"PULANG!"
Arga mencekal tangan Indira, menarik tangan istrinya dan menyeret Indira mengikuti langkahnya ke parkiran. Indira tampak melotot kesal, berusaha melepaskan tangan Arga yang mencengkeram kuat pergelangan tangannya."Apaan sih? Ini juga aku mau pulang, Mas!" terlihat sangat bahwa Indira nampak sangat tidak nyama dengan perlakuan Arga, namun Arga nampak tidak memperdulikan protes yang Indira layangkan dari nada bicara dan sorot mata.Arga membisu, tetap membawa Indira dalam genggaman tangan. Begitu sampai di mobil, Arga segera membuka pintu dan mendorong Indira masuk ke dalam. Mengikatkan seat belt lalu menutup pintu itu dengan sedikit kasar. Dengan gusar Arga melangkah ke sisi lain mobil, membuka pintu lalu menjatuhkan diri di jok."Aku bawa mobil sendiri, bagaimana dengan mobilku!" protes Indira sambil melotot tajam."Akan kusuruh orang untuk ambil nanti, tidak perlu banyak protes!" Arga bergeming, segera menyalakan mobil dan mem"Jangan harap kamu bisa kemana-mana malam ini, In!" Hardik Arga ketika ia berhasil menyeret Indira masuk ke dalam kamar. Indira melepaskan cengkeraman tangan Arga dengan kasar, matanya melotot menatap Arga dengan tatapan penuh benci. Ia mendekatkan wajahnya, menampakkan kemarahan dan kebencian itu secara langsung di hadapan Arga. "Punya hak apa kau mengaturku, Mas?" Tanya Indira tak gentar. Harga tergelak, ia tertawa kecil sambil membalas mendekatkan wajah. Kini wajah mereka begitu dekat dengan sorot yang sama tajamnya. "Kau tidak lupa bahwa aku ini masih suami kamu, bukan?" Tentu ini yang menjadi senjata bagi Arga. Baik secara agama maupun hukum, Arga masih sah suami dari Indira. Indira menarik wajahnya menjauh, tertawa terbahak seraya melangkah menuju meja riasnya. Meletakkan tasnya di sana dan membalikkan tubuh, menatap Arga dengan tangan yang dia lipat di dada. "Kenapa sekarang kau begitu bernafsu memproklamirkan diri s
"Itu Om ... Clara mau minta izin nikah."Clara mengigit bibirnya dengan cemas. Apa kira-kira tanggapan Om Jefri atas izin yang dia minta? Tapi dia tidak berhak menolak atau melarang Clara menikah! Semenjak kedua orang tuanya meninggal beberapa tahun yang lalu, Clara sama sekali tidak merepotkan mereka. Bahkan peninggalan tanah yang kedua orang tua Clara wariskan, Clara pasrahkan untuk dia kelola tanpa Clara minta sepeserpun hasilnya. Hidup Clara di sini ditopang penuh oleh Arga!Ahh ... Sebenarnya Clara tidak menampik bahwa Arga sudah berjasa banyak dalam hidupnya. Hanya saja cara Arga memenjarakan dirinya, dan memperlakukan Clara macam wanita pemuas nafsu, membuat Clara memutuskan berhenti mencintai lelaki itu. Berhenti berharap padanya. Bukankah Arga sendiri yang menyerah mempertahankan hubungan mereka dan setuju dengan segala macam perjodohan itu? Terdengar sosok itu terisak, membuat mata Clara ikut memanas. Hati Clara bergejolak, membayangkan bagaiman
"Kamu seriusan mau nikah?" Kembali Bagas berteriak, melotot tak percaya ke arah Clara, seolah-olah Clara mengatakan bahwa dia hendak pindah ke Mars. Clara mencebik, mendengus kesal sambil mengusap wajahnya dengan tangan. Ada Bagas, Hilda dan beberapa orang lain yang juga sama terkejutnya dengan Bagas. Clara izin ambil libur dua hari ketika hari ini mereka membahas jadwal. Sebuah izin yang dia katakan hendak pulang untuk membahas rencana lamaran yang akan dilakukan oleh Morgan. "Kamu beneran ada pacar, Ra?" Hilda menatap nanar Clara yang tampak sakit kepala itu. Clara kembali mendengus, ia sontak lemas bersandar di kursi. Sejelek apa dia sampai-sampai teman-temannya ini tidak percaya kalau Clara mengatakan dia hendak menikah? Bahwa dia sudah punya calon? "Ya bener lah! Astaga, kenapa sih pada ragu kalo aku ini ada pacar?" Clara benar-benar gemas pada teman-temannya ini. Padahal selama ini mereka tidak tahu saja kalau Clara ini tidak pernah ngan
“Tan ... beneran nih, Tante nggak bisa usahain?”Feni tertegun. Matanya menatap Callista yang tersenyum getir ke arahnya. Usahain? Tentu Feni paham betul apa maksud di balik kata ‘usahain’ yang Callista todongkan kepadanya. Untuk apa gadis itu mengajaknya bertemu hari inipun, Feni juga tahu apa alasannya.Sebuah senyum terpaksa Feni sunggingkan, memang harus bagaimana lagi? Dia tidak punya kuasa apa-apa selain pada Tjandra, sang suami. Bagaimana Tjandra mengancam dan mendukung penuh Morgan menikahi wanita pilihannya tentu membuat Feni tidak akan mengambil resiko apapun untuk saat ini.Mengizinkan Tjandra menikah lagi? Tentu tidak akan Feni biarkan, dia masih waras!“Tante minta maaf, Sayang. Untuk sekarang Tante nggak bisa bantu kamu apa-apa.”Callista nampak tercekat, matanya yang sejak tadi menyorotkan permohonan dan belas kasihan, kini makin menyedihkan dengan semburat merah yang nampak di sana. Feni tahu, sej
