Tejo masih memperhatikan Damar yang sedang sibuk menyuapi Wini di meja makan. Pemuda berkulit putih itu terlihat begitu telaten mengurus ibunya yang telah menderita stroke beberapa tahun yang lalu.
"A' Bu!" perintah Damar mendekatkan sendok berisi nasi ke dekat mulut Wini.
Wanita yang sudah tak mampu berbicara itu membuka mulutnya perlahan. Kemudian mengunyah makanan yang telah Damar masukan ke dalam mulutnya dengan sangat pelan sekali.
"Nah, ibu makan yang banyak ya biar cepat sembuh!" ucap Damar melekatkan piring yang telah kosong itu ke atas meja makan.
"Wah, lagi pada makan ini!" ucap Tejo yang baru datang dan menarik kursi tepat di hadapan Damar.
Wajah' Damar berubah masam, netranya berpaling dari pria yang kini duduk tepat di hadapannya dan menunjukan sikap hangat kepadanya.
"Lihat nih, bapak belikan kamu daging sapi Pagang kesukaanmu!" ucap Tejo meletakan sebu
'Aku harus keluar dari dalam rumah ini. Karena jika tidak, lelaki bangs*t itu pasti akan menjadikan aku tumbal selanjutan.'Wini memperhatikan Tejo yang sedang sibuk menghitung uang yang sangat banyak sekali. Setelah kematian Damar, pundi-pundi kekayaan Tejo semakin bertambah. Bagaimana tidak, tumbal permintaan Nyai Ratu dapat menjadikannya kaya tujuh turunan."Akhirnya, aku jadi kaya raya!" Tejo menghujani dirinya dengan lembaran kertas merah yang dihamburkan ke udara."Aku kaya, Win!" seru Tejo kembali menghambur-hamburkan uang yang berada di atas ranjang.Setelah puas, Tejo mengumpulkan kembali lembaran merah itu dan menyusunnya. Sebagian ia masukan ke dalam lemari brangkas yang berada di dalam kamarnya dan sebagai kecil ia masukkan ke dalam dompetnya.Wajah Tejo nampak begitu bahagia, ia berjalan menghampiri Wini yang duduk di atas kursi roda di samping pintu kamar yang sedari tadi melihat tingkah konyolnya."Win, rumah ini terasa sepi s
Langit terlihat gelap, tetapi bukan berarti malam. Matahari meramun di balik mendung hitam memberikan cahaya yang tidak terlalu terang."Kita mau kemana, Mas?" tanya Indah terus mengekori langkah kaki Prapto yang sedari tadi mengandeng tangannya. Indah di merasa sudah berjalan sangat jauh sekali. Namun entah mengapa seperti sedang berputar-putar."Tunggu saja, sebentar lagi kita akan sampai." Prapto sekilas menoleh pada Indah yang terlihat mulai kelelahan.Indah menyapu pandangannya ke sekeliling. Tidak ada satupun orang yang ia jumpai sepanjang ia berjalan bersama suaminya. Warung Bu Sri yang biasa sangat ramai kini sepi pengunjung. Bahkan tidak terlihat wanita pemilik warung nasi padang yang terkenal sangat ramah itu."Mas, kok tumben ya desa kita sepi begini?" tutur Indah bergidik, sedari tadi tengkuk Indah terus meremang.Prapto hanya diam. Terus menuntun tangan Indah menyusuri jalanan kampung Ranupani."Mas, ini tempat
Indah sepertinya sudah melupakan kejadian di rumah tua Belanda milik nenek-nenek menyeramkan itu. Namun, hati kecilnya tidak dapat dibohongi. Sayangnya, semakin Indah berusaha untuk mengingat-ingat kejadian itu, ia justru seperti orang yang kehilangan ingatan."Ambilah, Indah!" seru Lastri membuat Indah tergeragap."I-iya, Bu!" Indah menatap pada gelas kopi hitam yang ada di tangan Lastri.Dengan tangan bergetar Indah meraih gagang gelas kopi yang Lastri sodorkan. "Bu, aku melihat bapak di halaman belakang," ucap Indah. Ia mencoba untuk mengadukan apa yang ia lihat pada Ibunya.Lastri hanya tersenyum. "Kamu hanya sedang kecapean, Ndah. Dari kemarin kamu tidur terus, sampai kamu nggak bangun-bangun," ucap Lastri."Apa?" Indah mengeryitkan dahinya, "Dari kemarin aku tidur!" Indah menggaruk kepalaku yang tidak gatal.'Tapi kenapa aku tidak merasa apapun, ya!" batin Indah.
