Share

2. Sehari Sebelumnya

Sehari sebelumnya

“Kau serius Jess?” tanya Milla yang kembali mengulang pertanyaan tersebut sejak sejam yang lalu.

“Iya Mill,” kata Jessie yang sudah lelah terus menjawab Milla teman baiknya, namun tetap masih memberikan senyum tipis.

Percakapan mereka berdua tidak berubah-ubah sejak Jessie mengatakan akan pindah dari rumah keluarga Milla yang telah membesarkannya 10 tahun belakangan ini.

“Kau tahu kan kau tidak perlu pergi? Kedua orangtuaku juga tidak ada masalah. Aku juga,” ucap Milla yang masih berharap Jessie membatalkan niatnya itu.

“Aku tahu. Aku tahu kalian semua baik banget sama aku. Tapi aku sudah membulatkan tekadku Mill,” kata Jessie yang juga ikut murung melihat Milla sedih.

Wajar saya Milla bersedih, Jessie tidak pernah lepas dari Milla sejak kecil, terutama 10 tahun yang lalu saat Jessie mulai tinggal bersamanya. 10 tahun yang lalu kedua orangtua Jessie meninggal dunia. Robert dan Millie, yang merupakan sahabat kedua orang tua Jessie sekaligus orang tua Milla kemudian mengasuh Jessie dan merawatnya sama seperti mereka merawat Milla. Alhasil Milla dan Jessie bagaikan saudara yang tidak pernah terpisah dan selalu akur.

Milla menghela napas, pasrah menerima keputusan Jessie yang tidak berubah.

“Baiklah, kalau begitu. Sini aku bantu,” kata Milla sambil bangkit berdiri dari ranjang Jessie.

“Ah, hanya tinggal memasukkan baju-baju ini saja kok,” kata Jessie.

“Jangan bawa semua bajumu,” kata Milla.

“Bisa muat semua kok di koperku.”

“Pokoknya jangan dibawa semua, nanti kalau kau kesini lagi kau mau pakai baju apa,” gerutu Milla yang konsisten tidak ingin Jessie membawa semua baju-bajunya. 

Setidaknya dengan melakukan hal tersebut dapat menyakinkan Milla bahwa Jessie masih akan kembali kesini.

“Iya, iya.” Jessie tersenyum puas melihat Milla yang akhirnya menerima keputusannya itu.

***

“Kamu yakin Jess?” tanya Millie, ibu Milla sambil memberikan sepotong daging di atas piring Jessie.

“Iya tante Mill,” kata Jessie tersenyum mendengar tante Millie yang sama persis dengan Milla, putrinya itu.

“Tapi tidak harus sekarang kok Jess, tunggu setahun atau dua tahun lagi kan bisa,” tawar Millie yang berharap Jessie masih berubah pikiran.

“Gak apa tante, kebetulan juga dapat apartemen yang bagus dan juga dekat dari tempat kerja,” kata Jessie.

“Tapi kita bisa kok-,” kata Millie terhenti saat Robert suaminya menepuk pelan punggung tangan istrinya itu. 

“Sudahlah Millie, keputusan Jessie sudah bulat, kamu harus mendukungnya, “ kata Robert berusaha menghentikan Millie. 

Jessie tersenyum melihat Robert yang mencoba menghentikan istrinya tersebut. 

“Tapi Jess, kamu tahu kan kalau ini juga rumah kamu. Kapanpun kamu mau datang kesini tidak masalah,” kata Robert.

“Iya aku akan sering datang berkunjung,” kata Jessie.

“Datanglah tiap akhir pekan Jess, kita bisa nonton film bersama atau pergi berbelanja ke mall,” kata Milla dengan semangat.

“Hmm, sepertinya tiap akhir pekan agak sulit, aku akan berkunjung tiap dua bulan sekali,” kata Jessie setelah berpikir cepat.

“Apa? Tiap dua bulan terlalu lama. Dua minggu sekali,” tawar Milla.

“Dua minggu sekali agak merepotkan. Apalagi jaraknya cukup jauh Mill,” kata Jessi berharap Milla mengerti.

“Ambil saja mobilku Jess,” kata Milla.

“Mill, tujuanku kan untuk hidup mandiri. Aku sedang berusaha untuk bisa hidup secara independen,” tegas Jessie yang tidak mau menerima mobil Milla.

