Share

Seperti Kanebo Kering

"Jangan terlalu ambil hati dengan ucapan seseorang, kadang manusia punya mulut tapi belum tentu punya otak."

~ Zamora Nieva ~

***

Setelah puas melamun, Sierra masuk ke dalam ruangan kamar. Lampu telah menyala entah sejak kapan, mungkin si pria kanebo yang menyalakannya. Gadis itu merasakan tubuhnya tidak enak, hidungnya mengeluarkan embusan panas saat bernapas. Ya, sepertinya dia akan sakit.

Sementara di ruangan kerja—hanya terhalang oleh dinding kamar—sepasang mata memperhatikan pergerakan gadis itu. Sesekali dia mendengus kesal serta mengumpat kecil.

"Cih! Dasar kampungan!" Umpatan itu berkali-kali dilontarkan saat melihat Sierra bersiap berbaring di atas sofa.

"Bagaimana mungkin aku terjebak di dalam situasi seperti ini dengan gadis jorok itu?!"

Zucca merasa begitu menyesali keadaannya, tetapi dia tidak ingin kehilangan hak warisnya.

"Hebat! Dia bisa menipu mama dengan wajah polosnya. Cih! Kita lihat aja, sampai kapan dia akan bertahan di sini! Aku tidak akan memberikannya upah lagi setelah ini."

Pria kanebo itu terus saja mengoceh, mengeluarkan unek-unek di dalam hatinya. Melihat Sierra yang terlelap membuatnya semakin geram dan kesal.

_

Gelisah, Sierra merasakan badannya menggigil dan panas tinggi. Dia terus mengigau memanggil nama ibunya, wajahnya pun pucat pasi. Mungkin karena ia kelamaan berenang tadi pagi dan berada di balkon hingga malam. Gadis itu menyelimuti seluruh tubuhnya, karena pendingin ruangan tidak mungkin dimatikan begitu saja.

Rasa mual menjalari ulu hatinya, Sierra mencoba untuk bangun tetapi badannya begitu lemas tak bertenaga. Hingga akhirnya, dia membuka penutup kepalanya dan memuntahkan seluruh isi di dalam perutnya. Reflek, gadis itu pun segera bangkit berdiri meskipun sedikit terhuyung. Karena takut si pemilik kamar akan memarahinya, telah mengotori selimut dan matras berbulu di lantai itu.

"Sedang apa kamu!" Bentakan Zucca mengagetkan Sierra.

Rupanya, Zucca telah melihat adegan itu dari layar monitor.

"Maaf, Tuan ... saya tidak tahan lagi tadi." Dengan terbata-bata, ia berbicara dengan rasa yang amat takut.

Dengan cepat, Zucca memanggil pelayan untuk masuk ke kamarnya. Menggunakan telepon khusus yang ada di dinding dekat sofa. Tiga pelayan pun masuk dengan cepat mereka mengerjakan perintah tuannya. Zucca menyuruh mereka untuk membuang matras lantai tersebut.

Zucca terus saja memaki dan terus menghina Sierra, tanpa tahu apa yang tengah dirasakan oleh gadis itu. Ya, Zucca tak tahu kalau Sierra sedang demam tinggi dan juga lelaki itu tak memperhatikan wajah Sierra yang kian memucat.

Merasa amat bersalah, ia pun berkali-kali meminta maaf kepada Zucca. Gegas dia melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan kotoran itu.

Dari dalam kamar mandi, suara Zucca terdengar lantang. Membuat tubuh Sierra semakin gemetaran. Dia hanya berdiri di depan cermin besar, tidak berani keluar dari kamar mandi.

Hingga teriakan yang menyebut namanya, membuat Sierra pun beranjak dengan tertatih ke kamar. Namun tubuhnya semakin lemas dan akhirnya ... ia pun pingsan.

Setelah puas memaki, Zucca kembali ke ruang kerjanya.

Sudah tiga jam yang berlalu, Sierra pingsan di dalam kamar mandi tanpa ada seorang pun yang tahu. Secara tidak sengaja, Zucca pun menoleh ke arah CCTV yang berfokus ke tempat tidurnya. Dia pun heran, tidak menemukan Sierra di sofa.

Pria dingin itu sebenarnya hanya iseng mencari, dilihatnya satu per satu ruangan pun tidak menemukan di mana Sierra berada. Terakhir, ia pun melihat layar monitor—rekaman CCTV itu memang sengaja disetel satu layar full masing-masing ruangan alasannya agar dapat terlihat jelas, bukan 10 kamera jadi satu dalam layar dan kelihatan kecil-kecil—yang ada di kamar mandinya itu. Betapa terkejutnya Zucca, tanpa sadar ia pun setengah berlari ke arah kamar mandi, tak lupa ia memanggil para pelayan untuk membantunya.

