Share

Chapter 3

"Menangislah kalau itu bisa membuatmu kembali tenang." [Mariam]

______

Melihat sesuatu yang terjadi kepada Ray, dengan cepat Mariam meraih tubuh Ray dan memeluknya dengan erat.

"Tenangkan dirimu Tuan muda. Tenang!" bujuk Mariam.

Ray terus bergumam mengatakan semua ini tidak mungkin terjadi. Bagaimana bisa?

Ray menoleh kebelakang melihat Ibunya yang dipeluk erat oleh Ayahnya. Ray berusaha bangkit dengan bantuan Mariam berjalan menuju Nisa, Ibunya.

Creepy doll yang tergeletak di lantai tak dihiraukannya. Yang terpenting saat ini adalah Ray harus mencari tau kebenarannya.

"Mah." panggil Ray.

Bukannya sahutan lembut atau pelukan hangat, yang Ray dapatkan adalah tatapan penuh amarah serta kebencian dari mata Nisa.

"Ini semua salah kamu! Kamu pembawa sial di keluarga ini!"

Tubuh Ray seketika menegang. Dari semua caci maki yang Ibunya lontarkan untuknya, hanya ini yang mampu membuat Ray merasa sangat terganggu.

"Nisa, hentikan!" bentak Bryan.

"Apa? Yang aku katakan itu memang benar! Anak ini, anak ini pembawa sial! Kalau aku tau dari dulu, seharusnya aku tidak melahirkannya!" teriak Nisa sembari menunjuk wajah Ray yang terlihat sangat syok.

Dengan cepat Ray menggelengkan kepalanya menangkis apa yang dikatakan Nisa, "Tidak mah, itu semua bukan salah Ray. Ray mohon mah, Ray -"

"Jangan sentuh aku sialan!"

Ray terjatuh karena Nisa mendorongnya, dengan sigap Mariam menahannya. Air mata Ray semakin deras membasahi pipinya menatap tak percaya kepada Ibunya.

Ray menoleh ke arah Bryan meminta pembelaan tapi sayangnya semua itu tak berlaku, Bryan mengalihkan pandangannya seolah-olah tak melihat kejadian barusan.

Tiba-tiba napas Ray memburu. Rasa takut dan cemas kembali menghantuinya membuat keringat semakin banyak membanjiri wajahnya yang terlihat semakin pucat.

Mariam tak tinggal diam. Dengan cepat Mariam menyuruh beberapa pelayan menopang tubuh Ray membawanya ke kamar. Tak lupa pula creepy doll milik Ray.

Setelah membaringkan tubuh Ray di atas tempat tidurnya, Mariam meletakkan creepy doll di sebelah Ray.

Tatapan Ray kosong saat ini. Pandangan Ray fokus menatap langit-langit kamar menandakan seberapa hancurnya dirinya saat ini.

Melihat hal itu membuat hati Mariam terasa diiris-iris. Pasalnya 10 tahun lamanya menjadi psikiater pribadi Ray, ini pertama kalinya Mariam melihat tatapan kosong seperti itu.

Mariam ikut berbaring di sebelah Ray dan membawanya masuk ke dalam pelukannya. Dan benar saja, Ray membalas pelukannya.

Di saat itulah tangisan Ray pecah. Ray menangis sejadi-jadinya melampiaskan rasa sedih, amarah dan bencinya di dalam tangisan tersebut.

Mendengar tangisan pilu dari Ray membuat Mariam tak menyadari bahwa air matanya ikutan terjatuh membasahi pipinya.

Ray semakin mempereratkan pelukannya membuat Mariam merasakan sedikit sesak tapi untuk melampiaskan semuanya Mariam tak mempermasalahkan itu. Karena Mariam juga sudah menganggap Ray seperti anaknya sendiri.

"Menangislah kalau itu bisa membuatmu kembali tenang." bisik Mariam.

Seperti menuruti perkataan Mariam, Ray semakin menangis dan mencekam erat kemeja berlogo psikiater milik Mariam.

Mariam memejamkan kedua matanya berharap ini semua hanyalah mimpi tapi Mariam sadar bahwa semuanya adalah kenyataan.

Kenyataan bahwa Roy, Roy River Robertson putra tertua Robertson meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas.

Mariam tau, bagaimana kasih sayang serta perhatian kecil yang diberikan Roy tentu saja tidak bisa dilupakan begitu saja oleh Ray.

Hanya Roy satu-satunya anggota keluarga Robertson yang mau menerimanya, yang mau menganggap kehadirannya, yang selalu membelanya. Tapi kini? Siapa lagi yang akan membela Ray? Siapa lagi yang akan memberikan kasih sayang dan perhatian kecil kepada Ray? Sudah tidak ada lagi.

Dirinya? Tentu saja dirinya selalu memberikan semuanya termasuk kasih sayang seorang Ibu kepada Ray hanya saja Mariam sadar posisi. Posisinya sebagai orang asing tentu membuat Ray merasa tidak nyaman.