“Tapi Jess-,” kata Milla terhenti melihat Jessie yang menatapnya.

“Ma, Pa,” kata Milla beralih memelas pada kedua orangtuanya agar dapat membantunya mengubah keputusan Jessie.

“Jess, sebulan sekali gimana?” tawar Millie dengan wajahnya yang sengaja dibuat sedih agar Jessie mau mengiyakan penawaran mereka.

Jessie hanya menghela napas pendek lalu mengangguk mengiyakan permintaan kedua ibu dan anak itu. Sontak Millie dan putrinya itu heboh berteriak kegirangan. Millie kemudian menambahkan sayur dan daging keatas piring Jessie, puas dengan jawaban Jessie. Sedangkan Milla berdiri dari kursinya, mendekati dan mencium pipi kiri Jessie lalu kembali duduk di kursinya.

Jessie pun tertawa melihat kelakuan manja Milla, sementara Robert dan Millie hanya melihat mereka berdua dengan senyuman hangat. Meja makan malam hangat yang dipenuhi tawa dan candaan menjadi makan malam terakhir mereka berempat sebelum Jessie pindah ke apartemennya.

***

Lokasi apartemen baru Jessie cukup jauh dari kediaman Robert dan Millie. Meskipun tidak termasuk kalangan apartemen elit, namun Jessie cukup bangga karena bisa membelinya dengan uang hasil tabungan yang dia kumpulkan saat bekerja sambilan semenjak masih sekolah. Meskipun mempunyai uang tabungan peninggalan kedua orangtuanya, Jessie enggan menggunakannya. Uang tersebut seakan menggantikan keberadaan kedua orangtuanya sehingga Jessie bahkan tidak menggunakannya sepeserpun. Rumah tempat tinggal mereka pun masih dibiarkan seperti sedia kala, tidak dijual maupun digunakan.

Jessie membongkar kopernya dan mulai menyusun barang-barangnya perlahan. Malam ini akan menjadi malam yang pertama untuk Jessie memulai hidupnya secara mandiri. Dari dulu Jessie sudah ingin hidup mandiri, namun Robert dan Millie bersikeras ingin Jessie tetap tinggal bersama mereka. Jessie pun kemudian kembali mengajukan ingin hidup mandiri setelah beberapa tahun berlalu. Robert dan Millie mau tidak mau mengikuti keinginan Jessie, mengingat Jessie kini sudah mencapai usia legal dimana secara dia sudah dewasa dan dapat bertanggung jawab atas semua kelakuannya sendiri.

Jessie terduduk di samping ranjangnya lelah membersihkan. Kamar tidurnya hanya berisi ranjang tidur, sebuah meja kecil disamping ranjang serta sebuah lemari pakaian. Tidak ada perabotan lainnya yang membuat ruangan tersebut terasa kosong sama seperti perasaan Jessie saat ini.

Diraihnya kopernya, lalu mengambil bingkai foto kedua orangtuanya. Foto yang sudah sangat lama tersebut terawat dengan sangat baik ditangan Jessie. Jessie mengusap kaca foto tersebut seakan ingin meraih kedua orangtuanya. Banyak hal yang ingin dikatakan kepada kedua orangtuanya itu. Dia yang sudah besar dan tinggal sendirian, dia yang tidak manja dan tidak ingin bergantung pada orang lain, serta dia yang sangat merindukan kedua orangtuanya.

Foto tersebut perlahan terlihat buram dimata Jessie, tertutup oleh bendungan air mata yang sedikit lagi runtuh. Kesepian yang dirasakan Jessie semakin memperdalam rasa rindu Jessie terhadap kedua orangtuanya. Menyadari air matanya akan menetes, Jessie langsung meletakkan bingkai foto tersebut diatas meja, lalu menyeka air matanya yang berhasil menetes ke kedua pipinya.

Jessie bangkit berdiri lalu beranjak ke lemari pakaian, dibukanya lemari tersebut lalu mengambil strapless mini dress ketat berwarna hitam yang melekat seperti kulit di tubuhnya. Dress hitam tersebut berhenti tepat di tengah-tengah pahanya dengan sedikit belahan pada samping paha kanannya. Dia mengikat rambutnya menjadi satu ke belakang, lalu mulai merias wajahnya. Riasan smokey eyes dan lipstik merah menghiasi wajah putihnya, mengeluarkan aura dewasa dan seksi. Puas dengan tampilannya, dia pun mengenakan high heels 7 cm dan tas tangan berwarna hitam untuk mencocokkan tampilannya. Jessie mengambil ponselnya lalu mengecek jam. 

