Huf! Pak Parlin menghela nafas panjang. Berjalan masuk ke dalam mobilnya diikuti Yuda yang nampak kelelahan. Pemuda itu mengempeskan kasar tubuhnya pada bangku di samping kemudi.
"Om, Yakin jika mereka akan aman berada di tempat itu?" Yuda menoleh ke arah Pak Parlin yang duduk di bangku kemudi.
"Kamu tenang saja, mereka pasti akan aman di sana dan mereka tidak akan pergi kemana pun!" balas Parlin berfokus pada jalanan yang berada di depan mobil.
Gerimis perlahan mulai turun membasahi kaca depan mobil. Benda pajang itu bergerak ke kiri dan ke kanan membasuh percikan gerimis yang membuat padangan meramun. Sekali Pak Parlin menyalakan lampu jarak jauh dan mengedipkan untuk memastikan jalanan tidak terlalu licin.
"Dengan seperti ini semuanya pasti akan aman. Tidak akan ada lagi yang menunggu persembahan kita dan sebentar lagi kita akan menjadi orang paling kaya raya, Yud!" Pak Parlin menarik kedua
Wajah wanita yang mengenakan kerudung coklat itu tergugu. Beberapa kali ia menyeka sudut matanya yang basah. Sementara seorang lelaki bertubuh tambun yang mengenakan kacamata sedang bercakap-cakap dengan Pak Parlin."Saya benar-benar tidak menyangka jika Angga dapat melakukan hal senekat itu kepada Siska." Lelaki bertubuh tambun itu menghela nafas panjang. "Saya sangat kecewa dengan Angga!" tutur lelaki yang tidak lain adalah dosen para mahasiswa yang berasal dari Jakarta itu."Saya sendiri juga tidak menyangka jika Angga akan melakukan hal senekat itu kepada temannya sendiri, Pak!" imbuh Pak Parlin memasang wajah sedih. Beberapa kali ia menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir."Lalu bagaimana dengan Rani, bagaimana bisa dia menghilang?" Lelaki bertubuh tambun yang memakai kacamata itu menatap pada Yuda dan Pak Parlin bergantian.Lelaki bertubuh sedang dengan gaya rambut klimis itu menggeleng lemb
Netral Sekar bulat penuh pada lelaki yang berdiri di depan rumah kosong yang ada di depan rumah Pak Parlin."Apa? Siapa lelaki ini, kenapa dia memanggil nama pemilik tubuh ini!" batin Sekar. Lelaki bertubuh sedang yang berdiri di seberang jalan itu menatap lekat ke arah Sekar.Bergegas Sekar berlari ke arah gunung Semeru. Membiarkan lelaki yang berdiri di depan rumah Lastri itu terus memanggil-manggil nama Indah."Indah!" teriak lelakinya mengejar Sekar.Sesekali Sekar menoleh ke belakang. Terlihat lelaki asing itupun terus mengejarnya. Sekar semakin mempercepat langkah kakinya masuk ke dalam hutan. Sekar terus berlari tanpa mempedulikan apapun, hingga gadis itu merasa aman dan bayangan' lelaki yang memanggil nama Indah itu tidak nampak lagi, Sekar baru menghentikan langkah kakinya.Hos! Hos! Hos!Jantung Sekar berdetak sangat kencang, gadis itu terhuyun dudu
Sudah beberapa kali Zaki dan Dimas berusaha untuk keluar dari rumah pondok itu. Tetapi kedua lelaki itu tetap tidak bisa melakukannya. Pondok yang terbuat dari papan kayu itu nampak sangat kokoh sekali. Bahkan untuk membuka pintunya saja, Zaki sampai kehabisan tenaga."Sial!" teriak Zaki yang sudah kehabisan akal untuk keluar dari dalam pondok itu. Lelaki itu terduduk lesu di atas tumpukan jerami."Bagaimana Zak? Apakah tetap tidak bisa?" seloroh Dimas yang duduk di tumpukan jemari. Tanpa menggunakan kacamata, lelaki itu hampir sama sekali tidak dapat melihat apapun. Hanya bayangan yang terlihat oleh netranya."Tidak, sulit Dim!" lirih Zaki terduduk lesu."Bagaimana kalau kita jebol saja dinding papan ini!" usul Dimas."Di jebol!" Zaki menatap pada Dimas, kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. "Bagaimana cara menjebolnya, Dimas di sini tidak ada apapun kecuali j
