Share

Chapter 8

"Aku akan mengantarmu pulang. Kalau kau pulang sendiri itu tidak baik karena kau anak gadis, nanti kau diculik. Ini sudah malam." [Ray R. R.]

______

Wahana bianglala memutar menampilkan pemandangan kota malam dari atas membuat Ray semakin kagum.

Melihat hal itu membuat Vara menahan senyumnya, melihat ekspresi Ray sangat menggemaskan.

"Ray." panggil Vara.

"Hm."

Ray saat ini masih fokus melihat ke arah luar jendela tak memperhatikan Vara yang sedari tadi melihatnya.

"Leher kamu engak sakit kalau -"

"Apa?" tanya Ray.

Ray membalikkan tubuhnya menghadap tubuh Vara sehingga lagi dan lagi keduanya berhadapan. Ray merasa suara Vara terlalu kecil, karena itu dia berbalik.

Sedangkan Vara merasa meleleh sebentar lagi. Suasana romantis seperti dinovel yang sering dia baca. Berduaan di bianglala, diposisi tertinggi, saling bertatapan dengan wajah yang semakin mendekat dan...

Vara perlahan memejamkan kedua bola matanya menanti ciuman dari Ray yang membuatnya berdebar tiada henti. Bibir tipis yang polos itu, Vara ingin memberikan ciuman pertamanya kepada Ray.

"Kenapa kau memejamkan mata?"

Sontak kedua mata Vara terbuka lebar melihat Ray yang menatapnya dengan tatapan heran.

'Sialan! Aku kira dia akan menciumku. Memalukan sekali.' batin Vara menangis.

Vara menutup wajahnya dengan kedua tangannya sembari menggelengkan kepalanya menghindar dari pertanyaan Ray.

Setelah momen memalukan terjadi, Vara masih terdiam. Dirinya merutuki kebodohannya saat itu. Bisa-bisanya dirinya berharap Ray menciumnya, sungguh sangat memalukan. Sampai kapan pun.

Syukurnya Ray terlalu polos dan tidak mengerti kenapa Vara memejamkan matanya.

'Bahkan aku rasa aku ingin mati sekarang juga.' rengek Vara.

Keduanya sudah turun dari bianglala. Semenjak itulah Vara sudah tidak bersemangat lagi tapi Vara harus menemani Ray berkeliling sebentar.

"Vara, kenapa wajahmu memerah?" tanya Ray sembari memegangi pipi kanan Vara.

Vara terkesiap dan semakin salah tingkah. Wajahnya pun juga semakin merona.

"Apa kau sakit?" tanya Ray dengan nada khawatir.

Tangan Ray tak berhenti menyentuh pipi dan dahi Vara memeriksa suhu panas di wajah Vara. Oh ayolah, Vara hanya merona bukan sakit. Semakin disentuh, maka Vara semakin merona.

"Ah tidak-tidak, aku tidak sakit." balas Vara sambil menjauhkan tangan Ray dari pipinya.

Kali ini Vara sangat trauma. Vara takut termakan jebakan yang dibuat Ray. Ya bisa jadi. Vara berpikir mungkin Ray termasuk salah satu spesies playboy akut yang senang membuat jebakan untuk mangsanya. Berpura-pura polos dan memberikan perhatian manis, setelah mangsa termakan jebakan maka akan ditinggalkan begitu saja. Ya itu pasti.

"Tapi sungguh wajahmu memerah. Kau yakin baik-baik saja?" tanya Ray.

"Sudah aku bilang aku baik-baik saja!"

Mendengar Vara yang berbicara dengan nada sedikit tinggi membuat Ray terkejut, "Kau marah? Aku salah apa? Kenapa kau memarahiku seperti itu?" tanya Ray tak senang.

Merasakan perubahan di raut wajah Ray, dengan cepat Vara menenangkannya, "Tidak aku tidak marah, aku hanya...hanya ingin pulang saja." ujar Vara.

Ray menganggukkan kepalanya, meraih tangan Vara dan membawanya. Melihat hal itu, Vara semakin bingung.

"Kau mau membawaku kemana?" tanya Vara.

"Kita pulang."

"Aku bisa pulang sendiri."

Vara berusaha menarik pergelangan tangannya yang dicengkram Ray dengan kuat membuatnya kewalahan.

"Aku akan mengantarmu pulang. Kalau kau pulang sendiri itu tidak baik karena kau anak gadis, nanti kau diculik. Ini sudah malam."

Vara terenyuh mendengar perhatian kecil Ray. Hanya karena melarangnya untuk pulang sendirian, Ray sampai harus menyangkut pautkan dengan masalah penculikan.

Vara terus memperhatikan punggung lebar di depannya yang menutupi pandangannya itu. Tanpa sadar Vara memegangi pipinya yang terasa panas. Sepertinya Vara mulai jatuh cinta.

