Langit yang mendung menyambut pagi mereka hari itu. Nod bergegas menyalakan mobilnya setelah berhasil mengatur rencana kerja dalam kepalanya. Hal pertama yang akan dilakukannya adalah menuntut pihak sekolah tentang hal yang terjadi pada Fibrela kemarin.
Fibrela duduk dalam diam memandangi sekeliling jalan dari kaca jendela mobil.
“Kau mau memarahi mereka?” tukas Fibrela tanpa perlu menebak.
Nod tak menjawab melainkan langsung duduk di depan setirnya.
“Aku tak memerlukan hal itu, Nod. Aku hanya ingin keluar dari sana. Lagian aku tak akan berada di sini terlalu lama,” kata Fibrela ketika Nod hendak menyeret roda mobilnya ke jalan.
“Dan kau bisa mewartakan kisah burukmu selama di daratan kepada para atlic. Lalu, para atlic semakin mencemooh manusia daratan dan kami makin ditindas di Luzavmu?” sergah Nod tanpa berpikir.
Fibrela diam tak membalas. Penilaian Nod terhadap dirinya—sebagai atlic—seperti
Mentari pagi Luxavar bertengger di ufuk timur. Mregelen menimbang secarik kertas di hadapannya. Mereka hampir tidak memiliki benda seperti itu lagi, sehingga keberadaannya merupakan hal yang langka. Dari penampakannya, kertas itu sama seperti kertas lainnya di daratan. Ada stempel Museum Paranis di sudut bawahnya. Di bagian tengahnya terdapat tulisan dan beragam garis saling berpotongan. Judul yang terbaca pada sisi atasnya bertuliskan, “Selubung Kaca Luxavar”.Mregelen masih mengutak-atik tulisan tadi sambil menatap layar di hadapannya. Terlihat dia sudah frustasi dengan secarik kertas tadi. Masih bergelut dengan pikirannya, tiba-tiba lampu di layar tersebut berkedip. Wajah seseorang tampil di hadapannya.“Likos?” panggil Mregelen penuh harap.“Maaf baru bisa menghubungimu sekarang. Kami sibuk mencari Fibrela kemarin,” kata Likos.“Apa yang terjadi?” tanya Mregelen.“Ada beberapa konflik di sek
Mregelen melangkah cepat menuju sebuah aula besar berpilar tinggi di Museum Paranis. Dia tahu walau tidak akan membuahkan hasil, setidaknya dia sudah memastikan tidak ada jawaban yang bisa dia temukan di tempat ini.“Profesor Trufer, ada yang bisa kami bantu?” tanya salah satu wanita paruh baya di sudut ruangan museum tadi.“Aku butuh akses ke Luxavar abad ketiga,” kata Mregelen.“Ya, tentu saja. Lewat sini,” ucap wanita tadi memimpinnya ke lorong yang lebih panjang di belakang aula tadi.Lorong panjang berbatu ini seperti lorong di Luxavar kebanyakan, bisa berpendar menimbulkan cahaya. Tidak ada hiasan atau lukisan di sepanjang lorong. Hanya ada deretan pintu berbentuk oval yang bertuliskan peninggalan berbagai jaman tentang Luxavar.“Jika boleh tahu, apa yang sedang Anda cari?” tanya wanita tadi.“Aku ingin tahu tentang ini,” kata Mregelen memperlihatkan secarik kertas yang bertul
Fibrela meraih makanan yang sudah disajikan Vabian di meja makan. Senang akhirnya Vabian memasak makanan Luxavar. Dia sudah merindukan Alocasia pelintir itu. Dia selalu menahan rasa memuakkan dari makanan di daratan. Tanpa kehadiran Nod, Fibrela bisa mengisi perutnya dengan menu terlarang tadi.“Wah, makanan pelintir ini lagi.” Likos juga ikut-ikutan bersemangat mendapati menu baru ini di meja makan mereka. “Aku hampir lupa bagaimana rasanya.”“Kalau begitu ingat-ingat lagi, sebelum kau terkejut,” kata Vabian. “Beberapa hari ini kan kalian selalu makan makanan daratan.”Saat satu batang alocasia tadi sampai di mulut Likos, wajahnya berubah drastis. “Ini bukan alocasia. Kau benar-benar jahat Vabian.”Vabian hanya tersenyum kaku mendapat keluhan tersebut. “Profesor Gainkline yang membawakannya.”“Haha… kupikir rasa alocasia ini mirip rasa daun
Cuaca mendung mengantar kedatangan Nod hingga ke depan pintu rumahnya. Pria itu melangkah perlahan seraya menoleh ke segala sisi rumah tersebut.“Apa yang sudah mereka lakukan pada rumahku?” tanyanya dalam hati.Atap ruang makannya runtuh menimpa meja makan yang masih separuh dihabiskan. Pecahan kaca dan serpihan kayu bertebar ke sekeliling lantai. Tetesan hujan merembes masuk menciptakan genangan air di ruang tengah. Bau busuk sayuran basi menyeruak dari sekeliling meja yang sudah hancur terbelah-belah.Seisi rumah seperti baru dibombardir angin puting beliung, padahal dia baru meninggalkan rumahnya selama tiga hari. Semua pintu juga tidak terkunci, sehingga siapa saja bisa masuk dan mengobrak-abrik isi rumah. Namun Nod tidak peduli dengan semua ini karena kini dia mencari keberadaan orang yang bisa menjelaskan padanya apa yang tengah terjadi pada rumahnya ini.Nod meraih sisa makanan yang berjatuhan tadi dan mengamati makanan ini tampak tida