Untung saja pintu kamar mandi tidak terkunci, segera ia mengangkat tubuh Sierra. Dengan sedikit mimik jijik karena baju Sierra masih terdapat muntahan, ia tak peduli. Betapa kagetnya Zucca, saat merasakan tubuh gadis itu seperti kobaran api yang menyala.

Tak lama, pelayan pun segera datang dan membantunya untuk menggantikan pakaian Sierra terlebih dahulu, lalu ia pun bergegas menelpon dokter pribadinya, Om Brian Attala.

Tak berselang lama, hanya 10 menit tibalah Om Brian—dokter pribadi keluarganya sejak ia kecil dahulu—di kamar pribadinya dan gegas memeriksa keadaan Sierra.

Tanpa ada rasa iba sedikit pun, Zucca mengabaikan tubuh yang tergeletak lemah di atas tempat tidurnya itu. Dalam hati dia merutuki, karena Sierra diletakkan di atas kasurnya. Awalnya dia ingin melarang, tetapi tau akan kedatangan dokter Brian membuatnya mengurungkan niat.

"Hai Zucca, apa kabar kamu?" tanyanya basa-basi, saat melangkahkan kakinya ke dalam kamar besar itu.

"Baik Om," balasnya, seraya memeluk dokter itu. Dokter Brian pun segera memeriksa keadaan Sierra.

Saat mengecek tubuh Sierra, Dokter Brian pun begitu terkejut.

"Bagaimana bisa seperti ini!? Untung saja kamu segera telepon, om!" ucap dokter itu dengan wajah cemas.

"Memangnya apakah dia akan mati, kalau aku tidak segera menolongnya?"—dengan wajah datar dan nada yang begitu dingin, Zucca bertanya sambil melirik dan mencibir Sierra—"dia mati pun, aku tidak peduli." Pemuda berhati dingin itu lantas meninggalkan mereka, berlalu ke ruang kerjanya. Membuat semua mata memandang heran ke arahnya.

Dokter paruh baya itu lantas menggelengkan kepalanya dan berdecak kecil, dia paham benar sifat dari Zucca yang tegas dan keras kepala.

Dokter Brian pun memberikan resep kepada salah satu pelayan dan segera pamit pulang. Para pelayan bergegas meninggalkan kamar tersebut.

Ah, sepertinya mereka lupa membaringkan Sierra kembali ke sofanya.

Rasa lelah pun menyelimuti tubuh sang penguasa dunia. Zucca pun pindah ke ruangan istirahat, betapa kagetnya dia ketika melihat Sierra masih berbaring di tempat tidurnya. Seketika, suaranya ingin keluar dan membentak seperti biasanya.

Namun, ia mengurungkan niatnya kembali. Baru ini, seorang Zucca merasa kasihan dengan seseorang. Dia pun mengalah tidur di sofa dan merasakan bagaimana rasanya tidur seperti itu.

Ya, sungguh tidak nyaman untuk beristirahat, lelaki tampan itu memutuskan membiarkan Sierra tidur bersamanya di atas ranjang bersama dengannya.

Seperti biasa, pagi-pagi benar Zucca telah terbangun dari mimpinya. Dia pun menoleh ke arah tempat tidurnya, gadis itu masih tertidur. Beberapa menit kemudian, Sierra pun terbangun. Ketika membuka mata, ia terperanjat kaget melihat dirinya tertidur di atas tempat tidur Zucca. Dia pun segera melompat dan mengucap maaf kepada Zucca, Zucca tak membalas ucapan gadis itu dan melangkahkan kakinya menuju ruang kerjanya.

"Maafkan saya, Tuan. Sa-saya, sayan tidak tau kenapa bisa tidur di sini." Sierra menjelaskan kepada Zucca, berdiri di depan pintu ruang kerjanya itu.

"Enyahlah dari hadapanku!" bentaknya dengan lantang dan tegas.

Tanpa ba-bi-bu, Sierra segera berbalik badan dengan tubuhnya yang masih terasa lemas.

Tok-tok-tok!

Pelayan pun mengetuk pintu, mengantarkan sarapan untuknya dan Zucca serta obat untuk Sierra.

"Nona, ini sarapan dan obatnya." Cika, pelayan yang biasa melayani Sierra menyerahkan beberapa butir obat yang ada di atas piring kecil kepada Sierra.

"Terima kasih, Cika." Sierra membalas dengan senyum pucatnya.

Dia pun memulai sarapannya, hatinya amat rindu dengan kedua kakaknya. Hingga air mata tanpa ia sadari, telah membasahi pipinya. Sierra merasa bersalah kepada Selena, karena tidak bisa membantu keuangannya.

