Share

Chapter 5

"Takut mencoba, kau tidak akan tau apa yang akan terjadi selanjutnya." [Ray R. R.]

______

Ray turun dari mobil, meninggalkan mobil yang didalamnya terdapat sopir pribadinya yang ditugaskan Bryan untuk menjaga Ray.

Baru saja Ray melangkah masuk ke dalam gerbang, tiba-tiba Ray merasakan kedua kakinya bergetar hebat.

Pasalnya sekolah yang dilihatnya sangat ramai. Dengan perasaan cemas, Ray memeluk creepy doll dengan erat.

"Kau pasti bisa Ray." gumam Ray. "Takut mencoba, kau tidak akan tau apa yang akan terjadi selanjutnya."

Ray berjalan menelusuri sekolah yang katanya sekolah terbaik di Amerika. Ray akui itu, selain bangunan yang terbilang sangat terbaik, lapangannya juga sangat besar. Terdapat taman di sebelah lapangan basket, dan ada air mancur di tengah-tengah taman.

Baiklah, lumayan. Ray terus berjalan mencari ruangan guru, tak menghiraukan tatapan aneh dari beberapa siswa yang melihatnya.

"Dia siapa sih?"

"Kenapa dia bawa boneka?"

"Aneh sekali."

"Ya ampun, dia tampan."

Oh ayolah, Ray dapat mendengar itu. Salah satu kelebihan di tubuh Ray selain memiliki otak yang sangat jenius adalah Ray memiliki pendengaran yang sangat tajam.

Setelah menemukan ruang guru, Ray mengetuk pintu dan masuk ke dalam ruang guru setelah mendapati sahutan di dalamnya.

"Permisi."

"Oh apakah kau Ray River Robertson?"

Mendengar pertanyaan guru lelaki berbadan gemuk itu, Ray sempat terkejut. Sejak kapan ada orang lain tau marganya? Yang Ray tau kalau Bryan berusaha menyembunyikan dirinya agar orang lain tidak tau siapa dirinya. Tidak mungkin guru itu tiba-tiba tau marganya bukan?

Tunggu. Bryan. Ah Ray hampir lupa seperti apa pria tua itu. Ini pasti ulah Bryan, tapi kenapa?

Dengan cepat Ray menggelengkan kepalanya menepis pikirannya. "Iya, namaku Ray River Robertson." jawab Ray dengan wajah khas datarnya.

Guru itu menganggukkan kepalanya tanda mengerti dan membawa Ray keluar dari ruangan guru menuju ruangan kepala sekolah.

Ray sebenarnya tidak mengerti, kenapa harus serumit ini. Sepanjang perjalanan Ray terus berpikir, Ray takut dibully lagi. Terakhir kali Ray dibully saat Ray duduk dikursi taman kanak-kanak.

Ray menghembuskan napasnya dengan kasar, semoga saja tidak.

Ray dan guru berbadan gemuk itu sampai di sebuah pintu yang sangat besar, ukiran pintunya sangat menarik ditambah dicat dengan warna coklat emas. Sangat bergaya, pikir Ray.

Setelah mengetuk pintu, Ray dibawa masuk dan terlihatlah seorang pria yang duduk membelakangi Ray.

Pria itu menoleh. Kulit keriputnya tidak menyurutkan aura ketampanan dan gaya coolnya. Ray tau, masa muda pria di depannya ini pasti sangat bersejarah. Terlihat dari gaya duduknya dan tatapan tajamnya.

"Pak Wiyata, ini adalah Ray River Robertson, dari keluarga Robertson. Mulai sekarang dia akan bergabung dengan siswa lainnya di sini." ujar guru tadi.

Pandangan pria yang duduk di depannya tadi atau Pak Wiyata seperti yang disebutkan guru di sebelah Ray, mengalihkan pandangannya ke arah Ray.

Diperhatikannya Ray dari atas sampai bawah membuat Ray merasa tidak nyaman.

"Duduklah."

Ray mengangguk dan duduk di kursi di depan meja Pak Wiyata. Entah kenapa tiba-tiba Ray merasakan sesuatu yang aneh. Terus terusan dilihat oleh pria di depannya membuat Ray merasa tidak nyaman. Tatapan intimidasinya seolah-olah merobek seluruh tubuh Ray.

Karena kembali merasa cemas, Ray memeluk erat creepy dollnya yang ada di atas pangkuannya.

"Kenapa membawa boneka? Apakah kau melihat aturan disini bahwa siswa boleh membawa boneka?" tanyanya.

Tiba-tiba suasana menjadi dingin. Peluh mulai membanjiri. Mendengar suara bass itu seketika membuat Ray tak tau apa tujuannya datang kemari.

Setelah berusaha mengumpulkan keberaniannya, Ray berusaha menjawab. "Dia...adalah temanku. Aku tidak bisa meninggalkannya." jawab Ray gelagapan.