10:45 malam.

Lima belas menit lagi klub malam itu baru akan buka. 

Klub malam bukan lagi kata yang asing untuk Jessie. Memang sudah lama Jessie berniat untuk menginjakkan kaki ke klub malam untuk mengetahui seperti apa tempat tersebut. Namun karena batasan usia, dia harus menunggu hingga usianya cukup agar bisa masuk ke tempat tersebut. Bukan tempat yang bagus memang untuk dikunjungi, namun dia berpikir untuk pergi kesana setidaknya satu kali bersama Milla. Akan tetapi ia juga tidak menyangka akan pergi malam ini, tepat saat ia baru masuk apartemen baru. Kesedihan dan kesendirian yang ia rasakan membuatnya mengambil keputusan yang tiba-tiba tersebut. Tidak masalah kalau dia harus pergi sendirian, toh dia sudah melakukan riset terlebih dahulu. Banyak klub malam yang tidak memiliki aturan dan bebas dimasuki oleh siapapun, namun ada juga klub malam yang memiliki aturan khusus serta pengamanan yang ketat. Seperti klub malam bernama ‘Heaven’ yang akan didatangi oleh Jessie.

Jessie tiba di klub malam ‘Heaven’ tersebut. Lokasinya yang hanya beberapa blok dari apartemen Jessie memungkinkannya berjalan kaki untuk sampai disana. Terdapat dua petugas berseragam menjaga pintu tersebut untuk memastikan identitas tamu yang masuk. Gedungnya bertingkat dua dengan tulisan ‘Heaven’ berwarna pink itu tidak terlihat seperti klub malam. Tidak ramai pula orang yang terlihat memasuki gedung tersebut. Jessie memberanikan diri menuju gedung tersebut. Salah satu petugas pun meminta Jessie menunjukkan kartu identitasnya. Jessie menuruti aturan klub tersebut dan mengeluarkan kartu identitas dari tasnya. Petugas tersebut mengamati Jessie dengan seksama, menyesuaikan dengan foto identitas tersebut. Meskipun memakai riasan yang cukup tebal, namun petugas tersebut berhasil mengidentifikasi beberapa fitur wajah yang sama. Setelah beberapa kali melihat Jessie dan fotonya, memastikan keduanya merupakan orang yang sama, petugas tersebut akhirnya mengizinkan Jessie masuk.

Jessie memasuki klub malam tersebut yang cenderung gelap dengan sedikit pencahayaan yang berasal dari tengah panggung. Beberapa sofa bertebaran di sekitar ruangan tersebut. Beberapa pria dan wanita yang terlihat sedang berbincang di tengah-tengah panggung. Sementara itu tidak terlihat orang lain yang berada disana, kecuali seorang pria mengenakan seragam yang sepertinya bartender sedang mengelap gelas kaca di tangannya. Jessie menuju ke bar tersebut lalu duduk di bangku tersebut. 

Jessie melihat sekeliling ruangan tersebut, mengingat setiap detail yang bisa diingatnya. Di beberapa sisi klub terdapat pintu yang sepertinya mengarah ke ruangan lain. Bar tempatnya duduk tepat berada disamping kanan panggung. Setelah selesai melihat sekeliling, Jessie kembali memfokuskan dirinya pada tujuan awalnya datang.

'Minum alkohol di klub malam.'

“Ada wiski atau vodka?” kata Jessie pada bartender tersebut.

Bartender itu kemudian melihatnya dan kemudian berkata, “Tidak ada. Apa kau baru berkunjung disini?”

‘Apa terlihat sekali kalau aku baru datang ke klub malam?’

Gumam Jessie dalam hati.

“Iya benar, biasanya aku pesan wiski atau vodka kalau minum,” kata Jessie berbohong. Padahal ini akan menjadi pertama kalinya minum alkohol, namun dia tidak mau orang tahu hal itu.

“Kami tidak menyajikan nama minuman yang umum disini. Jadi wajar kalau orang kebingungan saat pertama kali datang. Kalau suka vodka, kami ada koktail,” kata bartender itu tersenyum.

Jessie pun mengangguk menyetujui usulan bartender tersebut.

