"APA?" Tjandra memekik keras ketika Morgan menelepon dan menceritakan perihal kedatangan Feni ke kantor Morgan pagi ini. Hal gila macam apa lagi yang hendak sang isteri lakukan?
"Pa, serius! Tolongin Morgan, Pa!" renggek suara dari seberang yang seketika mampu mengembalikan Tjandra dari rasa terkejutnya.
"Mamamu benar-benar udah gila! Dia bilang begitu tadi?" Tjandra tidak habis pikir dengan jalan pikiran sangat isteri. Bisa bisanya dia hendak menyuruh Morgan menikahi dua wanita sekaligus!
"Nah oleh sebab itu, tolongin Morgan, Pa! Morgan nggak mau dan nggak bisa kalau harus nikahin Callysta!"
Tjandra mengangguk, tangannya masih memegang ponsel yang menempel di telinga. Dia tahu betul sejak dulu anak lelakinya ini memang tidak pernah suka main-main dengan perempuan.
"Nanti biar papa coba ngomong sama mamamu, Gan. Jangan khawatir." sebuah janji yang Tjandra berikan pada anak lelakinya itu. Dia juga tidak setuju jika Morg
Clara segera melarikan diri dari hadapan Adrian, sebelum dia makin pusing dengan alasan menolak ajakan lelaki satu itu. Clara tengah menanti Rudi di depan loby rumah sakit ketika secara tiba-tiba sosok itu sudah berdiri tepat di sampingnya. Clara tercekat, keringat dingin sontak mengucur dari tubuhnya. Nafasnya terasa sesak mengingat yang berdiri di sebelah kirinya itu adalah sosok Arga Yoga Saputra. "Sudah makan siang, Ra? Aku tidak mau kamu telat makan dan jatuh sakit." ujarnya sambil menatap ke depan, tampak begitu tenang berdiri. "Apa pedulimu, Ga?" Clara mencoba tenang, mencoba berani menghadapi lelaki yang pernah begitu Clara cintai dulu. "Aku akan selalu peduli padamu, Ra. Meskipun kini aku hanya bisa melakukannya dari jauh." Arga menoleh, mata mereka bertemu. Kenapa semenjak hubungan mereka kandas, Arga malah terang-terangan menemui Clara di rumah sakit? Clara menghela nafas panjang, ia memalingkan wajah.
Clara tersenyum, bangkit dan mengulurkan tangan pada sejawatnya di bagian kejiwaan itu. Selesai sudah konseling nya hari ini. Konseling pertama yang dia lakukan demi membuang semua kenangan buruk yang pernah dia lalui selama dua tahun terakhir. Di mana hidupnya dijerat oleh lelaki yang dulu selalu Clara gadang-gadang menjadi masa depannya."Saya percaya kamu bisa bangkit." dokter cantik berkacamata itu tersenyum, menjabat erat tangan Clara yang nampak begitu payah setelah menceritakan semua tekanan yang harus dia alami."Mohon bantuannya, Dokter. Saya benar-benar ...," Clara menghentikan kalimatnya, tangisnya hampir pecah kembali. Ia mengigit bibir kuat-kuat lalu menghela nafas panjang dan mengangguk pelan."Jangan dipaksakan. Dibuat santai saja. Jangan lupa obatnya diminum, oke?"Kembali Clara mengangguk, "Kalau begitu saya pamit, Dok. Terima kasih banyak."Dengan segera Clara melangkah keluar, dia harus segera kembali ke rumah s
Tawa riuh masih terdengar di dalam ruangan itu, hingga kemudian tawa itu terhenti karena secara tiba-tiba Tjandra menatap sang anak lelaki dengan tatapan serius."Kenapa? Papa lupa sesuatu?" Morgan ikut memasang wajah serius, kenapa tiba-tiba sang papa jadi tegang macam itu."Kamu minta buru-buru nikah bukan karena pacarmu itu sudah hamil, kan, Gan?"Sontak mata Morgan membelalak, hamil? Ah! Papanya ini tidak tahu saja kalau Clara barus saja keguguran! Tapi bukan salah papanya juga kalau menuduh Morgan demikian. Kemarin-kemarin dia dipaksa menikah, selalu menolak dan mendadak izin mau nikah? Orang tua manapun pasti akan berpikiran kesana, bukan?"Astaga, Pa! Morgan sudah berpengalaman, nggak mungkin kebobolan!" jawab Morgan asal, dia akui dia sering kok main satu malam dengan beberapa wanita dulu, dan dia selalu main aman.Tjandra melotot, mencubit gemas perut anak lelakinya itu. Morgan sontak kembali tertawa terbahak-bahak,
Morgan sontak berkeringat dingin. Harus jawab apa dia? Hilang kalau Clara selama ini tinggal di apartemen yang suami orang belikan untuk dia? Hah! Bisa serangan jantung papanya itu.Morgan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, berusaha tetap tenang dan tidak membuat kesalahan melalui ucapan yang keluar dari mulutnya."Dia sewa apartemen, Pa. Semua tabungan dia selama bekerja sebagai dokter umum dia fokuskan untuk biaya pendidikan spesialisnya, Pa."Tjandra menatap Morgan dengan seksama. Membuat jantung Morgan sontak berdegub dua kali lebih cepat. Apakah papanya percaya? Atau akan banyak kalimat tanya meluncur dari mulut lelaki itu?"Sungguh wanita yang menakjubkan. Kapan dia akan lulus?"Morgan langsung lega seketika begitu kalimat tanya itu meluncur keluar dari mulut sang papa. Tidak ada pertanyaan membahayakan yang keluar kembali dari sosok Tjandra untuknya."Dia baru dua tahun, Pa. Katanya beberapa tahun lagi