Hampir dua jam lamanya Ray menangis dan saat itu Mariam sudah tidak mendengar suara isakan tangis lagi melainkan dengkuran halus yang beraturan menandakan Ray sudah tertidur karena lelah sehabis menangis.

Perlahan-lahan Mariam melepaskan pelukannya beralih mengusap lembut wajah tampan Ray, menghapus bekas air mata Ray yang sudah mendingin.

"Aku tau, kau kuat Ray." lirih Mariam.

Mariam meraih creepy doll menyimpannya di dalam pelukan Ray dan menyelimuti Ray sampai batas leher.

Mariam kembali mengacak lembut rambut hitam lebat Ray sembari bergumam, "Kau anak yang kuat."

********

Langit mulai gelap di pagi hari menandakan langit sebentar lagi akan menangis, mencurahkan air hujan yang membasahi bumi.

Seperti dengan suasana hati Ray saat ini. Ternyata langit sangat mengerti tentang dirinya. Yang awalnya hanyalah rintik-rintik berganti dengan lebatnya hujan.

Hari ini adalah hari pemakaman kakaknya, Roy. Putra tunggal keluarga Robertson. Begitulah kata media.

Ray menatap kosong ke arah luar lewat balkon kamarnya seolah-olah sedang menghitung berapa banyak jumlah air hujan yang terhitung. Hasilnya adalah tak terhitung.

Begitulah yang dirasakan Ray saat ini. Rasa sedih, amarah, dan kecewa tak terhitung bersemayam di dalam dirinya.

Ray hanya bisa duduk termenung di atas lantai dengan creepy doll di atas pangkuannya. Tangan Ray tak berhenti mengelus kepala creepy dollnya seolah-olah creepy dollnya benaran benda hidup.

Ray dilarang pergi ke pemakaman Roy dikarenakan tidak ingin ada pihak media yang menangkap sosok dirinya. Begitulah kata Bryan, ayahnya.

Karena takut Ray nekat pergi sendirian, Bryan memutuskan untuk mengunci seluruh pintu di manshion termasuk pintu kamar Ray dengan banyak bodyguard yang berjaga di depan pintu kamarnya.

Mariam? Tentu saja psikiater cerewet itu pergi juga, meninggalkan Ray seorang diri di dalam kamar. Entah apa alasannya, Ray tidak tau.

Suara volume tv yang sengaja Ray besarkan agar dirinya dapat mendengar berita tentang keluarga terpandang di Amerika, keluarga Robertson.

Menjijikan sekali. Terkadang Ray merasa jijik dengan nama belakangnya. Keluarga Robertson yang katanya dikenal dengan keluarga terkaya ketiga di Amerika memiliki sifat yang rendah hati dan ramah. Cih, omong kosong.

Semua itu hanyalah topeng, Ray tau itu. Karena keluarga Robertson selalu ingin dipandangan baik oleh publik, oleh karena itulah mereka menyembunyikan keberadaan dirinya.

"Pukul 23:15 malam tadi, putra tunggal keluarga Robertson yang sebentar lagi akan bertunangan mengalami kecelakaan lalu lintas. Pihak polisi masih menyelidiki kasus ini..."

Begitulah kata reporter di tv yang menyiarkan berita live langsung dari pemakaman.

"Kalau kakak Roy sudah tidak ada lagi, seharusnya aku juga tidak ada kan Rey?" tanya Ray.

Creepy doll, Rey tertawa menggema di dalam kamar yakni suara tawa itu berasal dari mulut Ray.

"Dasar bodoh. Sekali pecundang tetap pecundang!"

"Lalu apa yang harus aku lakukan?" lirih Ray.

"Tidak banyak, kau hanya harus membalas semuanya."

"Bagaimana caranya?" tanya Ray dengan raut wajah serius.

"Kau pernah mendengar istilah ini? Darah harus dibayar dengan darah. Kematian Roy disebabkan oleh keluarga Robertson."

"Jadi?" tanya Ray menyakinkan.

"Jadi...kau hanya perlu membantai keluarga Robertson!"

Mendengar hal itu sontak membuat Ray membeku seketika. Tangannya mengepal. Wajahnya semakin pucat dengan peluh yang membanjiri wajahnya. Apa yang dikatakan Rey ada benarnya, tapi tidak sekarang. Begitulah pikir Ray.

"Jangan kurang ajar, Rey!" bentak Ray.

"Kau pun sama kurang ajarnya bocah. Kau akan melakukannya nanti kan?"

Seperti tertangkap basah, Ray terkekeh geli mendengar tebakan Rey.

"Bodoh! Bodoh!"

"Ahahahah!"

Keduanya tertawa begitu kencang membuat beberapa bodyguard yang mendengarnya seketika merinding. Tiba-tiba bulu tengkuk mereka berdiri.

