tiba sosok itu sudah berdiri tepat di sampingnya. Clara tercekat, keringat dingin sontak mengucur dari tubuhnya. Nafasnya terasa sesak mengingat yang berdiri di sebelah kirinya itu adalah sosok Arga Yoga Saputra. "Sudah makan siang, Ra? Aku tidak mau kamu telat makan dan jatuh sakit." ujarnya sambil menatap ke depan, tampak begitu tenang berdiri. "Apa pedulimu, Ga?" Clara mencoba tenang, mencoba berani menghadapi lelaki yang pernah begitu Clara cintai dulu. "Aku akan selalu peduli padamu, Ra. Meskipun kini aku hanya bisa melakukannya dari jauh." Arga menoleh, mata mereka bertemu. Kenapa semenjak hubungan mereka kandas, Arga malah terang-terangan menemui Clara di rumah sakit? Clara menghela nafas panjang, ia memalingkan wajah.
Clara tersenyum, bangkit dan mengulurkan tangan pada sejawatnya di bagian kejiwaan itu. Selesai sudah konseling nya hari ini. Konseling pertama yang dia lakukan demi membuang semua kenangan buruk yang pernah dia lalui selama dua tahun terakhir. Di mana hidupnya dijerat oleh lelaki yang dulu selalu Clara gadang-gadang menjadi masa depannya."Saya percaya kamu bisa bangkit." dokter cantik berkacamata itu tersenyum, menjabat erat tangan Clara yang nampak begitu payah setelah menceritakan semua tekanan yang harus dia alami."Mohon bantuannya, Dokter. Saya benar-benar ...," Clara menghentikan kalimatnya, tangisnya hampir pecah kembali. Ia mengigit bibir kuat-kuat lalu menghela nafas panjang dan mengangguk pelan."Jangan dipaksakan. Dibuat santai saja. Jangan lupa obatnya diminum, oke?"Kembali Clara mengangguk, "Kalau begitu saya pamit, Dok. Terima kasih banyak."Dengan segera Clara melangkah keluar, dia harus segera kembali ke rumah s
Tawa riuh masih terdengar di dalam ruangan itu, hingga kemudian tawa itu terhenti karena secara tiba-tiba Tjandra menatap sang anak lelaki dengan tatapan serius."Kenapa? Papa lupa sesuatu?" Morgan ikut memasang wajah serius, kenapa tiba-tiba sang papa jadi tegang macam itu."Kamu minta buru-buru nikah bukan karena pacarmu itu sudah hamil, kan, Gan?"Sontak mata Morgan membelalak, hamil? Ah! Papanya ini tidak tahu saja kalau Clara barus saja keguguran! Tapi bukan salah papanya juga kalau menuduh Morgan demikian. Kemarin-kemarin dia dipaksa menikah, selalu menolak dan mendadak izin mau nikah? Orang tua manapun pasti akan berpikiran kesana, bukan?"Astaga, Pa! Morgan sudah berpengalaman, nggak mungkin kebobolan!" jawab Morgan asal, dia akui dia sering kok main satu malam dengan beberapa wanita dulu, dan dia selalu main aman.Tjandra melotot, mencubit gemas perut anak lelakinya itu. Morgan sontak kembali tertawa terbahak-bahak,
Morgan sontak berkeringat dingin. Harus jawab apa dia? Hilang kalau Clara selama ini tinggal di apartemen yang suami orang belikan untuk dia? Hah! Bisa serangan jantung papanya itu.Morgan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, berusaha tetap tenang dan tidak membuat kesalahan melalui ucapan yang keluar dari mulutnya."Dia sewa apartemen, Pa. Semua tabungan dia selama bekerja sebagai dokter umum dia fokuskan untuk biaya pendidikan spesialisnya, Pa."Tjandra menatap Morgan dengan seksama. Membuat jantung Morgan sontak berdegub dua kali lebih cepat. Apakah papanya percaya? Atau akan banyak kalimat tanya meluncur dari mulut lelaki itu?"Sungguh wanita yang menakjubkan. Kapan dia akan lulus?"Morgan langsung lega seketika begitu kalimat tanya itu meluncur keluar dari mulut sang papa. Tidak ada pertanyaan membahayakan yang keluar kembali dari sosok Tjandra untuknya."Dia baru dua tahun, Pa. Katanya beberapa tahun lagi
Arga mengepalkan tangannya kuat-kuat. Clara makin jauh darinya. Dia bahkan lebih jaga jarak dengannya ketika di rumah sakit dibandingkan dulu ketika masih bersamanya. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Kenapa makin lama Clara semakin berjarak dengan dia?Arga tahu, dia tidak boleh diam saja jika ingin kembali mendapatkan Clara. Tapi melakukan perlawanan dan menabuh genderang perang di waktu dekat ini sama saja cari mati! Dia baru saja aman dari aib yang selama ini dia dia tutupi di depan mertuanya dan jangan lupa, Morgan Alvaro bukan orang yang bisa dengan mudah Arga remehkan! Dia tidak ada apa-apanya dengan Morgan!"Suatu saat nanti ...," Arga bergumam sendiri, memang suatu saat nanti dia akan merebut Clara-nya kembali. Dia akan lakukan apapun untuk kembali memiliki miliknya itu. "Tunggu dan lihat saja!"Morgan mempercepat langkahnya, dia begitu terbakar amarah hingga tidak sadar sosok tinggi dengan snelli lengan panjang itu melangkah bersama beberapa o
Indira bersiap hendak visit ke bangsal rawat inap ketika matanya menangkap sosok itu. Sosok tinggi, tegap dengan snelli lengan panjang yang masih tampak cemerlang itu benar-benar mencolok sekali di mata Indira. Dan jangan lupa, ini adalah kali pertama dia menjumpai sosok itu, bukan? Siapa dia?"Dokter, ada tujuh pasien yang harus Dokter kunjungi sore hari ini."Indira tersentak, ia mengangguk sambil mencoba mengabaikan pemandangan itu. Ditatapnya Deas, perawat yang hari ini bertugas menemani Indira visiting."Kita cuma berdua nih?" tentu itu yang Indira tanyakan, biasanya ada koas dan beberapa residen yang akan ikut visiting."Sebentar, Dok. Nanti ada yang ikut gabung."Indira membuatkan matanya, "Pada belum ready?" berani sekali mereka menyuruh dokter spesialis yang notabene anak pemilik rumah sakit menunggu mereka siap!"Itu mereka, Dok!"Indira hendak kembali buka suara ketika sosok yang yafi begitu mengganggu mat