Jessie memperhatikan bartender tersebut yang dengan lincahnya mencampur beberapa bahan, mengocoknya lalu menghias gelas tersebut.

Beberapa menit kemudian sebuah gelas kaca koktail berwarna merah dengan hiasan potongan nanas diletakkan didepan Jessie.

“French Martini, ”kata bartender meletakkan gelas tersebut.

Warnanya yang sangat menarik membuat Jessie tidak ragu meminum koktail tersebut. Raut wajah Jessie berubah-ubah merasakan rasa yang baru pertama kali dirasakannya. Bartender tersebut tertawa kecil melihat perubahan ekspresi Jessie. Menyadari hal tersebut Jessie menampilkan wajah tersenyum malunya. Meskipun demikian gelas koktail tersebut tersisa setengah saja. Wajahnya memerah, rasa panas membara wajahnya setelah meminum alkohol tersebut. 

“Apa kau baik-baik saja?” kata bartender tersebut khawatir melihat Jessie mengipas wajahnya dengan tangan.

“Aku baik-baik saja, ” kata Jessie tidak berhenti mengipas wajahnya.

Sementara itu beberapa pria dan wanita masuk dan mulai meramaikan klub tersebut. Seorang pria lain yang sepertinya juga bartender memasuki bar dan ikut sibuk mempersiapkan beberapa minuman yang dipesan para tamu.

“Aku Brian, panggil aku kalau butuh apa-apa,” kata bartender bernama Brian itu yang harus sibuk menyiapkan minuman untuk tamu yang lain.

Jessie hanya melambaikan tangannya pada Brian, lalu melihat sekelilingnya. Lagu yang diputar sudah berbeda dengan yang tadi, dan ruangan klub sudah ramai dipenuhi beberapa pria dan wanita.

“Hei, sendirian?” tanya seorang pria pada Jessie.

Namun Jessie tidak melihat pria yang berada disampingnya itu. Jessie sibuk memegang gelasnya yang kini sudah habis diminumnya.

Pria itu melihat kesempatan lalu berkata, “ayo minum lagi, aku yang akan membayarnya.”

Jessie akhirnya melihat pria itu setelah diberikan segelas koktail yang serupa dengan yang dipegang pria tersebut. Pria yang terlihat seperti berusia 40 tahunan itu tersenyum memamerkan giginya yang kuning, membuat Jessie tiba-tiba merasa mual. Jessie berbalik kembali memanggil Brian memesan koktail lain lalu menghabiskan minuman tersebut begitu disajikan. 

Merasa kesal tidak digubris, pria itu tidak menyerah begitu saja, dia memegang paha Jessie, lalu kembali berbicara.

“Wah, kau jago sekali minum, minum yang ini juga,” katanya sambil menyodorkan gelas yang dipegangnya pada Jessie.

Sementara itu Jessie menundukkan kepalanya, matanya sayu menatap tangan pria itu yang berada di pahanya. Jessie menepis tangan pria itu lalu bangkit berdiri.

“Dimana toiletnya?” tanya Jessie pada Brian.

“Di sebelah sana,” jawab Brian menunjuk sebuah lorong kecil disamping pintu masuk klub. Brian tampak cukup khawatir melihat Jessie yang sepertinya sudah mabuk.

Jessie lalu berjalan menuju toilet meninggalkan pria asing itu.

Klub malam yang ternyata sudah sangat ramai sekali membuat Jessie menabrak beberapa orang saat menuju ke toilet. Jessie mencuci pahanya dimana tangan pria tadi menyentuhnya. Dia menatap cermin yang berada di wastafel, lalu mencuci wajahnya berharap merah di pipinya menghilang. Rasanya tidak ada yang berubah selain rasa panas itu kembali setelah mendapatkan dingin sesaat dari siraman air. Setelah mengeringkan wajahnya dengan tisu, riasan Jessie terlihat berantakan dari pantulan cermin. Jessie pun kemudian memutuskan untuk pulang. Dia sudah minum beberapa gelas alkohol dan sekarang klub juga sudah mulai ramai. Namun seakan rasa alkohol sudah memuncak, jalanan yang dilalui Jessie kembali terlihat berputar, Jessie memegang tembok yang berada disampingnya, menahan dirinya terjatuh. Namun yang dirasanya tembok tersebut justru ikut bergerak sehingga dia pun mau tidak mau terjatuh ke lantai. Jessie tergeletak di lantai, pingsan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status