Prapto masih menumpu wajahnya dengan kedua tangannya. Matanya terus mengawasi gerak-gerik Indah yang sedang menyiapkan makanan untuknya. Wanita berkulit hitam manis itu berjalan mondar mandir di hadapannya.
"Mas!" Teriak Indah membuat Prapto tergeragap. Pria dengan wajah ditekuk itu terus mengerucutkan bibirnya.
"Ada apa sih Mas kok manyun kaya gitu?" tanya wanita yang rambutnya masih basah sisa permainan semalam. Indah masih terus mengoyangkan spatulanya di atas wajan, sesekali melirik Prapto.
"Dek, semalem adek hadis ngapain?" tanya Proto menyelidik. Pria itu seolah tidak percaya dengan diri Indah yang kini berada di hadapannya. Indah yang semalam itu lebih menggodanya. Dadanya yang besar serta kulitnya yang putih bagaikan pualam. Membuat Prapto mengumulinya hingga adzan subuh berkumandang.
"Habis apa gimana sih, Mas?" sahut Indah menghentikan gerakannya. Kemudian menatap serius ke arah Prapt
Huek ... Huek ... Huek ...Indah berkali-kali keluar masuk ke kamar mandi. Sedari pagi perutnya terasa mual sekali. Hingga siang hampir menjelang, perutnya sama sekali tidak dapat diisi oleh makanan."Dek, kita berobat yuk!" ucap Prapto yang khawatir melihat keadaan istrinya dengan wajah pucat pasi."Ngak usah Mas, paling aku cuma masuk angin," ucap wanita berkulit sawo matang itu membalikan tubuhnya menunggungi Prapto yang sedang menyadarkan tubuhnya pada dipan ranjang."Adek yakin?"Prapto mengeryitkan dahi."He'um," sahut Indah lemah."Yo wes, Mas mau lihat rumah kita sebentar ya. Sudah lama rumah itu nggak Mas tengokin," pamit Prapto megusap lembut pundak Indah yang tak bergeming.____"Masa sih? Kamu dapat kabar darimana kalau si Tejo itu ngambil pesugihan," tanya seorang kuli yang sedang sibuk melepar kelapa ke atas truk kepada temann
Pria berkumis tebal itu terlih gusar. Aktivitas yang biasanya ramai di gudangnya kini terlihat sepi. Banyak kariawan Tejo yang memutuskan berhenti bekerja setelah menyebar rumor kematian Bambang sebagai tumbal pesugihannya.Namun, bukan itu yang membuat pikiran pria yang masih duduk di kursi putar yang berada di gudang itu terlihat terus berfikir Keras. Terlebih karena tumbal tertolaknya itu berimbas pada usahanya yang hampir bangkrut.Dua bulan sudah berlalu. Tidak ada sedikitpun pun laba yang menguntungkan yang Tejo dapatkan. Yang ada setiap kali ia mengirim kelapa atau memasok kelapa hasilnya selalu bikin pusing kepala. Mulai dari kwalitas kelapanya yang kurang bagus, ukuran kelapanya yang terlalu kecil atau bahkan banyak kelapa yang cepat busuk karena kelamaan. Kurangnya kwalitas dan kwantitas yang Tejo berikan kepada pelanggan membuat para tengkulaknya berlari mencari pemasok kelapa dengan produk yang lebih baik lagi."B-bos!" ucap pria itu me
Wajah wanita yang sedang berdiri di ambang pintu itu terlihat sumringah. Manatap para pekerja yang tengah sibuk menaikan kelapa di atas truk truk yang berjajar di gudang. Tempat yang kini telah dirubah menjadi ukuran jumbo dan luas. Jatuh bangun usaha Lastri kali ini pasti tetap menghasilkan uang dan uang. Seiring dengan kandungan Indah yang mulai membesar."Bu, kok senyum-senyum sendiri, sih?" tanya Indah yang meletakkan secangkir teh hangat di atas meja yang berada di teras rumah."Ibu lagi seneng, berkah rejeki jabang bayimu usaha ibu makin maju," seloroh wanita yang mengenakan daster dengan motif bunga-bunga penuh semangat."Loh, kok jabang bayi Indah sih, Bu?""Ya iyalah, anak kan membawa rejeki," sahut Lastri yang kini menjatuhkan bokongnya di kursi teras rumah dengan asal."Dek, mas mau berangkat dulu ya!" suara Prapto yang baru keluar dari dalam rumah."Hati-hati y
Kabar kejayaan Lastri akhirinya sampai juga di telinga Tejo. Bahkan berita kehamilan Indah pun sudah Tejo katahui, itulah penyebab pundi pundi kekayaan Lastri yang semakin menggunung.Hati Tejo kian memanas ketika tau kini Lastri mampu mengibarkan sayapnya ke kancah internasional. Sementara usaha kelapanya sendiri kian hari semakin terpuruk. Bahkan hampir bangkrut, hanya gara-gara ia salah memberikan tumbal.Tejo masih terus memutar otaknya, Mencari cara untuk mengembalikan kembali kejayaannya. Namun, siapa lagi yang akan menjadi tumbal pesugihannya selanjutnya. Karena semua orang disekelilingnya sudah menjauhinya.Pria yang sedang duduk di sofa ruang televisi itu terus memperhatikan gerak gerik Damar, putra semata wayangnya. Pemuda tampan itu dengan telaten menyuapi Wini yang sedang duduk di kursi roda. Bahkan pemuda itu terlihat tertawa renyah menghibur Wini yang berusaha keras membuat lekukan di sudut bibirnya yang suda
