Rudi mendesah ketika Morgan kembali menghubungi dirinya. Dia kenapa sih? Hendak melahirkan? Atau bagaimana? Rudi segera mengangkat panggilan itu. Selain gemas, dia juga penasaran dengan apa yang membuat bosnya itu kembali mengubungi dirinya. "Ya, Bos?"Wajah gemas Rudi berubah menjadi tegang dan panik. Matanya membelalak dengan mulut setengah terbuka. Dia tidak sedang salah dengar, bukan? Dan bosnya itu tidak sedang mabuk, kan? Semua yang dia katakan itu benar atau hanya hoax semata? "Yang bener, Bos?" Tentu Rudi belum percaya, namun apa untungnya juta Morgan berbohong dan menyebarkan berita hoax itu? Wajah Rudi kembali tegang, ia menyimak dengan serius apa yang bosnya itu katakan lewat sambungan telepon. Otaknya spontan memvisualisasikan sosok gadis yang begitu dia cintai, gadis yang membuat hidup dan harinya jadi jauh kebugaran berwarna sekarang. "Ba-baik. Saya kesana, Bos."Rudi menutup panggilan telepon, bersamaan dengan itu mobil hitam muncul dan berhenti di depan mobil yang
Clara dengan begitu tergesa melangkah menyusuri koridor rumah sakit. Suara denting sepatunya yang beradu dengan lantai terdengar sedikit menganggu. Namun Clara sama sekali tidak peduli, di depan sang suami sudah menunggunya. Mereka harus segera pergi mengingat ada dua jadwal penting. Yang pertama, pergi ke rumah duka, menemui dan menyampaikan kabar duka cita dan yang kedua, mendatangi Arga untuk tahu hal penting apa yang hendak dia bicarakan bersama dengan dia dan Morgan. Clara segera menarik pintu mobil, naik dan memakai seat belt. "Lama, Sayang?" Tanya Clara begitu ia menoleh dan mendapati wajah Morgan nampak datar dan kaku. "Tidak-tidak, aku juga baru sampai kok. Don't much worry, Sayang." Mobil itu segera melaju, meninggalkan depan rumah sakit berbaur dengan jalanan yang cukup padat sore ini. Clara menyandarkan tubuhnya di jok, jujur kepalanya sedikit pusing, tetapi dia tidak bisa mengabaikan rencananya untuk sekedar datang dan mengucapkan bela sungkawa pada Callista. "Bagaim
"Aku turut berduka cita, Ta. Kamu yang telah, ya?"Callista tertegun menatap sosok cantik yang berdiri di hadapannya ini. Sungguh tidak salah memang kalau Morgan memilihnya. Dokter Clara sangat cantik sekali! "Terima kasih banyak, Dokter. Di sini, di depan jenazah mama saya, saya juga ingin meminta maaf atas perbuatan keji apa yang dulu hendak mama ingin lakukan pada Dokter."Tentu Callista harus memintakan maaf untuk sang mama pada Clara, dia hampir terbunuh oleh ambisi sang mama. Nampak dokter itu tersenyum begitu manis, membuat Callista yang notabene juga seorang wanita terpukau. Tangannya menepuk lembut bahu Callista, bisa dia rasakan wanita ini adalah wanita yang memiliki hati yang begitu lembut. "Bahkan sebelum kamu minta, aku udah maafin semuanya, Ta. Jangan pikirkan apapun, jangan sungkan lagi. Oke?"Callista merasakan matanya memanas. Bayang-bayang air mata kembali mengenang. Ia pasrah ketika Clara meraihnya ke dalam pelukan. Membiarkan tangisnya meledak dalam dekapan dokt
Arga melangkah turun dari Ferrari miliknya, mobil pemberian Morgan yang harus dia tukar dengan harta paling berharga dalam hidup Arga. Penampilan Arga malam ini benar-benar mirip eksekutif muda yang kekayaannya mencapai angka trilyunan! Sayang sekali, Kezia tidak ikut malam ini, setidaknya sekali seumur hidup dia bisa merasakan bagaimana rasanya berpenampilan macam orang kelas atas. Civitas Grill adalah sebuah restoran khusus yang menyajikan aneka menu barbekyu paling tersohor di kota ini. Menunya cukup banyak dan jangan lupa, resto ini cukup berkelas! Arga bahkan sudah memesan ruang VIP khusus untuk acara makan malamnya bersama Clara dan Morgan.Intinya malam ini, Arga ingin menyelesaikan sesuatu yang selama ini mengganjal di hatinya. Sebelum kemudian Arga melangkah lebih jauh lagi. Melangkah membuka lembaran baru hidupnya. Hidup bahagia tanpa tekanan siapapun, hidup dengan orang yang dia cintai. Membangun keluarga kecilnya sendiri dan jangan lupa ... Meregenerasi dirinya dengan mem