Indah duduk termenung di samping jendela kamarnya. Kejadian yang menimpanya akhir-akhir ini sangat membuat wanita berbadan dua itu hampir stres. Mulai dari rumah yang terasa berbeda. Prapto yang hanya datang saat malam hari tiba untuk meminta jatah dan menghilang saat pagi menjelang. Serta Lastri yang sering tiba-tiba muncul dan memberikannya kopi hitam yang rasanya sangat tidak enak sekali dan setelah itu Indah seperti orang yang kebingungan.Indah membulatkan matanya, ayunan yang berada di belakang rumah kembali bergerak. Indah melihat' ke sekeliling. Daun-daun nampak tenang dan tidak ada gerakan apapun. Namun, ayunan kosong itu terus bergerak ke depan dan kebelakang. Indah semakin ketakutan, ia bangkit dari bangku yang berbeda di dekat jendela, meskipun air matanya terus mengawasi ayunan yang berada di bawah pohon nangka di belakang rumahnya."Indah!"Wanita itu melonjak, "Ibu!" sergah Indah saat melihat Lastri sudah berada di ambang pintu kamarnya.&n
Indah berjalan menuju dapur. Langkahnya terhenti saat melihat Lastri sedang menyeduh kopi. Indah ragu untuk menyapa wanita aneh itu. Ia memilih untuk memperhatikan gerak gerik Ibunya dari balik dinding dapur.Lastri menuangkan sesuatu dari ceret yang ia angkat dari atas kompor. Aroma anyir semakin memenuhi ruangan menusuk indra pernapasan. Tenyata yang keluar dari dalam ceret itu bukanlah kopi melainkan darah segar yang telah Lastri rebus di tambahkan dengan bunga kantil hitam.Perut Indah seketika mual, hampir saja ia memuntahkan isi perutnya di tempat ia berada. Indah bergegas pergi berlari menuju pintu utama, ketakutan"Jadi selama ini yang aku minum adalah darah." Indah merasa sangat jijik sekali.Bruk!Indah menabrak seseorang yang muncul dari balik pintu yang terbuka."Mas Prapto!" Indah terkejut melihat Prapto telah kembali. Ia menjatuhkan pelukan pada lelaki itu, ketakutan."Ada apa, Dek?" tanya Prapto."Aku takut, Mas!
Tubuh Indah bergetar hebat. Peluh membanjiri tubuh wanita itu. Ingin rasanya Indah berlari saat makhluk berbulu hitam itu semakin mendekat ke arahnya. Namun, rasa sakit pada perutnya membuat wanita itu tidak dapat bangkit apalagi berjalan."Dek, kemarilah! Berikan bayi itu padaku.Indah berusaha menarik tubuhnya. Namun janin itu seperti mengganjal di bagian kemaluannya, hendak keluar."Jangan, jangan lahir dulu, Nak!" lirih Indah berusah menahan bayi yang berada di dalam perutnya.Dalam rasa ketakutannya, tanpa henti Indah melafalkan kalimat Allah di dalam hatinya."Tolong!" teriak Indah saat janin yang berada di dalam perutnya merosot melalui jalan lahir.Oek ... Oek ... Oek .."Allah!" lirih Indah dan semua menjadi terasa gelap gulita.____Dua minggu Indah menghilang dari rumah Lasri. Tepatnya saat malam Jumat dua minggu lalu. Tidak ada yang tahu kemana perginya Indah, begitu juga dengan Prapto yang semalam suntuk menem
Kiih ... Kih ... Kih ...Tawa itu semakin nyaring terdengar. Dari sosok wanita dengan wajah membusuk yang melayang-layang di udara. Kedua kakinya melambai-lambai di balik gaun putih yang ia kenakan.Prapto bergidik, ia menarik diri bersembunyi di balik pintu. Sementara Ustaz Zul tidak berhenti untuk melafalkan kalimat-kalimat Allah."Pergi dari sini!" sentak Ustaz Zul meradang.Kuntilanak itu justru tertawa semakin nyaring. "Kih ... Kih ... Kih ...! Jangan menganggu urusan aku manusia!" Suara menyeramkan dari mahluk itu membuat Prapto semakin ketakuatan.Ustaz Zul memejamkan matanya. Bibirnya berkomat kamit membaca doa sapu jagad. Tiba-tiba angin cukup kencang menyapu tubuh Ustaz Zul yang berdiri di teras rumah. Hingga lelaki itu jatuh tersungkur.Bruak!Prapto segera berlari, hendak menolong Ustaz Zul. Namun, tiba-tiba kakinya seperti ditarik paksa oleh seseorang yang tak kasat mata."Tolong!'Sreeet ...
Semua barang-barang milik Prapto telah di kemasi dan di masukan ke dalam koper. Pagi-pagi buta, pembantu rumah tangga Lastri menemukan Prapto tertidur di belakang rumah berlantai dua milik Lastri. Semenjak berada di rumah Lastri, dia selalu diganggu oleh makhluk tidak kasat mata. Apalagi kini Indah juga menghilang secara misterius."Den Prapto yakin, mau pulang ke kampung seberang?" tanya wanita paruh baya pada Prapto yang sedang berkemas."Iya, Bik. Saya mau pulang ke rumah saya saja. Di sini ... !" Prapto menjeda ucapannya dengan wajah getir, takut jika ada yang mendengar.Bibik yang berdiri di ambang pintu berjalan mendekati Prapto. "Den Prapto ada yang gangguin ya?" ucap Bibik dengan nada berbisik. Sorot matanya serius melihat pada Prapto."Kok Bibik tau?" Prapto mengernyitkan dahi membalas heran tatapan Bibik.Bibik mendengus berat. "Bibik juga sering digangguin, Den. Rumah ini memang angker," seloroh Bibik dengan nada suara berbisik. "Apalagi