Feni buru-buru melangkah turun dari mobil begitu supirnya beres parkir di depan kantor suaminya. Agak susah hendak pergi dari cafe mengingat Callista seperti menahan dia agar tetap di sana dan merayu Feni agar mau membantunya."Selamat siang, Bu!" Beberapa orang di resepsionis langsung bangkit dan memberi hormat begitu Feni muncul. Karena sudah tidak punya banyak waktu, Feni hanya tersenyum dan mengangguk pelan. Terus melangkahkan kaki menuju lift. Jujur ia begitu penasaran dengan apa yang hendak suaminya bicarakan mengenai keluarga Wijoyo. Ada apa memangnya? Apa yang membuat sang suami tampak begitu anti pati dengan keluarga konglomerat yang cukup berpengaruh itu? Ting! Pintu lift terbuka, Feni segera masuk ke dalam, menekan angka di mana ruangan pribadi Tjandra berada. Apakah akan ada tarik urat dari obrolan mereka kali ini? Atau sebenarnya ini cuma akal-akalan Tjandra agar dia menyetujui Clara menjadi menantu mereka? Entah hanya pe
Sepeninggal Arga, Indira tertegun di tempatnya duduk. Matanya memerah dan tidak lama air matanya menitik. Apa yang Arga katakan semua ada benarnya. Bahwa sebenarnya dia lah sumber dari semua masalah yang timbul dan penderitaan yang masing-masing dari mereka alami.Arga menderita karena tidak bisa menikahi Clara, yang kala itu berstatus kekasih dari Arga. Indira pun menderita selama pernikahan mereka karena Arga yang sama sekali tidak mencintainya walaupun segala cara sudah ia lakukan guna menarik perhatian lelaki yang sudah berstatus sebagai suaminya itu.Bukan hanya mereka berdua, Clara, yang tidak tahu apa-apa dan berstatus sebagai korban, kembali harus menjadi korban ‘kegilaan’ Arga yang frustasi tidak bisa bersatu bersamanya. Selama ini hidup mereka hanya fokus saling menyakiti. Entah diri sendiri dan orang lain. Semua itu karena Indira, dia adalah biang keladi dari keruwetan yang terjadi saat ini.Indira menyeka air matanya yang menitik. K
“Kalau begitu ... lepaskan dia, In! Lupakan semua rencana balas dendammu. Kalian tidak bisa terus-terusan menyakiti seperti ini.”Indira mendesah, ia menatap nanar Jimmy yang sudah berada tepat di hadapannya. Duduk di kursi yang biasanya digunakan pasien duduk ketika sedang konsultasi bersamanya. Jika dulu Indira sama sekali tidak ingin melepaskan Arga karena masih berharap lelaki itu bisa mencintai dan membalas semua cinta yang Indira miliki untuknya selama ini, maka sekarang semuanya berbeda.Indira ingin lepas dari Arga! Tanpa Jimmy minta, ia sudah hendak melepaskan dan menghapuskan semua dendam dan rencana balas dendam yang ia susun untuk menghancurkan Arga. Dia ingin menyudahi semua siksaan ini. Namun agaknya, kini Arga yang tidak mau melepaskan dia. Lelaki itu nampak sangat bernapsu menjerat Indira tetap bersamanya, bukan untuk menjadi partner hidup, tetapi sebagai ajang pelampiasan semua duka yang dia rasakan selama ini.“Aku sudah memba
"Mbak serius nggak apa-apa?"Tentu Rudi tidak percaya kalau Clara lantas bilang bahwa dia baik-baik saja. Sorot mata dan ekspresi wajah itu sama sekali tidak bisa membohongi Rudi! Dia yakin kalau Clara tengah memikirkan sesuatu atau tengah menghadapi sesuatu. Apakah itu berhubungan dengan pendidikan dokter spesialisnya? Kalau mengenai itu, tentu Rudi tidak bisa membantu banyak. Tetapi kalau masalah yang membuat Clara nampak murung seperti ini berhubungan dengan sosok Arga Yoga Saputra, Rudi bisa mengusahakan membantu Clara menghadapi dokter jantung setengah gila itu! "Makin lama aku makin takut, Rud." Akhirnya Clara buka suara, suaranya terdengar bergetar, menandakan bahwa memang dia sedang tidak baik-baik saja. "Takut apa, Mbak? Boleh saya tau?" Rudi tentu akan dimaki Morgan habis-habisan kalau dia abai dan tidak peduli dengan kondisi Clara macam ini. Semua yang berhubungan dengan Morgan adalah menjadi tugas Rudi. Termasuk jika Clara sampai ke