Arga mengepalkan tangannya kuat-kuat. Clara makin jauh darinya. Dia bahkan lebih jaga jarak dengannya ketika di rumah sakit dibandingkan dulu ketika masih bersamanya. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Kenapa makin lama Clara semakin berjarak dengan dia?Arga tahu, dia tidak boleh diam saja jika ingin kembali mendapatkan Clara. Tapi melakukan perlawanan dan menabuh genderang perang di waktu dekat ini sama saja cari mati! Dia baru saja aman dari aib yang selama ini dia dia tutupi di depan mertuanya dan jangan lupa, Morgan Alvaro bukan orang yang bisa dengan mudah Arga remehkan! Dia tidak ada apa-apanya dengan Morgan!"Suatu saat nanti ...," Arga bergumam sendiri, memang suatu saat nanti dia akan merebut Clara-nya kembali. Dia akan lakukan apapun untuk kembali memiliki miliknya itu. "Tunggu dan lihat saja!"Morgan mempercepat langkahnya, dia begitu terbakar amarah hingga tidak sadar sosok tinggi dengan snelli lengan panjang itu melangkah bersama beberapa o
Indira bersiap hendak visit ke bangsal rawat inap ketika matanya menangkap sosok itu. Sosok tinggi, tegap dengan snelli lengan panjang yang masih tampak cemerlang itu benar-benar mencolok sekali di mata Indira. Dan jangan lupa, ini adalah kali pertama dia menjumpai sosok itu, bukan? Siapa dia?"Dokter, ada tujuh pasien yang harus Dokter kunjungi sore hari ini."Indira tersentak, ia mengangguk sambil mencoba mengabaikan pemandangan itu. Ditatapnya Deas, perawat yang hari ini bertugas menemani Indira visiting."Kita cuma berdua nih?" tentu itu yang Indira tanyakan, biasanya ada koas dan beberapa residen yang akan ikut visiting."Sebentar, Dok. Nanti ada yang ikut gabung."Indira membuatkan matanya, "Pada belum ready?" berani sekali mereka menyuruh dokter spesialis yang notabene anak pemilik rumah sakit menunggu mereka siap!"Itu mereka, Dok!"Indira hendak kembali buka suara ketika sosok yang yafi begitu mengganggu mat
"Lepas!" Clara berusaha melepaskan cengkeraman tangan yang menyeretnya dengan paksa.Lekaki itu adalah Arga, dan apa yang hendak Arga lakukan? Dia membawa dan menyeret Clara menuju parkiran. Membuat Clara sedikit ketakutan dengan hal apa-apa saja yang bisa saja dilakukan oleh pria nekat satu ini."Aku cuma mau ngomong beberapa hal saja, jadi tolong jang-.""LEPAS!"Clara bernafas lega ketika suara itu menyapa indera pendengarannya. Itu suara Morgan! Nampak Morgan mencengkeram tangan Arga dengan kuat, satu tangannya menarik tangan Clara lepas dari cengkeraman tangan Arga."Kau berusaha menantangku, Dok? Kau lupa dengan dokumen yang sudah dengan senang hati kau tanda tangani?" Morgan mengeram, matanya nampak bersorot tajam menatap Arga yang sedikit memucat.Arga mendengus kesal, dengan wajah pucat dan sorot mata tajam ia balas menatap Morgan yang tidak gentar dan takut sedikit pun."Aku bisa buka semu
"Jadi kapan?"Tjandra yang tengah sibuk dengan iPad-nya menoleh, mendapati Feni keluar dari kamar mandi dan duduk di tepi ranjang. Tampak sang istri menatapnya dengan seksama, membuat Tjandra menghela napas panjang dan meletakkan benda itu di meja."Apanya yang kapan?" Tjandra balik bertanya, fokus menatap Feni yang sudah terindikasi hendak mengajaknya ribut."Morgan bawa calonnya, lah! Apa lagi sih memangnya?" Feni bersungut-sungut, membuat tawa Tjandra hampir pecah melihat berapa masam wajah sang istri."Ohh." Tjandra sudah menebak, pasti ini yang hendak Feni bahas. "Lusa, kemarin Morgan bilang lusa dia mau bawa Clara ke rumah."Feni menghela napas panjang. Dia merebahkan tubuhnya di atas kasur, menarik bedcover dan menutupi tubuhnya. Tjandra meraih kembali iPad yang tadi dia letakkan. Agaknya Feni tidak terlalu rewel malam ini. Ancamannya tadi benar-benar mampu membungkam sang istri yang biasanya ribut dan rewel setengah mati.&