Dimas melonjak, apalagi Zaki yang melihat seseorang yang tengah meringkuk di tengah-tengah rumput tinggi yang ada di sekitar Danau Kumbolo."I-itu apa?" Kerongkongan Zaki tercekat, lelaki itu kehabisan kata-kata untuk menggambarkan apa yang ia lihat saat ini. Beberapa langkah, Zaki memundurkan kakinya, terkejut.Wajah Dimas menegang, dia sama sekali tidak bisa melihat apapun, bahkan gelap malam tanpa bulan kali ini membuatnya hampir seperti orang buta."Ada apa, Zak? Ada apa?" Dimas meraba, karena pegangan tangannya terlepas dari tubuh Zaki.Zaki gemetaran, keringat dingin membasahi tubuh lelaki dengan wajah ketakutan itu."Zak, cepat katakan, kamu jangan diam seperti itu!" sentak Dimas, kesal. Ia hanya mendengar deru nafas Zaki yang memburu tidak jauh dari tempatnya berada."Itu, Dim, itu!" Lidah yang sempat kelu itu akhirnya dapat berkata-kata kembali. "Itu
"Ada apa, Mbak?" Dimas menatap pada Sekar yang nampak ketakutan. Meskipun hanya bayangan yang nampak tidak jelas."Kita jangan di sini! Kampung ini berbahaya," ucap Sekar memundurkan beberapa langkah kakinya. Guratan pada wajahnya menapakan sebuah ketakuatan."Ada apa, Sekar? Ada apa dengan kampung ini?" Zaki menjatuhkan tatapan heran kepada sikap yang Sekar tunjukkan.Zekar seperti orang yang sedang ketakutan, wanita itu memutar tubuhnya kemudian berlari masuk ke dalam hutan."Mbak, tunggu!" teriak Dimas."Sekar!" Zaki menaikkan nada suaranya kepada Sekar yang sudah menghilang di balik rimbunnya pepohonan. Wanita itu sangat cepat sekali berlari.Zaki mendengus berat, menatap pada kepergian Sekar. Kemudian mengalihkan tatapannya kepada Dimas."Ayo, kita kejar Mbak Sekar!" ajak Dimas menyadari Zaki yang hanya diam mematung melihat ke
Semburat senyum yang tersungging dari kedua sudut bibir lelaki yang tengah menatap kepada Pak Parlin."Lama tidak berjumpa dengan bapak?" tutur lelaki itu mengulurkan tangannya kepada Pak Parlin yang nampak berpikir, seperti sedang mengingat-ingat."Iya, apa kabar kamu, Prapto!" Pak Parlin membalas uluran tangan lelaki yang tidak lain adalah Prapto."Sejak kapan kamu datang ke kampung ini?" tanya Pak Parlin pada Prapto. Senyuman ramah tercermin dari kedua sudut bibir lelaki yang tengah teringat dengan lelaki yang pernah menjadi tetangganya."Dua hari yang lalu," balas Prapto menyunggingkan senyuman. "Apakah Bapak masih tinggal di rumah ini?" Prapto mengedarkan pandangannya ke rumah berlantai dua milik Pak Parlin."Iya, saya masih tinggal di rumah ini," jawab Pak Parlin."Lalu di mana Bu Parlin?" tanya Prapto melongok ke sekeliling rumah Pak Parlin.
Lelaki berkumis tebal itu mengurung Indah di dalam gudang yang berada di belakang rumahnya. Sampai Indah mau mengatakan pesugihan apa yang telah dianut ibunya hingga membuat Lastri menjadi kaya raya di kampung Ranu Pani."Lihatlah, Bu, Lastri itu memang mencurigakan. Wanita itu terlalu banyak menyimpan rahasia, bahkan sampai Indah anaknya hilang saja, dia tidak mencari dan mengatakan jika anaknya masih baik-baik saja di dalam rumah itu," ucapan Pak Parlin yang baru saja pulang mengantarkan barang barang pesanan Lastri.Wanita yang duduk pada bangku toko itu hanya diam, tidak berani melawan ucapan suaminya."Pokoknya bapak akan tetap manggurung Indah, sampai dia mengatakan Di mana ibunya mengambil pesugihan itu," cetus Pak Parlin menatap lurus ke dapan, rumah Lastri yang berhadapan dengan warungnya.Ibu Parlin menghela nafas panjang, kini wanita itu mengalihkan tatapannya kepada suaminya. "Pak, Indah
"Aduh Sekar, apa sih yang kamu lihat sampai kamu tidak mau masuk ke kampung itu," gerutu Dimas dengan nafas yang hampir putus karena mengejar Sekar. "Coba saja tadi kamu mau, pasti nasib kita tidak terlunta-lunta lagi seperti ini!" imbuh Dimas menghempaskan tubuhnya kasar bersandar pada batang pohon besar karena kelelahan."Maafkan saya!" Sekar meremas ujung baju yang ia kenakan dengan tangan kanannya.Sementara Zaki terlihat sibuk membersihkannya luka bekas cakaran harimau yang berada di bahu Sekar. Beberapa kali, wajah' wanita itu meringis kesakitan."Memangnya apa yang kamu lihat, Sekar?" tanya Zaki."Aku tidak mungkin mengatakan kepada Zaki jika aku melihat lelaki yang mengenali tubuh wanita ini," batin Sekar."Tidak, aku hanya merasa kampung itu aneh saja," dusta Sekar melirik pada Zaki yang sudah selesai mengobati luka pada bahunya dengan ramuan tradisional yang ia am