Pak Wiyata menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Setelah itu, dia terlihat sangat sibuk membuka lemari dan mengeluarkan beberapa map setelah itu menulis sesuatu.

Entah apa yang dikerjakannya, Ray tidak peduli. Yang saat ini Ray pikirkan adalah pria di depannya. Jika dilihat-lihat, pria di depannya memiliki aura yang berbeda.

Ray memainkan jari-jarinya karena Pak Wiyata belum juga selesai menulis. Kenapa lama sekali? Gerutu Ray.

Setelah sekian lama menunggu, akhirnya selesai juga. Pak Wiyata menyerahkan selembar kertas itu kepada guru berbadan gemuk yang sedari tadi berdiri di belakang Ray.

"Antar dia."

*******

Selama perjalanan menuju kelas, Ray memilih bungkam. Tak menjawab satu pun pertanyaan dari guru di sebelahnya.

Ray semakin memeluk creepy dollnya dengan erat karena kelas yang ditujunya sudah berada di depan matanya.

Tok. Tok. Tok.

Pintu kelas terbuka dan nampaklah seorang wanita dengan balutan kemeja serta rok bermotif sama dengan guru di sebelahnya tadi.

"Ini dia anaknya."

"Baiklah, terima kasih pak Darwin."

Ray baru tau, ternyata guru disebelahnya tadi bernama pak Darwin. Ray tak kepikiran untuk melihat label namanya.

"Mari nak."

Dengan ragu-ragu, Ray melangkahkan kakinya memasuki kelas yang sangat luas. Ray mengedarkan pandangannya takjub melihat hiasan yang ditempel di dinding kelas yang dicat dengan warna putih susu. Saking kagumnya, Ray sampai tak menyadari kalau dirinya sudah berdiri di depan siswa yang menatap aneh ke arahnya.

Melihat tatapan aneh mereka membuat Ray kembali dihantui rasa cemas dan takut. Ray takut kalau dirinya berbuat salah, Ray takut kalau dirinya akan dibully, Ray takut kalau dirinya akan memberikan kesan perkenalan yang buruk.

Melihat Ray yang sedari tadi terdiam, guru di sebelahnya atau yang biasa murid akrab memanggilnya adalah bu Dera berinisiatif untuk menyadarkan lamunan Ray.

"Baiklah nak Ray, perkenalkan dirimu."

Mendengar namanya disebut, Ray semakin cemas saja. Tapi keinginannya untuk memberikan kesan yang baik mengalahkan semuanya. Ray mengingat apa yang Mariam sampaikan.

"Selamat pagi teman-teman. Perkenalkan namaku Ray River Robertson. Mulai hari ini, aku akan ikut belajar bersama teman-teman semua. Mohon bantuannya." ujar Ray.

Ada beberapa siswa yang menatap Ray dengan tatapan tajam dan ada pula tatapan kagum. Ray berusaha mengatur detak jantungnya agar tidak melakukan kesalahan.

"Wow kita kedatangan Robertson. Baiklah anak-anak, ada yang ingin kalian tanyakan?" tanya bu Dera sembari menatap ke seluruh siswa di dalam kelas.

Salah satu dari mereka, siswi dengan rambut pirang serta balutan make up yang tebal mengangkat tangannya hendak bertanya. Hal itu membuat jantung Ray berdebar semakin kencang. Apa yang akan ditanyakannya? Begitulah pikir Ray.

"Baiklah, Vibi apa yang ingin kau tanyakan?"

"Hai tampan, sebelumnya kau bersekolah dimana?" tanyanya.

Ray berdehem sebelum menjawab, "Aku melakukan homeschooling." jawab Ray singkat.

"Oh, jadi karena itu kau tidak bisa melepaskan boneka pemberian mommy mu itu."

"Ahahaha."

Seluruh kelas mendadak tertawa setelah mendengar apa yang dikatakan siswi bernama Vibi tadi. Entah apa yang lucu, Ray berusaha mencernanya.

Jujur saja, Ray tiba-tiba dilandai rasa takut dan cemas yang semakin meningkat tapi semua itu berhasil ditutupi dengan wajahnya yang datar dan berkesan dingin.

Bu Dera berusaha menenangkan siswa yang terus tertawa sembari melempar lelucon yang berkesan aneh ke arah Ray.

Melihat Ray yang tidak menunjukkan perubahan apa pun, seluruh siswa mendadak menjadi diam. Mereka terus menatap Ray dengan tatapan heran. Tak sedikit juga dari mereka saling berbisik memperkirakan apa yang terjadi.

"Hei bung, kau tidak tertawa?" tanya siswa yang duduk di belakang dengan gaya rambut punk.

Ray menggelengkan kepalanya sembari menatap tajam ke arah siswa tadi, "Memangnya apa yang lucu?"