“Kau tidak bisa membawa semua atlic ke daratan,” ujar seseorang bergema dalam liang telinga Nod.Cahaya terang menerpanya. Tubuhnya terasa sangat lemas sekarang. Dia lupa yang telah terjadi padanya, lebih tepatnya tidak tahu. Matanya mengerlip perlahan. Silau cahaya membuat kelopak matanya bergetar. Tubuhnya terasa sangat dingin, tetapi dia bisa merasakan tubuhnya terbaring di atas permukaan yang keras.“Nod? Kau sudah sadar?” tanya seseorang yang sangat dikenal Nod. Sekali lagi Nod membuka matanya dan mendapati Fibrela, Likos dan Brevis berada di sampingnya.“Apa yang terjadi?” tanya Nod bingung.“Kau dibawa oleh Jibethus kemari,” kata Brevis. “Kau terluka?”Nod menggeleng. Dia kembali semua temannya mengelilingi dengan ekspresi lega. Masih merasa pusing dan letih, Nod mencoba bangkit dan mendapati dirinya yang kini terpasang rantai di kaki kanannya. Dia menatap ke Fibrela, Brevis dan Lik
Mereka turun dari tangga kecil dengan penjagaan dari para atlic dan rokern yang berkeliaran di sekeliling mereka. Perjalanan dari ruangan tadi ke gedung pengadilan yang dimaksud tidak sejauh yang mereka kira. Setelah melewati lorong dan koridor panjang sejauh 200 meter, mereka sampai di ruangan yang lebih besar.Pada awalnya, Fibrela mengira itu hanya ruang kosong, tapi nyatanya tempat itu sudah dipadati oleh ratusan atlic. Sementara di sisi luar para Cerecza sudah bersiaga jika sewaktu-waktu tahanan tersebut mencoba kabur.Fibrela dan yang lainnya dikawal memasuki sisi depan gedung pengadilan yang luas itu. Ruangannya bulat dengan dinding kaca di sekelilingnya. Dari balik dinding kaca itulah mereka bisa melihat ada begitu banyak wartawan dan atlic yang tengah mengamati setiap gerak-gerik yang mereka lakukan.Mereka diposisikan bersujud di tengah ruangan, menghadap ke sebuah podium besar yang tak jauh dari mereka. Di atas podium paling tinggi berdiri putra perta
Rapat besar dadakan segera diselenggarakan di Brugaden, menghadirkan seluruh petinggi Luxavar. Mereka duduk di lantai paling tinggi gedung megah itu. Di tengah-tengahnya, duduk Presiden Trufer. Matanya memandang awas ke segala arah, tak berkedip meski keributan mengisi pertemuan itu.“Kita harus mengevakuasi seluruh penghuni Luxavar ke daratan. Aku akan membuat perjanjian damai dengan manusia daratan jika memang itu diperlukan,” tukas salah satu atlic yang mengaku dari Komunitas Perdamaian Daratan.Pernyataan tadi segera ditentang mentah-mentah oleh rombongan atlic fanatisme Luxavar.“Kita tidak bisa mengulang sejarah kelam itu di daratan lagi. Lebih baik kita musnah menjadi bangsa yang terhormat ketimbang harus menyerah pada manusia daratan. Lagi pula, kita tidak tahu kehancuran besar apa yang juga bisa terjadi di daratan,” tangkis salah satu atlic dari gerombolan atlic di pojok ruangan.Seorang atlic berdiri hendak mengajukan ide
Sekitar 30 menit sudah berlalu, tetapi hanya ruangan gelap yang terlihat. Likos mulai mempertanyakan tentang ujung dari saluran pembuangan ini. Mereka tidak dapat berjalan beriringan karena saluran ini hanya dapat dilalui oleh satu orang, yang membuat keempatnya sama-sama sengsara. Mregelen berjalan tanpa menggubris celoteh Likos.“Semestinya sudah dekat,” kata Mregelen sedikit risau.“Kau yakin?” tanya Fibrela. ““Iya,” kata Mregelen menyemangati dirinya sendiri.Mereka melanjutkan perjalanannya dengan tergesa-gesa. Saluran ini pasti memiliki ujung.“Apakah kita akan mati jika makan kotoran?” cetus Likos memecah konsentrasi Nod.“Kudengar di daratan mereka membuat makanan dari kotoran,” timpal Brevis.“Omong kosong,” tukas Fibrela. “Berhentilah mengeluh. Kalau kau mati di saluran pembuangan setidaknya tubuhmu berguna untuk pupuk pohon kuifa Brevis.&rd