Bag 9
****
Ina termenung di sudut bartender, sedih karena tidak bisa pulang ketika Tini jadi pengantin. Sedih karena rindu pada Andini telah memuncak, rindu pada Kang Karyo(Ayah Andini) yang sudah Ina lukai hatinya.
Mami tidak mengijinkan, selain belum tiga bulan, hutang Ina banyak karena ulah Bapak waktu itu.
Sekarang hutang sudah lunas, Mami mulai ngerayu Ina, untuk pinjam uang, tapi Ina bergeming. Pergi dari tempat laknat ini secepatnya. Pagi itu Mami duduk di samping Ina.
"Ina jadi pulang?.
"Ya, mi.”
"Seminggu aja, jangan lama.”
"Lihat nanti aja, udah kangen sekali sama Andini.”
“Seminggu sudah cukup Ina, untuk kangen-kangenan sama anak,” kata Mami.
“Seminggu uang Ina belum abis, buat apa kerja cape, sampai ngelayanin sepuluh orang tiap hari, kalau nggak nikmatin hasilnya,” kata Ina sewot.
“Belikan sawah, betulin rumah, isi perabotan rumah, biar cepet abis,” kata Mami.
“Sudah semua, makanya sekarang jadi malas kerja.”
“Eh! … jangan malas kerja dong! Tabung uang banyak buat masa depan.”
“Emang pe**cur kaya Ina ini punya masa depan, yang ada hujatan sama hinaan datang silih berganti.”
Mami langsung diam, tidak tahu harus bicara apa lagi, kata-kata Ina menohok membuat Mami tidak berkutik.
Tidak apa kamu mau bilang apa, terserah apa maumu, Kata Mami dalam hati. Tidak akan melepaskan kamu saat ini, bagaimana caranya. Karena kamu aset berharga. Nanti lihat ketika kamu sudah tersingkir seperti Ane, Sintia kamu akan mengemis untuk tetap disini. Saat itu akan tahu taring dan tanduk saya, Kata Mami bicara sendiri dalam hati.
"Nanti kalau udah mau berangkat kesini lagi, hubungi Mami biar Ina di jemput.”
“Ingat jangan kesini sendiri, bahaya perempuan di jalan sendiri.”
“Ya, Mi,” kata Ina.
Sebegitukah penting Ina buat Mami, sampai sangat ketakutan kehilangan Ina.
Apa karena langganan Ina banyak, atau karena selalu bayar hutang tepat waktu, atau takut pelanggan pindah ke Mami Nunik depan rumah Mami Leli, saingan bisnis utamanya.
Malam itu Papi datang, seperti biasa Papi langsung keatas
"Pi, Ina mau pulang.”
"Bagus itu.”
"Ina mau ke Jakarta dulu, mau cari Kang Karyo, Bapaknya Andini."
"Lakukan yang terbaik buat Ina, bicara sama Kang Karyo, kalau masih bisa diperbaiki tidak ada salahnya kan?.
Papi lihat kamu masih sangat mencintainya.
"Dari mana Papi tahu.”
Papi tersenyum senyum sambil mengacak acak rambut Ina
"Ina, kamu tidak menyadari, kalau kamu sering cerita tentang kebaikan Kang Karyo sampai Papi pernah cemburu.”
"Maafin Ina Pi, Ina tidak bermaksud bikin Papi cemburu,” kata Ina manja.”
"Kapan pulang rencananya, kata Papi.”
"Minggu ini Pi.”
"Semakin cepat semakin baik Ina.”
"Ya, Pi.”
Malam itu Ina menghabiskan waktu berbincang dengan Papi.
lelaki paruh baya membuat Ina nyaman disampingnya. memberi perhatian penuh pada Ina seperti pada istrinya. Ada kegundahan di hati Ina meninggalkan laki laki ini.
"Ina, kalau sudah ketemu Kang Karyo, dan hubungan kalian bisa diperbaiki, bersatulah kembali ada Andini yang mengharapkan kasih sayang dari Ibu dan Bapaknya.”
“Tapi kalau tidak bisa di perbaiki, Papi mohon jangan kembali ke sini, hubungi Papi, biar kita pikir bersama jalan yang terbaik untuk Ina kedepannya."
"Ya Pi, terima kasih untuk semuanya yang udah Papi kasih ke Ina, perlindungan Papi, sayang, perhatian, terima kasih Pi?.
Papi orang pertama Ina kabari jika sampai Jakarta. Akhirnya waktu keberangkatan Ina tiba, Mami masih terus merayu untuk Ina jangan terlalu lama di Kampung, Mami kasih bonus lima juta buat Ina, dengan pesan sejuta aturan membuat Ina geleng kepala.
Dipesankan travel, diajarkan mencari kendaraan dari aplikasi. Mami juga membelikan boneka untuk Andini.