*******

"Ini sudah malam dan kau baru pulang?"

Ray menghentikan langkah kakinya setelah mendengar suara bass yang sangat dikenalinya. Ray sedari tadi tau kalau Bryan duduk di sofa ruang tamu hanya saja Ray tak ingin menegurnya.

"Aku bertanya dan seharunya kau menjawab." ujar Bryan penuh penekanan.

"Aku yang melakukan dan seharusnya kau diam saja." balas Ray tak mau kalah.

Prang!

Bryan melempar gelas kacanya yang berisi kopi sehingga jatuh terpecah belah di atas lantai. Ray tak terkejut sedikit pun karena Ray sudah terbiasa dengan hal itu. Terbiasa melihat sifat tempramental ayahnya.

"Jangan lupa kenapa aku menyekolahkanmu!" geram Bryan.

Ray menoleh menatap mata tajam Bryan tak kalah tajamnya. Ray tak takut sedikit pun karena keberanian itu berasal dari Rey, saudara kembarnya.

"Lalu?" tanya Ray dengan sorot mata menantang.

Bryan menarik rambutnya frustasi. Merasa lelah Bryan mendudukkan bokongnya dengan kasar di atas sofa sembari memijit pelan pelipisnya.

Ray masih berdiri, menunggu kejutan selanjutnya yang akan dibuat Bryan. Hampir sampai 10 menit Ray berdiri, Bryan tidak mengeluarkan sepatah kata pun membuat Ray merasa kesal.

Baru saja Ray ingin melangkah, suara Bryan dengan nada memohon berhasil menghentikan langkah kakinya.

"Aku mohon Ray. Hanya ini saja yang ingin aku lakukan. Kau satu-satunya harapanku yang tersisa. Kenapa kau tidak mendengar ucapanku sedikit saja." ujar Bryan nyaris berbisik.

Ray berbalik melangkah mendekati Bryan. Sedangkan Bryan terkejut melihat Ray yang sudah berdiri di depannya.

Sorot matanya begitu dingin, sama dengan creepy dollnya yang menatap dirinya tak kalah dinginnya seolah-olah ingin memakannya hidup-hidup.

Bryan tersenyum kecut, melihat Ray kecilnya dulu sekarang sudah sangat besar dan tinggi. Tumbuh bergaya arogan berasal dari dirinya. Memang benar kata orang buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya.

"Kalau begitu cium kakiku!"

DEG!

Bagaikan tersambar petir, dengan cepat Bryan berdiri dihadapan Ray. Bryan tidak salah dengar bukan? Anaknya menyuruh Ayahnya untuk mencium kakinya sendiri?

Dengan cepat Bryan menggelengkan kepalanya. Matanya memerah tak terima dengan apa yang Ray katakan. Sedangkan Ray dengan wajah tak berdosanya tersenyum mengejek ke arah Bryan membuat Bryan semakin berang.

Tangan Bryan sudah siap untuk menampar Ray tapi sebelum itu, "Wajahmu terlalu kaku Pak tua, aku hanya bercanda." ujar Ray dengan kedua tangan diangkat di udara mengaku mengalah.

Bryan masih mengontrol emosinya, sungguh dirinya tak percaya itu terjadi. Bryan tau, Ray tak sekejam itu. Bryan mengusap wajahnya gusar, Ray sangat nakal. Bahkan Bryan tak menyangka Ray memiliki nyali untuk membuat lelucon yang bahkan bisa membuat emosi lawan naik seketika.

"Jangan bercanda Ray atau kau akan menyesal."

Ray menganggukkan kepalanya menyetujui apa yang Bryan katakan.

"Katakan saja padaku kalau kau membutuhkan bantuanku Pak tua, jangan bertele-tele. Itu terkesan tidak menyenangkan untukku." ujar Ray sembari melangkah ke arah sofa dan mendudukkan bokongnya disana.

Bryan tersenyum. Tak menyangka Ray akan berbicara banyak kepadanya walaupun dengan sebutan Pak tua. Bryan mengerti itu karena Ray masih marah kepadanya, karena itulah Ray tak mau memanggilnya dengan sebutan Ayah.

"Lalu dari mana saja kau? Mana ada sekolah sampai malam." tanya Bryan.

"Aku mengunjungi pasar malam." jawab Ray dengan semangat.

"Pasar malam?"

"Ya. Sangat menyenangkan. Aku mencoba banyak wahana permainan dan makanan enak. Disana juga ada pertunjukan tari. Sangat ramai sekali. Disana juga ada orang yang menggunakan kostum aneh tapi keren." jelas Ray.