Tiba-tiba suasana berubah menjadi terasa sangat dingin dan itu berasal dari Ray. Merasakan hal itu, dengan cepat bu Dera mempersilahkankan Ray untuk kembali duduk di kursi kosong yang telah disiapkan.

Ray terus berjalan menuju kursinya tanpa menyadari ada tatapan kagum salah satu dari mereka.

******

Sekolah sangat melelahkan. Itulah kesan pertama Ray di sekolah barunya itu.

Ray berpikir bahwa akan ada yang membawanya bermain atau sekedar berbicara tapi nyatanya tidak. Lebih tepatnya mereka seperti menjauhi Ray.

Ya sudahlah, Ray juga tidak terlalu mempedulikan itu.

Jam istirahat Ray habiskan di atas atap sekolah. Dimana hanya ada dirinya sendiri di sana. Melihat banyak siswa yang berlari kesana kemari di bawah seperti semut.

Bukannya tidak mau jajan atau tidak ada uang, melainkan Ray menghargai bekal yang disiapkan oleh Mariam.

Walaupun Mariam sudah tidak tinggal di mansion Robertson lagi, tapi pagi-pagi sekali tadi Mariam menyempatkan dirinya untuk mengantar bekal kepada Ray. Bahkan saat itu Ray belum bangun. Maka mau tak mau, Mariam menyiapkan keperluan Ray yang bahkan sama sekali belum Ray siapkan.

Melihat Mariam yang super sibuk sembari mengomel di dalam kamarnya membuat Ray merasa sangat senang. Ray sangat merindukan itu.

Sambil memakan bekal buatan Mariam, Ray membawa komik kesukaannya. Ya, sedari dulu Ray sangat hoby membaca komik.

Ray sangat menyukai tokoh utama dalam semua jenis komik bergenre action maupun fantasy. Melihat tokoh utama yang dengan semangatnya melawan kejahatan membuat Ray terkagum-kagum. Ray sangat iri. Ray bahkan sempat memiliki keinginan untuk menjadi salah satu tokoh utama seperti di beberapa komik yang dibacanya.

Tapi sayangnya, terkadang tokoh utama memiliki kelemahan. Kelemahannya adalah orang disekitarnya. Saking besarnya niat dan keinginan untuk melindungi, maka itulah kunci kelemahannya.

Ray benci itu. Tiba-tiba raut wajah Ray berubah menjadi masam. Ray benci tokoh utama yang memiliki kelemahan. Lebih baik menjadi penjahat saja, tidak ada yang akan dilindungi jadi tidak ada kelemahan.

Dengan geram, Ray meremas komik di tangannya dan membuangnya.

Ray mendongak, menatap langit-langit biru yang sangat silau. Pikiran Ray berkelana, apa yang akan terjadi kalau dirinya berpisah dengan Rey.

"Sudah aku katakan untuk tidak berpikir konyol seperti itu bocah."

Ray terkekeh geli, menundukkan kepalanya melihat Rey yang terduduk di atas pangkuannya.

"Maaf, aku tidak sengaja." balas Ray diiringi dua jari telunjuk dan jari tengah membentuk kata bercanda.

"Aku benci anak-anak!"

"Siapa yang kau maksud?" tanya Ray dengan kerutan bingung di dahinya.

"Mereka. Mereka semua mengejek kita Ray. Tidakkah kau marah."

Ray tertawa sembari menggeleng-gelengkan kepalanya menangkis apa yang Rey katakan. Rasanya sangat lucu sekali.

"Tidak tidak. Kau tau, aku tidak memiliki emosi untuk marah. Kau yang memiliki itu." balas Ray. "Lagi pula itu bukan masalah besar, aku hanya akan marah saat ada masalah besar yang berhasil membuat emosi terdalamku tertarik." sambung Ray.

Ray kembali mendonggakkan kepalanya, kembali menatap langit sembari tersenyum. Sudah lama rasanya Ray tidak menatap langit secara jelas seperti ini. Ternyata sangat luas.

Ray hanya bisa menatap langit lewat balkon kamarnya, itu pun Ray tidak bisa merasakan rasa hangat yang diberikan langit.

"Ckck aku hampir melupakannya. Kita memiliki kepribadian yang bertolak belakang."

"Nah itu kau tau." kekeh Ray.

Ray kembali terdiam. Saat itulah mendadak wajahnya kembali menjadi datar, tanpa senyuman lagi.

"Rey, kalau suatu saat nanti kau berhasil menguasi tubuhku. Apa yang akan kau lakukan?" tanya Ray dengan nada serius.

Lama Rey terdiam dan pada akhirnya menjawab, "Aku akan menguasai dunia dan menjadi nomor satu."

Ray tersenyum diikuti matanya yang terpejam. Ray tau, Rey akan mengatakan itu. Karena Rey memiliki obsesi yang besar terhadap dunia hanya saja sebelum Ray menyerah itu tidak akan terjadi.

Tanpa mereka sadari, sedari tadi ada yang mendengar pembicaraan mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status