Semua Mami kasih tidak akan menggoyangkan tekad Ina untuk datang ke tempat laknat ini! gumam Ina.
Di dalam travel Ina sudah menghayal ketemu Kang Karyo, ingin memeluk, memohon maaf untuk semua yang pernah Ina lakukan.
Sampai di Jakarta sudah menjelang sore, Pertama kali Ina datangi adalah bos tempat Kang Karyo bekerja, ternyata Kang Karyo sudah tidak bekerja lagi di sana.
Temannya tidak tahu, Ina mulai cemas, pikiran melayang, bagaimana kalau tidak bertemu, mau cari kemana lagi.
Tiba tiba ada laki laki menghampiri Ina
"Mbak siapa ?
"Saya istri Kang Karyo.
"Apa Masnya tahu Kang Karyo ada dimana?.
"Karyo yang orangnya tinggi, rambut agak ikal, kulit sawo matang, suka pake kaos warna hitam, saya pastikan dulu mbaknya tidak salah orang.
“Mbak yakin, Karyo yang dimaksud itu suami mba,” kata Masnya.
“Orangnya pintar main gitar?” kata Ina.
“Ya, Betul,” kata Masnya.
“Lagu Iwan Fals,” kata Ina lagi.
“Betul,” kata Masnya semakin bingung.
“Yakinlah, saya rumah tangga sudah hampir empat tahun, suami saya kerjanya memang supir bajaj,” kata Ina.
Sepertinya tidak mungkin Karyo punya istri secantik mbaknya, kalau memang betul Karyo itu yang mbak maksud, berarti karyo orang paling bodoh di dunia,” kata Masnya nyerocos.
"Tolong antar kesana, itu suami saya. Sudah delapan bulan tidak bertemu, saya kangen.”
"Tapi gimana ya, mbak. Bingung Karyo yang saya maksud itu … Masnya ragu ragu meneruskan pembicaraannya.
"Sudah lah, Masnya antar saya kesana dulu, masalah orangnya betul apa tidak urusan nanti, yang penting berusaha untuk ketemu dulu."
Masnya mengantar ke daerah kedoya Jakarta Barat, rasa capek tidak Ina rasakan. Hatinya berbunga, senyum tipis di bibir menghiasi sepanjang perjalanan, melewati kampung agak kumuh, bajaj yang di tumpangi berhenti.
"Itu Mbak, rumah petak nomor dua dari kanan, silahkan ke sana, saya tunggu di sini.”
"Jangan ditunggu, mungkin akan menginap.”
"Biar saya tunggu sini, pastikan sampai Mbak akan menginap baru saya pergi.”
Ina melangkahkan kaki ke rumah petakan.
”Assalammualaikum?
"Waalaikumsalam.
Ada terdengar suara perempuan menjawab, usianya sekitar dua puluh lima tahun, kulitnya sawo matang, rambut di ikat karet seadanya, pakai daster batik, perut agak membuncit, badannya berisi, mungkin karna dia hamil.
"Kang Karyo ada mbak?.
"Lagi narik bajaj.”
"Mba siapa ya?.
Ina bingung harus bilang apa, harus mengaku kalau dia istri? Kang Karyo sudah menanda tangani surat cerai diatas segel, atas desakan Bapak.
"Mbak siapa ? Ina balik bertanya.
"Saya istrinya, nama saya Ima.
"Boleh tidak melihat foto Kang Karyo, takutnya salah orang.
Mbak Ima membuka handphone dia perlihatkan foto profil mereka berdua.
Lutut Ina lemas, seperti tidak ada tulang, mata kabur, sekuat tenaga Ina mengumpulkan kekuatan, untuk tidak terlihat lemah.
"Mbak Ima, selamat buat pernikahannya, jaga rumah tangga baik baik, titip Kang Karyo, dia laki-laki baik dan bertanggung jawab.”
Salam buat Kang Karyo, sampaikan pesan, Carminah tadi kesini, siapa tahu mau dititip untuk Andini.
Setelah basa-basi sejenak, Ina pamit.
Ima mengantar sampai bajaj. Ingin rasanya menjelaskan keadaan sesungguhnya, tapi Ima takut, kehadiran Carminah, membuat Kang Kangyo meninggalkan.
"Lah kamu Jo, kok tidak ke rumah kata Ima ke tukang bajaj yang menunggu Ina.”
"Makasih mbak, gerah sambil cari angin. Ini ada mbak cari Karyo, maaf mbak Ima, diantar kesini. Kasihan jauh dari Sumatera mau ke Kampung mbaknya mampir.”
"Saya pergi dulu mbak Ima, terima kasih, salam buat Kang Karyo.”
"Ya, Mba, ati-ati di jalan.”
