Share

Chapter 2

"Jika kau tidak tau apa yang aku pikirkan. Berhentilah menebak, bodoh!" [Rey R. R.]

______

Sesuai janjinya kepada Mariam, hari ini Ray memutuskan untuk jalan-jalan. Ya walaupun tidak lama tapi Ray harus berusaha sebaik mungkin agar dirinya tidak dianggap boneka lagi oleh keluarga Robertson.

Ray berdecak kesal, hampir 30 menit dirinya menunggu di gerbang manshion tapi batang hidung Mariam tidak juga muncul membuat Ray semakin kesal.

"Dimana perawan tua itu." geram Ray.

Karena lelah menunggu, Ray memutuskan untuk berjalan sendirian keluar manshion.

Tidak begitu buruk tapi cukup membuat kaki Ray gemetaran. Pasalnya banyak pasang mata yang menatap aneh ke arahnya. Apanya yang salah? Dengan cepat Ray memeriksa keadaan dirinya. Baik-baik saja malahan terlihat sangat tampan.

Ray mengacuhkan semua pasang mata yang melihatnya dan memilih untuk fokus berjalan.

Sudah lama rasanya dirinya tidak keluar manshion. Terakhir kali dirinya keluar manshion saat berusia 9 tahun. Ya, bisa dibilang dirinya adalah boneka langka yang disimpan pemiliknya agar tidak disentuh oleh orang lain.

Ray terkekeh pelan, tidak mungkin. Bahkan keluarganya tidak peduli sedikitpun apa yang terjadi kepadanya.

Ray terus mengedarkan pandangannya. Sangat sejuk. Ditambah ada banyak pohon tinggi yang menghiasi tepi jalan membuat jalanan menjadi teduh dan adem.

Bukan hanya itu saja, terdapat banyak orang yang berlarian atau biasa disebut dengan lari pagi serta beberapa kedai kecil yang menjual minuman dan makanan ringan.

Senyuman mulai terukir di bibir tipis Ray. Kenapa tidak dari dulu saja dirinya keluar manshion?

Saking kagumnya, Ray tak menyadari bahwa dirinya berjalan sampai ditengah jalan membuat mobil dibelakangnya berhenti mendadak.

"Hei bocah, jangan menghalangi jalanku!"

Ray tersentak dengan cepat Ray berlari ke pinggir jalan melihat pengemudi mobil tadi menatap tidak suka ke arahnya.

"Maaf." ujar Ray.

"Lain kali pakai matamu!"

Setelah puas membentak Ray, pengemudi tadi melanjukan mobilnya meninggalkan Ray yang berusaha menenangkan detak jantungnya.

"Huhfff hampir saja." gumam Ray.

Baru saja Ray ingin melangkah, tiba-tiba ada seorang anak kecil yang menghampirinya. "Kakak, apa yang kau pegang itu?" tanyanya.

Ray mengerti dengan apa yang dikatakannya membuat Ray refleks menyembunyikan creepy dollnya di belakang punggungnya.

"Apa itu? Aku ingin melihatnya."

Anak kecil itu terus memutari tubuh Ray membuat Ray kewalahan, "Jangan mengangguku!" teriak Ray membuat anak kecil tadi terdiam dan menangis kencang.

Melihat hal itu membuat Ray merasa cemas. Ray takut kalau ada orang yang membencinya. Ray tidak sengaja, sungguh. Begitulah pikir Ray.

Ray melihat sekelilingnya dan benar saja sesuai dugaan Ray banyak pasang mata yang menatap tak suka ke arah dirinya membuat rasa cemas dan takut kembali menghantui Ray.

"Apa yang kau lakukan kepada anakku?"

Ray menatap ke depan, terlihat seorang wanita yang berlari ke arahnya dan memeluk anak kecil tadi.

"Apa yang kau lakukan?" tanyanya.

"Ibu, kakak itu memarahiku." rengek anak kecil.

Dengan cepat Ray menggelengkan kepalanya, "Tidak. Aku tidak salah. Dia yang salah."

"Jauhi anakku dasar aneh."

Ibu anak kecil tadi dengan cepat mengendong anaknya dan membawanya pergi meninggalkan Ray sendirian yang masih terpaku di tempatnya berdiri.

Ray menyentuh dadanya merasakan debaran yang amat kencang menandai dirinya mengalami kecemasan berlebihan.

"Ray!"

Ray mengenali suara itu. Dengan cepat Ray berbalik dan terlihatlah Mariam berlari ke arahnya.

"Kenapa Anda pergi meninggalkanku. Kalau -"

Ucapan Mariam terhenti karena Ray yang tiba-tiba memeluknya dengan erat. Ray merasa sangat takut, oleh karena itulah dirinya memeluk Mariam.

Merasakan tubuh Ray yang bergetar hebat membuat Mariam mengerti dengan apa yang baru saja terjadi. Dengan lembut, Mariam membalas pelukan Ray dan mengecup puncak kepalanya.