Tejo masih memperhatikan Damar yang sedang sibuk menyuapi Wini di meja makan. Pemuda berkulit putih itu terlihat begitu telaten mengurus ibunya yang telah menderita stroke beberapa tahun yang lalu."A' Bu!" perintah Damar mendekatkan sendok berisi nasi ke dekat mulut Wini.Wanita yang sudah tak mampu berbicara itu membuka mulutnya perlahan. Kemudian mengunyah makanan yang telah Damar masukan ke dalam mulutnya dengan sangat pelan sekali."Nah, ibu makan yang banyak ya biar cepat sembuh!" ucap Damar melekatkan piring yang telah kosong itu ke atas meja makan."Wah, lagi pada makan ini!" ucap Tejo yang baru datang dan menarik kursi tepat di hadapan Damar.Wajah' Damar berubah masam, netranya berpaling dari pria yang kini duduk tepat di hadapannya dan menunjukan sikap hangat kepadanya."Lihat nih, bapak belikan kamu daging sapi Pagang kesukaanmu!" ucap Tejo meletakan sebu
'Aku harus keluar dari dalam rumah ini. Karena jika tidak, lelaki bangs*t itu pasti akan menjadikan aku tumbal selanjutan.'Wini memperhatikan Tejo yang sedang sibuk menghitung uang yang sangat banyak sekali. Setelah kematian Damar, pundi-pundi kekayaan Tejo semakin bertambah. Bagaimana tidak, tumbal permintaan Nyai Ratu dapat menjadikannya kaya tujuh turunan."Akhirnya, aku jadi kaya raya!" Tejo menghujani dirinya dengan lembaran kertas merah yang dihamburkan ke udara."Aku kaya, Win!" seru Tejo kembali menghambur-hamburkan uang yang berada di atas ranjang.Setelah puas, Tejo mengumpulkan kembali lembaran merah itu dan menyusunnya. Sebagian ia masukan ke dalam lemari brangkas yang berada di dalam kamarnya dan sebagai kecil ia masukkan ke dalam dompetnya.Wajah Tejo nampak begitu bahagia, ia berjalan menghampiri Wini yang duduk di atas kursi roda di samping pintu kamar yang sedari tadi melihat tingkah konyolnya."Win, rumah ini terasa sepi s
Langit terlihat gelap, tetapi bukan berarti malam. Matahari meramun di balik mendung hitam memberikan cahaya yang tidak terlalu terang."Kita mau kemana, Mas?" tanya Indah terus mengekori langkah kaki Prapto yang sedari tadi mengandeng tangannya. Indah di merasa sudah berjalan sangat jauh sekali. Namun entah mengapa seperti sedang berputar-putar."Tunggu saja, sebentar lagi kita akan sampai." Prapto sekilas menoleh pada Indah yang terlihat mulai kelelahan.Indah menyapu pandangannya ke sekeliling. Tidak ada satupun orang yang ia jumpai sepanjang ia berjalan bersama suaminya. Warung Bu Sri yang biasa sangat ramai kini sepi pengunjung. Bahkan tidak terlihat wanita pemilik warung nasi padang yang terkenal sangat ramah itu."Mas, kok tumben ya desa kita sepi begini?" tutur Indah bergidik, sedari tadi tengkuk Indah terus meremang.Prapto hanya diam. Terus menuntun tangan Indah menyusuri jalanan kampung Ranupani."Mas, ini tempat
Indah sepertinya sudah melupakan kejadian di rumah tua Belanda milik nenek-nenek menyeramkan itu. Namun, hati kecilnya tidak dapat dibohongi. Sayangnya, semakin Indah berusaha untuk mengingat-ingat kejadian itu, ia justru seperti orang yang kehilangan ingatan."Ambilah, Indah!" seru Lastri membuat Indah tergeragap."I-iya, Bu!" Indah menatap pada gelas kopi hitam yang ada di tangan Lastri.Dengan tangan bergetar Indah meraih gagang gelas kopi yang Lastri sodorkan. "Bu, aku melihat bapak di halaman belakang," ucap Indah. Ia mencoba untuk mengadukan apa yang ia lihat pada Ibunya.Lastri hanya tersenyum. "Kamu hanya sedang kecapean, Ndah. Dari kemarin kamu tidur terus, sampai kamu nggak bangun-bangun," ucap Lastri."Apa?" Indah mengeryitkan dahinya, "Dari kemarin aku tidur!" Indah menggaruk kepalaku yang tidak gatal.'Tapi kenapa aku tidak merasa apapun, ya!" batin Indah.