"Mas?"Rudi yang tengah Mengerjakan laporan itu lantas mengangkat wajah, menoleh dan mendapati Callista sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Sudah dua minggu semenjak kepergian mamanya, Callista jadi agak irit bicara, membuat Rudi jujur merasa kesepian jika dia sudah di apartemen. Hanya saja dia tidak bisa memaksa Callista untuk bersikap seperti biasanya, dia punya hak untuk menenangkan diri dan menuntaskan kesedihan yang menderanya. "Ya, Sayang?" Rudi mematikan laptopnya, agaknya kini sudah waktunya dia mengambil perannya sebagai orang yang mencintai Callista. Memberikan sedikit waktu untuk menemani dia bicara apapun itu. "Kamu belum tidur?" Callista melangkah masuk, langsung melingkarkan tangan memeluk leher Rudi dengan manja.Sudah kembali ke setelan pabrik! Hal yang mendadak membuat Rudi jadi was-was. "Masih ada kerjaan dikit sih, kamu sendiri belum tidur?" Rudi menggenggam tangan lembut itu, berusaha bagaimana caranya membuat gadis ini bisa segera kembali ke kamarnya. Call
Rudi membeliak ketika akhirnya miliknya bisa terbenam sempurna di dalam inti tubuh Callista. Segala macam prinsip yang selama ini dia pegang teguh luruh sudah. Terlebih betapa hangat dan nikmat sensasi yang Callista suguhkan makin membuat Rudi lupa diri. Rudi menundukkan wajah, menyeka air mata yang menitik di wajah itu. Dikecupnya bibir itu dengan lembut, lalu dengan begitu lirih dia berbisik. "Ini yang kamu minta, kan? Masih meragukan aku?"Mata itu terbuka, masih memerah dengan bayang-bayang air mata. Bukan hanya matanya yang memerah, wajah gadis yang begitu cantik dan menggemaskan di mata Rudi itu juga memerah. Kalau saja rasa nikmat itu tidak menguasai dan menghipnotis Rudi dengan begitu luar biasa, mungkin Rudi akan menyudahi aktivitas ini. "Mas, pelan!"Rudi tersenyum, ia masih belum bergerak sedikitpun, walaupun sebenarnya dia begitu ingin, tapi dia tahan barang sebentar. "Aku nggak bisa janji, Sayang." Rudi balas berbisik, menarik miliknya perlahan-lahan dari dalam sana la
Morgan meraih dan mencengkeram kuat tangan sang istri. Mereka duduk di barisan bangku paling depan, menyaksikan acara sakral itu di mulai. Clara menoleh dan tersenyum, bisa Morgan lihat istrinya begitu cantik dengan dress warna tosca yang memamerkan bahunya yang putih bersih. "Inget momen kita dulu, nggak?" Bisikan Morgan tanpa melepaskan genggaman tangan mereka. "Aku rasa, sampai nanti rambutku memutih semua pun aku tidak akan pernah melupakannya, Sayang!" Balas Clara sama lirihnya. Morgan tersenyum, mengangkat tangan itu lalu mengecup punggung tangan sang istri dengan begitu lembut dan manis. Sementara Clara, ia tersenyum membiarkan sang suami mengecup tangannya. Siapa yang mengira bahwa kepahitan hidup yang dulu Clara alami akan berubah semanis ini? Dari harus rela membiarkan Arga menikahi wanita lain, jatuh dalam jerat ambisi Arga yang masih begitu ingin memilikinya sampai melakukan segala cara, hingga kemudian, Tuhan mempertemukan Clara dengan Morgan dalam kecelakaan yang men
Dicky menatap nanar undangan yang tadi Arga dan gadis belia itu hantarkan ke mejanya. Ada semacam perasaan tidak rela di hati Dicky melepas Arga menikah dengan wanita lain. Bagaimanapun, sebelum Indira jatuh cinta pada Arga, Dicky sudah lebih dulu jatuh cinta. Jatuh cinta dalam artian lain, bukan cinta seperti pada lawan jenis. Dia sudah lebih dulu membidik Arga henda dia jadikan mantu, ketika kemudian secara kebetulan anak gadisnya sendiri yang meminta agar dijodohkan dengan residen jantung tahun ke tiga itu. Sebuah kebetulan, bukan? Dengan penuh semangat, dulu Dicky langsung melobi ke orang tua Arga. Tidak peduli dia ada di pihak perempuan, lelaki seperti Arga ini tidak bisa dia lepaskan begitu saja. Arga benar-benar sosok lelaki sempurna di mata Dicky, sosok menantu idaman semua bapak mertua. Satu kesalahan fatal Dicky saat itu adalah tutup mata dengan kondisi Arga yang sebenarnya. Dia tidak mencoba mencari tahu apakah lelaki muda, calon dokter spesialis seganteng Arga ini masih