Di tempat lain, ada sepasang mata yang tengah mengamatinya. Tak lain adalah Zucca.

Zucca yang melihatnya melamun dan menangis, ia pun menghampiri gadis itu.

"Kenapa?" tanyanya penuh wibawa.

Kaget akan kedatangan Zucca, Sierra pun segera menghapus air matanya. "Gak apa-apa, Tuan," jawabnya sambil menunduk.

"Aku tidak suka melihat orang menangis di rumahku. Manusia lemah!" ucapnya dengan nada tegas. Lantas, pria itu pun berlalu meninggalkan Sierra sendiri.

Selama ini, Sierra hanya menghubungi kedua kakaknya hanya melalui ponsel yang ia punya. Dia tidak diijinkan keluar rumah, walau hanya untuk sekedar menemui mereka.

"Cih. Untuk apa dia bertanya seolah peduli dengan kesedihanku? Dasar pria kanebo! Dia mana paham hati wanita."

Tubuh gadis itu masih demam tinggi, mulutnya terasa pahit. Akan tetapi, Sierra memaksakan beberapa suap bubur ayam ke dalam mulutnya untuk meminum obat.

"Kenapa aku tidur di atas kasur dia, ya? Terus, kenapa tadi dia gak marah-marah? Sikapnya aneh. Kadang dia jahat seperti ular, tapi ... tadi dia baik meskipun cuma beberapa detik aja." Gadis bermata sayu itu berkata dalam hati.

Setelah meminum obat, Sierra memutuskan untuk merebahkan tubuhnya di sofa. Dia merasakan tubuhnya seperti ringan tak bertenaga. Memejamkan matanya sejenak mungkin akan baikkan pikirnya.

***

Di dalam rumah kontrakan, Selena sibuk mengumpat adik bungsunya itu. Dia sangat marah karena Sierra tak memberikannya uang lagi.

"Kak, jangan selalu membebani Sierra terus. Kasihan dia, kita gak tau keadaan dia di sana seperti apa, kan?" Seina mencoba untuk menenangkan emosi kakaknya.

Seina tau, beberapa hari yang lalu adiknya memberikan uang kepada sang kakak.

"Eh! Gak usah ngebelain si gak tau diri itu terus kamu! Dia itu seperti kacang lupa sama kulitnya, tau kamu!" Selena berjalan mondar-mandir karena tidak dapat menahan emosinya lagi, "mentang-mentang sudah hidup enak dan jadi nyonya bos! Dimintai uang segitu aja pake ungkit-ungkit segala!" ucap Selena membalikkan fakta.

Sebenarnya, dia duluan yang mengungkit perjuangannya saat mereka menjalani hari-hari pada masa silam.

"Mungkin aja Sierra benar-benar lagi gak ada uang, Kak."

"Halah! Sudahlah kamu itu gak tau apa-apa! Apa dia tau, kontrakan ini akan habis waktunya, hah!"

"Tapi, kan, dia sudah kasih enam juta untuk bayar kekurangan sewa rumah ini, kan? Salah kakak gak langsung bayarin! Aku juga capek, Kak kerja sendiri nanggung hidup kita aja gak akan cukup, gimana mau bayar sewa rumah!"

"Eh! Kamu itu sama juga, ya, kek sih orang kaya baru itu! Baru segitu aja udah ngeluh! Gimana aku yang mengurus kalian, hah!"

Seina lantas meninggalkan rumah, tujuannya adalah laut di belakang rumah mereka. Dia tidak mau beradu mulut terlalu dalam dengan kakaknya. Berjalan sambil menangis, tidak membuatnya malu meskipun orang-orang menatapnya penuh rasa ingin tau. Maklum saja, tinggal di perkampungan padat penduduk pastilah mengundang kegibahan para tetangga yang melihatnya.

Dari kejauhan, Fabio melihat Seina yang berjalan sambil menunduk. "Seina!" teriak pria berwajah manis itu.

Seina menoleh ke sumber suara, hatinya sedikit senang saat melihat pria yang disukainya memanggil namanya dari kejauhan. Gadis itu berhenti melangkah, menunggu Fabio mendekat ke arahnya. Buru-buru dia menghapus sisa-sisa air matanya yang sempat terurai.

"Mau ke laut?" tanya Fabio saat jaraknya sudah mendekat.

"Iya. Mau cari angin aja, kamu dari mana?" tanya Seina seraya mengulas senyum tipis.

"Baru pulang. Mau aku temani?"

Mendengar ucapan Fabio, membuat jantungnya berdebar lebih kencang. Seina merasakan panas di sekitar pipinya, perlahan menjalar ke seluruh tubuh. Senyumnya mengembang seketika lalu mengangguk.

Seina merasa sangat bahagia dan salah tingkah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status