"Jangan takut, ada aku di sini." bisik Mariam.

Seolah seperti sebuah sihir, membuat Ray kembali tenang dan melonggarkan pelukannya kepada Mariam.

Ray mendonggakkan kepalanya menatap wajah Mariam yang menatap lembut ke arahnya.

"Aku ingin pulang, ayo." ajak Ray.

Mendengar ajakan Ray, tangan Mariam terulur untuk mengelus wajah tampan Ray membuat pemiliknya memejamkan mata.

"Nanti saja. Kita harus jalan-jalan dulu sebentar -"

"Tapi aku takut." potong Ray.

Mariam mengerti apa yang dimaksud oleh Ray. Sangat susah untuk Ray bisa berbaur dengan lingkungan sekitar.

"Tidak akan terjadi sesuatu. Kali ini ada aku yang menemanimu." bujuk Mariam.

Ray menganggukkan kepalanya menyerah mengikuti apa yang dikatakan oleh Mariam.

"Sekarang pegang tanganku dan kita akan jalan-jalan. Mau es krim?" tanya Mariam.

Ray memegangi dagunya menimang tawaran Mariam. "Tidak buruk juga. Baiklah."

Mariam tersenyum dan membawa Ray menuju kedai es krim. Setelah mendapatkan es krim, Mariam kembali membawa Ray jalan-jalan.

Mariam melirik Ray sekilas. Terlihat sangat lucu saat Ray menjilati es krimnya. Oh ayolah, Ray sudah besar tapi ada banyak es krim yang berlepotan di ujung bibirnya membuat Mariam terkekeh geli.

Tiba-tiba Mariam merasakan perutnya kembali bergejolak. Alasan Mariam telat tadi karena perutnya sangat mulas efek memakan cabai terlalu banyak.

"Tuan muda, bisakah Anda menunggu sebentar. Aku ingin buang air besar." ujar Mariam.

Belum saja Ray menjawab Mariam sudah lari terlebih dahulu mencari toilet terdekat. Ray menghembuskan napasnya dan kembali melihat disekitarnya.

Setelah merasa semuanya aman, Ray duduk di kursi taman kembali menikmati es krimnya yang hampir saja cair.

Saat sedang asik menikmati es krimnya, mata Ray tak sengaja melihat dompet berwarna pink yang tergeletak tak berdaya di kaki kursi taman.

Karena rasa penasaran, Ray mengambil dompet tersebut dan memeriksanya. Terdapat beberapa kartu, foto dan beberapa lembar uang di dalamnya.

Ray melihat foto di dompet tersebut. Seorang wanita. Entah kenapa Ray tertarik untuk mengembalikan dompet tersebut kepada pemiliknya.

Entah sebuah keberuntungan atau hanya sekedar kebetulan, pemilik dompet tersebut berjalan melewatinya dengan raut wajah yang terlihat sangat khawatir sembari menoleh kesana kemari hendak mencari sesuatu.

Setelah mengumpulkan keberaniannya, Ray bangkit menghampiri gadis tersebut.

"Permisi nona." serunya.

Gadis muda tersebut menoleh dan mendapati Ray menatap ragu ke arahnya.

"Ada yang bisa aku bantu?" tanyanya.

Ray meneguk salivanya dengan kasar dan menyodorkan sebuah dompet berwarna pink ke arah gadis tadi membuatnya terpekik senang.

"Kau menemukan dompetku? Terima kasih."

Tanpa gadis itu sadari, sebuah senyuman yang sangat langka terukir di bibir tipis Ray. Entah kenapa Ray merasa senang. Ray merasa ini pertama kalinya ada orang asing yang berterima kasih kepadanya.

"Dimana kau menemukannya? Oh Tuhan aku sangat beruntung sekali. Kalau tidak ada kau, entah bagaimana nasib dompetku sekarang."

Bukannya menjawab, Ray malah semakin mengembangkan senyumannya menghiraukan es krimnya yang mulai cair di tangannya.

Melihat hal itu, gadis itu tertawa pelan dan meraih tisu untuk membersihkan sisa es krim di bibir Ray.

"Kau seperti anak kecil saja. Nah, sekarang sudah bersih." ujarnya.

Mendapatkan perlakuan aneh, Ray merasa malu. Entah kenapa, Ray merasakan kedua pipinya terasa panas. Ingin rasanya Ray menyembunyikan wajahnya.

Sekali lagi, gadis itu tertawa melihat reaksi Ray yang menurutnya sangat menggemaskan.

"Kau lucu sekali. Ngomong-ngomong siapa namamu?" tanyanya.

Ray menundukkan pandangannya tak berani menatap mata indah itu, "Ray." jawab Ray singkat.

"Namamu bagus. Tidak ada nama belakang?" tanyanya.

Ray ingin mengatakannya tapi Ray tak ingin orang lain tau siapa dirinya mengingat ayahnya yang menyembunyikan identitasnya di publik.