Melihat Ray yang bercerita dengan semangat seperti anak kecil membuat Bryan semakin menggembangkan senyumnya. Ray terlalu bersemangat sampai tak tau kalau Bryan sedari tadi memperhatikannya sehingga sesuatu menganggu pikirannya.

"Kau pergi dengan siapa? Tidak mungkin kau pergi sendiri atau dengan si sopir itu." tanya Bryan.

"Oh aku pergi dengan temanku."

"Teman? Jadi sekarang kau sudah punya teman begitu?" tanya Bryan memastikan.

Ray menganggukkan kepalanya, "Iya, namanya Vara."

Bryan membelalakkan matanya. Vara? Bukankah itu nama anak perempuan? Bryan tersenyum penuh arti kepada Ray membuat Ray mengernyitkan dahinya bingung.

"Itu namanya bukan bermain, tapi berkencan. Apa saja yang sudah kalian lakukan? Jujur saja tidak usah malu." goda Bryan.

Ray semakin tak mengerti kemana arah jalan pembicaraan Bryan. "Apa yang kau bicarakan Pak tua? Aku tidak mengerti."

Bryan menganggukkan kepalanya mengerti. Mungkin putranya itu malu untuk menceritakan waktu kencan mereka atau merasa ini sangat spesial dan pertama kalinya bagi Ray jadi Ray tak mau berbagi cerita.

Merasa tidak ada gunanya, Ray berdiri dari duduknya meninggalkan Bryan yang tengah menahan tawanya. Sungguh, Ray rasa Ayahnya sudah gila semenjak perusahaannya menurun. Menyedihkan sekali.

"Aku sarankan untuk jangan memberi anak orang yogurt Ray, nanti saja!" teriak Bryan saat Ray sudah sampai di depan pintu kamarnya.

Brak.

Dengan keras Ray membanting pintu kamarnya, "Ada apa dengan orang tua itu? Sejak kapan dia terbuka dan tertawa tidak jelas seperti itu? Memang benar, sepertinya dia sudah benaran menjadi gila." gerutu Ray sembari meletakkan creepy dollnya di atas meja belajar.

"Sepertinya dia memang sudah gila Ray."

"Yap kau benar. Dan aku tidak mau balas dendam kepada orang yang sudah gila." balas Ray.

Ray membuka baju sekolahnya dan memulai ritual mandinya. Tak lupa Ray juga turut membawa Rey mandi.

Ray memilih berendam di dalam bathtub sebelum mengguyur diri dengan shower. "Apa maksud dari kalimat Pak tua tadi? Memangnya kenapa kalau aku memberi Vara yogurt?" tanya Ray sembari menggosok tubuhnya.

"Entahlah dan aku tidak peduli."

"Akan aku tanyakan saja besok kepada Vara." gumam Ray.

"Jangan!"

"Kenapa?" tanya Ray bingung.

"Jangan menurunkan harga dirimu untuk menanyai hal yang tidak penting Ray, bisa jadi artinya hanya biasa-biasa saja."

Ray menganggukkan kepalanya membenarkan apa yang dikatakan Rey. Ya, bagi Ray apa yang dikatakan Rey selalu benar. Karena itu apa pun itu Ray selalu mengikuti saran Rey.

*******

Kantin di sekolah saat jam istirahat sangat ramai membuat Ray malas mengantri. Tadi pagi Mariam tidak mengantarkannya bekal membuat Ray harus rela mengantri sampai berlumut.

"Lihat saja nanti, aku akan membuatmu menyesal Mariam." gumam Ray.

Tiba-tiba kelas menjadi riuh. Tidak lebih tepatnya terdengar suara pekikan anak gadis saja yang hampir saja memekakkan telinga Ray.

Ray tidak mempedulikannya karena fokus Ray tertuju kepada makanan. Ray sudah sangat lapar karena itulah salah satu alasannya Ray rela mengantri. Tapi mengakuinya membuat gengsi Ray tinggi.

Mendadak semua orang yang mengantri bubar meninggalkan Ray sendiri. Merasa ada peluang Ray maju tapi tatapan siswa disekelilingnya mengatakan untuk jangan melanjutkan dan pergi.

Ray semakin tidak mengerti. Memangnya ada apa sebenarnya. Tiba-tiba kerah baju belakang Ray ditarik seseorang membuat Ray mau tak mau menoleh.

Terlihat seorang siswa dengan beberapa temannya menatap bengis ke arahnya. Wajah mereka sangat tampan, gaya mereka juga sangat cool. Ray memperkirakan mungkin mereka anak orang kaya.

"Siapa bilang kau bisa maju lebih dulu?"

Ray mencerna dengan baik apa yang dikatakannya dan berusaha mentransletkannya agar dirinya mengerti.

"Aku sedang mengantri makanan dan sekarang giliranku." jawab Ray dengan polos.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status