"Sepertinya penyakit Tuan muda semakin parah." bisik salah satu dari mereka.

"Kalau begitu, telfon nona Mariam."

Salah satu dari mereka menelfon Mariam mengabari kepada wanita seksi itu bahwa keadaan Tuan muda mereka tidak baik-baik saja saat ini.

Mendengar hal itu, dengan cepat Mariam kembali dari pemakaman menuju manshion Robertson dimana Ray berada.

Apa yang dikatakan beberapa bodyguard itu sukses membuat pikiran negatif menjalar di pikiran Mariam tapi dengan cepat Mariam menepisnya.

"Ray pasti baik-baik saja." gumamnya.

*******

Dengan cepat Mariam berlari di dalam manshion menaiki anak tangga. Tak peduli berapa kali dirinya tersandung karena sepatu hells sialannya itu karena yang ada dipikirannya saat ini adalah Ray.

Setelah sampai di depan pintu kamar Ray, Mariam merongoh kantong celananya untuk mengambil kunci kamar Ray.

"Kalian pergilah, sudah ada aku disini." titah Mariam yang langsung dituruti bodyguard tersebut.

Dengan pelan-pelan sembari menongolkan kepalanya dulu, Mariam membuka pintu kamar Ray. Objek pertama yang dilihatnya adalah tubuh Ray yang berbaring meringkuk di atas karpet berbulu dengan creepy doll di dalam dekapannya.

Malihat hal itu tentu saja Mariam khawatir. Dengan cepat Mariam menghampiri Ray dan menggoyangkan pelan tubuhnya.

"Tuan muda. Bangun. Kenapa Anda tidur di sini?" tanya Mariam.

Perlahan mata hitam pekat itu terbuka. Karena masih mengantuk, Ray mengeliat mencari posisi yang nyaman dan kembali memejamkan matanya.

Mariam hanya bisa mendengus kesal karena Ray lagi dan lagi mengacuhkannya. "Tuan muda, ayo bangun. Jangan tidur disini. Anda bisa sakit."

Ray berdecak kesal dan bangkit tiba-tiba membuat Mariam terkejut. "Kau cerewet sekali, Mariam." ketus Ray.

Melihat perubahan Ray membuat Mariam semakin khawatir. Sedingin-dinginnya Ray, tapi kali ini mata Ray terlihat sangat gelap dari pada sebelumnya membuat Mariam kembali menerka-nerka apa yang terjadi.

"Masih betah duduk di situ?"

Pertanyaan Ray sukses membuyarkan lamunan Mariam. Dengan cepat Mariam berdiri merapikan kemejanya dan berjalan menghampiri Ray yang saat ini sedang duduk di atas king size miliknya.

"Bagaimana keadaanmu? Apakah Anda baik-baik saja, Tuan muda?" tanya Mariam sembari menyelidiki perubahan raut wajah Ray tapi nihil, wajah itu semakin datar saja membuat Mariam tak bisa membaca arah pikiran Ray saat ini.

"Aku ingin tidur."

Mariam melongo tak percaya. Memang ini bukan pertama kalinya Ray mengacuhkannya tapi lihatlah Ray mengucapkan sesuatu tanpa ekspresi.

"Aa...baiklah Tuan muda. Silahkan tidur." ujar Mariam sembari menarik selimut untuk Ray.

Cuaca sangat dingin karena hujan, Mariam mengerti itu karena itulah Mariam meraih selimut yang tebal untuk Ray.

Ray mengatakan ingin tidur tapi matanya tak terpejam membuat Mariam merasa heran. Apakah Ray menunggu dirinya bercerita tentang keadaan di pemakaman? Bisa jadi. Karena Mariam tau, ego Tuan mudanya itu sangat tinggi.

Dia tidak ingin harga dirinya turun hanya untuk menanyakan hal sepele.

"Keadaan di pemakaman sangat ramai. Nyonya sampai pingsan dan -"

"Apakah aku menyuruhmu bercerita?" potong Ray.

Tiba-tiba atmosfer berubah menjadi dingin. Lebih dingin dari pada suhu hujan saat ini. Mariam merasakan ketegangan dan tatapan intimidasi dari Ray membuat Mariam kesulitan menelan salivanya.

"Saya...saya hanya -"

"Aku tidak menyuruhmu mendongeng, Mariam!" potong Ray dengan nada penuh penekanan tapi raut wajahnya tetap datar.

Mariam menganggukkan kepalanya pelan dan pergi meninggalkan Ray seorang diri sesuai seperti perintah yang dilontarkan Ray.

Setelah menutup pintu kamar Ray, Mariam menarik napas panjang dan menghebuskannya dengan kasar.

Ada sesuatu yang aneh. Tapi apa?

Mariam mengerti, Ray pasti sangat terpukul dengan kepergian Roy, tapi entah kenapa tatapan mata itu sangat tidak mengenakan.

"Aku harus cari tau."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status