Dengan pelan, Ray menggelengkan kepalanya sembari memeluk creepy dollnya erat.

Gadis itu menganggukkan kepalanya tanda mengerti, "Begitu. Baiklah giliranku. Namaku Elvara Viandra. Panggil saja Vara." ujarnya sembari mengulurkan tangannya kepada Ray.

Dengan ragu, Ray menyambut ukuran tangan tersebut. Terasa sangat hangat berbeda dengan tangannya yang terasa sangat dingin.

"Tanganmu dingin sekali." ujar gadis itu, Vara.

"Ah iya memang seperti itu." balas Ray sembari melepaskan pengutan tangannya karena merasa tak enak.

"Baiklah kalau begitu. Aku harus pergi, semoga kita bertemu lagi."

Vara berjalan melewati tubuh Ray yang terasa membeku. Ray merasa tak terima. Ray ingin mengobrol lebih lama lagi dengan Vara, tapi...

Dengan cepat Ray berbalik menatap punggung Vara yang mulai menjauh.

"Vara ya. Tidak buruk." gumam Ray.

"Siapa itu?"

Ray terkejut setengah mati mendengar bisikan Mariam. Bukannya meminta maaf, Mariam malah tertawa terbahak-bahak membuat Ray kesal dibuatnya.

"Siapa yang Anda lihat, Tuan muda?" tanya Mariam diikuti kedipan matanya yang menjijikan menurut Ray.

"Bukan urusanmu." balas Ray dengan malas.

Mariam tersenyum penuh makna membuat Ray semakin kesal. "Ayo pulang. Aku sudah lelah." elak Ray.

Mariam berusaha menyembunyikan senyumannya karena sedari awal Mariam melihat bagaimana interaksi Ray dengan gadis cantik tadi.

"Aku harap Tuan muda mulai terbiasa." gumam Mariam yang tentu saja hanya dirinya yang dapat mendengarnya.

********

Setelah kejadian itu, Ray merasa matanya tak mengantuk lagi. Lebih tepatnya pikiran Ray selalu terarahkan kepada gadis yang ditemuinya tadi pagi.

Vara. Nama yang sangat bagus. Bahkan lebih bagus dari pada namanya.

"Jangan mudah percaya kepada orang lain, pengecut."

Merasa terganggu, Ray menoleh ke arah Rey. Seketika raut wajah Ray berubah kembali menjadi datar. Apa yang dikatakan Rey ada benarnya. Seharusnya dirinya tidak begitu mudah percaya kepada orang lain.

Tapi mengingat senyuman tulus dari wajah cantik Vara, Ray membuat pengecualian.

"Aku khawatir kau mulai terjebak dengan mulut manisnya."

Ray memilih bungkam, tak menghiraukan ucapan Rey yang entah kenapa rasanya benar sekali.

Ray kembali menatap Rey dengan intens, "Lalu menurutmu, apa kesanmu kepadanya?" tanya Ray.

"Kesanku? Kau bertanya sesuatu yang tidak penting nak. Tentu saja kesanku tidak baik. Aku khawatir kau mendadak menjadi pendiam lagi." balas Rey.

"Hn, kau benar. Lebih baik aku tidak mendengarnya." lirih Ray.

"Lebih baik begitu."

Lama keduanya terdiam sampai pada akhirnya suara ribut terdengar dari lantai bawah membuat Ray dan Rey saling pandang.

"Apa yang terjadi?" tanya Ray.

"Mari kita lihat."

Dengan cepat Ray turun dari king size miliknya berlari menuruni anak tangga. Ray melihat Ibunya, Nisa yang dipeluk oleh Bryan sembari menangis histeris. Entah apa yang terjadi membuat Ray bingung.

Mariam yang melihat kehadiran Ray dengan cepat membawa Ray kembali menuju kamarnya sebelum sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.

"Tuan muda, kenapa Anda turun? Ayo, kita kembali." ajak Mariam.

Ray menghempaskan pegangan tangan Mariam dan berjalan menuju Nisa, ibunya. Tapi baru beberapa langkah, dengan cepat Mariam menyeret Ray dan membawanya menaiki anak tangga.

"Lepaskan aku Mariam. Apa yang terjadi?" tanya Ray tak sabaran.

"Tuan muda, ayo kita kembali ke kamar."

Ray terus memberontak berusaha melepaskan tarikan paksa dari Mariam sehingga sebuah teriakan berhasil membuat tubuhnya lemas.

"Roy tidak mungkin meninggal!"

DEG.

Bagaikan sebuah hantaman besar membuat Ray seketika langsung terduduk lemas, tidak berdaya. Apa yang terjadi? Apakah Ray melewatkan sesuatu? Roy meninggal? Kakaknya? Tapi, kenapa?

Creepy doll terjatuh dari pelukan Ray, merasakan sesak Ray memegangi dadanya sembari mengatur napasnya.

"Tidak mungkin! Ini tidak mungkin terjadi! Roy!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status