Bajaj berjalan, Ina menangis histeris, ada rasa penyesalan telah meninggalkan kang Karyo, maafkan kang, Ina bukan istri yang baik buat kakang.
Tetapi janji untuk jadi ibu yang baik buat anak kita Andini, jangan lupakan Andini, walau kakang udah ada pengganti.
Ina membuka handphone pertama kali dihubungi adalah Papi, mau cerita semua kepahitan hidup sama lelaki paruh baya itu.
"Tut ... Tut ... Tut ...berulang kali ina menghubungi tapi jawabannya, 'Nomor yang anda hubungi sedang dialihkan.'
Ina diam tertegun........
*****
Part. 10***Sudah dua minggu Ina dirumah, pikiran melayang tak karuan. Ada sisi pahit menekan dada, mengulang kembali masa indah bersama kang Karyo, lelaki hitam manis, rambut ikal, senang memakai kaos hitam.Kang Karyo sangat fanatik dengan Iwan Fals, kebanyakan orang di kampung menyukai dangdut, kang Karyo berbeda.Membuat Ina jatuh cinta, dia laki-laki romantis. Setiap kata diucapkan membuat Ina terbuai, sampai lupa mau marah, ketika Karyo pulang tidak membawa uang."Kamu cantik sekali cintanya kakang,” terlalu sering kang Karyo bisikkan untukku.”"Ah gombal! Seru Ina manja.”"Adakah kakang masih ingat Ina dan Andini.”
Duka Sang Primadona*****"Viola! Sini duduk dekat gue aja." Sintia melambaikan tangan memberi isyarat pada Viola untuk duduk disamping Sintia.Kerlingan mata Sintia mencemooh Ina. Rasain loe, saatnya tiba, apa yang gue rasain, lo bakal rasain.Sakit hati, elo ambil tamu gue, di kecilin di depan teman, karena mami bela lo daripada gue, gerutu Sintia sendiri.Sekarang masa kejayaan lo udah berakhir! Sintia merasa puas melihat Ina salah tingkah karena tak tau apa yang harus diperbuat.Viola anak baru di rumah mami Leli sedang naik daun, banyak diperbincangkan di kalangan para mami komplek lokalisasi.Anak termahal di tebus mami Leli. Dua puluh juta! Bukan pinjaman, lima
Bag 12****Sesekali Ina mencuri pandang ke arah Sintia yang selalu duduk di pojok bartender. Badannya semakin kurus, pipinya tirus, batuk pileknya tidak kunjung sembuh. Ditemani tisu dekatnya, kantong plastik tempat meletakkan bekas tisu.Ingin rasanya Ina memeluk, membelai rambut, berbagi suka duka. Tapi semua itu tidak bisa dilakukan karena Sintia begitu membenci.Menganggap Ina sebagai saingan, Sintia tahu Ina sedang memperhatikan, dia mengalihkan pandangan ke tempat lain, sorot mata dan tatapannya kosong. Terlihat sekali Sintia sedang menahan rasa sakit.Kita bisa jadi teman, kawan, sahabat, kenapa kita harus bermusuhan. Ayo tatap mata ini, yang akan memberimu senyum persahabatan tulus, ujar Ina dalam h
Sang TelembukBag 13****Mami ... Mami ... tolong ... Mi, Sintia pingsan, teriakan Maya terdengar sangat jelas. Hari baru menunjukkan pukul tujuh pagi. Penghuni rumah bordil Mami Leli berhamburan keluar kamar, Sintia pingsan."Gue taunya dia udah di lantai! Kata Maya terisak, menjelaskan sambil menangis. Diguncang bahu Sintia, sama sekali tidak ada reaksi."Bangun Am, kata Maya, di sela tangisnya. Udah bilang, tidur di kamar aku aja, jangan tidur sendiri, biar aku tahu kalo Am sakit." Part 14****Suasana rumah Mami Leli berangsur normal, Maya masih dalam kedukaan atas meninggalnya Sintia. Sangat kehilangan arah, maklum baru delapan bulan menikmati punya mama, haus akan kasih sayang orang tua.Viola masih dengan keangkuhannya, setiap kata keluar selalu sindiran pedas untuk Ina, berusaha tidak menghiraukan. Capek ribut terus tidak ada artinya, ujar Ina dalam hati.Sambil memainkan handphone, melihat kabar terbaru dari kotak hitam pipih, tidak dihiraukan sindiran Viola, sejak tadi tertuju padanya. Tiba-tiba Ina ingat Fandi sudah tiga minggu ini tidak menghubungi.Berkali Ina menghubungi Fandi, tetapi tidak ada jawaban. Telepon yang anda hubungi sedang dialihkan, cobalah beberapa saat lagi. Terdengar suara dari pusat provider.Sang Telembuk Tamu Istimewa